Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tamparan yang tidak pernah dilupakan

Keesokan harinya, selepas mantan mertuanya mengusir Syaila tidak mengizinkan Syaila bertemu dengan Geino. Pagi-pagi sekali Syaila sudah berangkat ke sekolah putranya itu, untuk bertemu dengan anak semata wayangnya. Karena sungguh, meski ia jarang mengobrol dengan anak itu, rasa sepi selalu menyelimuti dirinya kala ia sedang sendiri.

Mobil yang ia pinjam dari Nadira sudah ikut berjejer di barisan kendaraan lain di jalanan yang cukup lenggang.

Sama seperti seorang ibu pada umumnya, ia tidak akan bisa diam jika urusannya menyangkut anak. Syaila masih bisa menahan diri ketika sang mantan ibu mertuanya menuduh dirinya yang tidak-tidak, tapi jika ada orang yang melarangnya menemui Geino, tidak peduli siapapun. Syaila tidak akan diam saja.

"Pak, boleh buka gerbangnya? Saya mau menemui anak saya." Sampainya di sekolah, pintu gerbang masuk rupanya sudah di tutup.

"Oh, maaf, Bu. Jika tidak dalam keadaan darurat wali tidak dibolehkan masuk untuk ketentraman kegiatan belajar. Jika boleh tahu, apakah ada kepentingan darurat?" Satpam berbadan tinggi itu mengintip dari celah gerbang.

Syaila menggeleng. Lagi pula Geino akan marah jika Syaila datang hanya karena alasan tidak jelas. Anak itu memang masih di bawah umur, tapi bicaranya sudah seperti orang dewasa yang mengerti banyak hal. "Yaudah saya nunggu anak saya pulang saja, Pak."

Syaila kembali masuk ke dalam mobilnya. Tidak banyak yang ia lakukan di dalam mobil, beberapa kali menerima telepon, juga sibuk membalas pesan yang masuk. Atau jika ia teringat dengan status barunya sekarang, ia hanya akan melamun, mengulang memori kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Tin tin

"Astaga!" Syaila mengerjap beberapa kali. Sampai hampir saja menjatuhkan ponselnya yang sedari tadi ia genggam. Wanita itu menoleh, mencari sumber suara yang telah membuatnya terkejut.

Rupanya ada mobil lain yang hendak masuk ke dalam gerbang. Sekolah sudah bermenit-menit lalu bubar. Namun karena ia sibuk melamun, ia tidak mendengar suara anak-anak berlari keluar dengan riuh gembira.

Syaila lantas menyingkirkan mobilnya. Lalu beranjak masuk ke dalam gerbang untuk menemui Geino.

"Pak, kelas enam A kelasnya sebelah mana, ya?" tanya Syaila, kepada seorang pria yang ia yakini itu adalah seorang guru.

"Lurus saja ,  Bu. Nanti ada belokan, belok kanan," jelas guru itu.

"Terima kasih, Pak."

Setelah melemparkan senyuman ramahnya, Syaila kembali berjalan mengikuti arahan yang guru tadi berikan. Ia pikir Geino sudah pulang sebab selama menuju perjalanan ke kelas anak itu, semua kelas sudah hampir kosong. Tapi beruntungnya Syaila, Geino masih ada di kelasnya dengan buku yang masih menumpuk di bangku.

"Geino!"

Anak itu menoleh. Diam beberapa saat, hingga akhirnya menghampiri Syaila dengan wajah datar seperti biasanya.

"Mama ngapain ke sekolah?"

"Mama mau ketemu kamu. Sekarang buruan beresin buku-buku kamu. Geino hari ini pulang sama mama."

"Harusnya mama yang pulang ke rumah pa—"

Plak!

Syaila memalingkan wajahnya saat sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi mulusnya. Mata Syaila menyalang, ia mengangkat wajahnya hanya untuk mengetahui siapa yang berani-berani menamparnya tanpa sebuah alasan.

Bahkan beberapa guru yang masih berada di kelas keluar mendengar suara tamparan yang sangat keras itu. Geino yang menyaksikan pun dibuat melongo dengan mulut sedikit terbuka.

"Benar-benar perempuan enggak tahu diri kamu yah!" Wanita dengan dress selutut itu melemparkan sebuah amplop ke wajah Syaila setelah berhasil membuat pipi Syaila memerah.

"Mama?"

"Oma?"

Kedatangan mantan mertuanya ke sekolah Geino membuat Syaila terkejut. Apalagi wanita itu tiba-tiba menamparnya.

"Kemarin aku masih bisa diem aja ya, Ma, waktu mama perlakuin aku dengan buruk. Seharusnya mama enggak larang-larang aku buat ketemu sama anak aku sendiri," ucap Syaila. Wajahnya sudah memerah.

