9. I Miss You
"Lepas!" bentakku sambil menghempaskan kembali tanganku saat dia mengejar dan mencekal lagi. Tapi kali ini tenaganya lebih kuat sehingga dia tetap menggenggam erat pergelangan tanganku. Aku tetap memandang ke depan, tanpa berniat menoleh sedikitpun padanya.
"Lo kenapa?"
"Lepas!" desisku.
"Gue tanya, lo kenapa?!" tanyanya dengan nada meninggi sambil membalikkan paksa tubuhku agar menghadap ke arahnya. Aku dapat menangkap raut wajahnya yang berubah terkejut dan bola matanya menajam. Sedang dia memandangi penampilanku dari atas ke bawah, aku memalingkan wajah ke arah lain. Lalu dia bertanya dengan nada yang berkali-kali lipat lebih dingin dari sebelumnya "Siapa yang ngelakuin ini?"
"Nggak penting lo tahu!" ketusku berusaha melepaskan kembali cekalan tangannya, namun lagi-lagi tidak berhasil.
"Jawab gue!"
"Bukan urusan–""
"JELAS URUSAN GUE!" Teriakannya menggema di koridor yang hanya diisi oleh kami bertiga ini. Jantungku sampai berdegup kencang. Matanya yang memerah, menatapku serupa pedang yang terhunus tajam. Bibirnya menipis saat dia mengatakan, "Oke, lo nggak perlu jawab. Siap-siap besok lihat orang itu babak belur di tangan gue."
"Lo mau mukulin cewek?" tanyaku, pelan. Aku cukup menciut karena kata-kata menyeramkannya.Dia membuang muka. "Jangan ngelakuin hal di mana gue jadi alasannya."
Kami kembali berpandangan. Matanya menyipit. Sedangkan aku berusaha bertahan untuk tegas.
"Gue minta, jangan ganggu gue lagi."
Tatapannya menajam. Pegangan tangannya di pergelangan tanganku menguat. "Apa maksud lo?"
"Gue nggak tahu kenapa harus berurusan dengan elo, cowok yang bahkan sebelumnya sama sekali nggak pernah gue kenal. Asal lo tahu, gue nggak suka situasi ini. Gue memang adik dari sahabat lo, tapi itu nggak mewajibkan gue maupun elo untuk saling kenal. Gue nggak mau kenal lo lagi. Lo terlalu meremehkan gue yang manja dan kekanak-kanakan ini. Gue nggak suka tiap harus nahan jengkel karena omongan lo. Apalagi kalau harus bikin gue terlibat drama begini. Gue nggak sesabar itu. Jadi, ayo bersikap seperti orang asing aja."
Dia menatapku dengan tatapan tak percaya. Cekalan tangannya terasa mengendur dan aku segera melepaskan tanganku. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, tanpa menunggu jawabannya, bahkan tanpa menghiraukan Intan yang berdiri terpaku beberapa langkah dari tempat berdiriku, aku langsung berlari menuju toilet. Di dalam toilet, kucuci rambutku yang basah dan bau jus di wastafel. Isak tangis yang sedari tadi tertahan akhirnya keluar juga dan tak mampu kutahan lagi. Kuakui meskipun diluar aku terlihat kuat dan bisa melawan, tapi aku tidak sekuat itu sebenarnya. Aku hanyalah seorang perempuan yang sudah punya banyak masalah, tidak perlu ditambah dengan masalah-masalah tidak penting seperti itu.
Kubasuh wajahku, dan memandanginya di cermin. Bahkan bekas tamparan itu masih tampak merah dan perih. Ini sungguh pertama kalinya bagiku, aku benar-benar tidak menyangka akan dilabrak dan dipermalukan di depan banyak orang seperti ini hanya karena seorang cowok. Aku menangis karena malu. Ini sangat memalukan. Tidak menyangka hari-hariku yang semula normal dan berjalan lurus-lurus saja, harus berubah hanya karena bertemu dengan seorang cowok bernama Angkasa.
***
un. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.
Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya dengan tidak terlalu ambil pusing dan bersikap biasa saja, yah meskipun dalam hati aku merasa tidak tahan juga mendengar gosip itu. Namun setelah dipikir-pikir kembali disini aku tidak bersalah apa-apa, jadi kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Dan lama-kelamaan setelah aku mendiamkannya, semua kembali normal seperti biasa, kasak-kusuk itu sudah jarang terdengar kembali.
Aku mengalihkan pandangan keluar jendela yang ada di sampingku, lagi. Gerimis sudah datang, bersama hawa dingin yang membelai kulit dengan