"Kamu enggak punya hak atas cucu saya. Dan sekarang kamu gugat harta gono-gini?" Wanita tua itu tertawa sengak. "Benar-banar enggak tahu diri. Nyesel saya pernah dukung anak saya buat nikah sama perempuan kaya kamu!"

Dada Syaila memburu. Napasnya sudah sedari tadi tersenggal. Menahan amarah yang bisa kapan saja meledak. "Jelas aku punya hak atas Geino. Dia anak aku. Sebelum mama nyesel karena telah mendukung pernikahan aku sama Azka. Tanya dulu sama anak mama sendiri. Jangan memutar balikkan fakta! Oh, atau itu salah satu ajaran mama? Selalu bersembunyi atas kesalahan yang sudah dilakukan," sarkas Syaila.

Air muka mama dari Azka merenggut. Keriput diwajahnya mengumpul di dahi. "Berani-beraninya kamu ngomong gitu!" Ia mengangkat tangannya untuk kembali memberi bekas kemerahan di pipi Syaila. Namun dengan gesit Syaila tahan.

"Aku enggak ngelawan karena aku berpikir harus ngehargain orang tua. Tapi bukan berarti aku takut. Aku juga bisa berbuat kasar," kata Syaila penuh tekanan. Matanya menatap wanita itu dengan tajam.

Tangan keriput itu jatuh. Gigi mama Azka bergemelatuk.

Syaila mencondongkan tubuhnya, berbisik di telinga mamanya Azka. "Jangan karena Azka anak mama, segala yang diucapkan Azka itu kebenaran. Kalau aku bocorin bukti kelakuan Azka ke media, bukan hanya nama baik mama yang akan hancur. Mungkin perusahaan mama juga akan bangkrut." Ia kembali me jauhkan tubuhnya.

Mama Azka tidak berkata apa-apa lagi. Namun melalui sudut mata Syaila, ia dapat melihat wanita di hadapannya ini kini tengah mengepalkan tangannya dengan kuat, sampai buku tangannya memutih.

"Kalau masalah harta gono-gini, mama enggak usah khawatir. Aku udah suruh pengacara aku buat cabut. Tapi tentang masalah hak asuh anak. Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan."

Syaila sempat melirik beberapa guru yang menyaksikan perdebatannya dengan sang mantan mertua. Beberapa detik berikutnya, ia meraih tangan Geino untuk meninggalkan sekolah itu. "Ayo, Geino ikut mama."

Sepasang ibu anak itu pergi, membiarkan mamanya Azka yang masih emosi itu sendirian.

Syaila merogoh tas selempang yang sedang ia kenakan, mengambil ponselnya yang berbunyi. "Hallo?" katanya menyapa lebih dulu.

"Pengajuan gugatan untuk harta gono-gini udah dibatalkan. Dan untuk hak asuh anak sudah memiliki jadwal sidang." Suara dari pengacaranya menyahut.

"Kapan?" Sampainya di depan gerbang, Syaila membukkan pintu mobil untuk sang putra.

"Minggu depan."

"Oke." Sambungan telepon terputus setelahnya.

Beberapa hari terakhir Syaila berpikir keras, setelah persidangan perceraiannya selesai. Awalnya ia ingin memperjuangkan hak yang seharusnya ia dapat dari perjanjian pra nikah yang sudah ia dan Azka sepakati dulu. Namun karena perlakuan sang mantan mertua yang menghalang-halangi nya untuk bertemu Geino, Syaila bertekad untuk mendapatkan hak asuh anak secara hukum agar keluarga Azka tidak semena-mena terhadapnya.

Sudah cukup rasa sakit yang ia rasakan dari pengkhianatan Azka padanya. Ia tidak mau Geino juga meninggalkan Syaila akibat keserakahan keluarga Azka.

Dan entah apa yang sudah Azka katakan kepada mamanya sehingga wanita itu begitu membenci Syaila. Padahal bila dilihat dari kenyataan yang ada, seharunya mama Azka prihatin atas apa yang sudah terjadi pada Syaila.

"Kamu enggak papa kan Geino?" Mobil Syaila sudah berjejer diantara mobil lainnya di jalan yang cukup padat.

"Oma kenapa marah kaya tadi?"

Syaila terdiam sejenak. "Oma cuma salah paham. Jadi dia marah," jelas Syaila.

"Oh iya, kemarin papa kenalin perempuan sama aku. Kata ayah dia temen ayah." Anak itu kembali bersuara.

Syaila menoleh dengan wajah skeptis. Secepat ini? Bahkan di saat Syaila masih belum mempercayai perpisahannya dengan Azka, sementara Azka sudah mengenalkan perempuan sialan itu kepada Geino.

"Kapan?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel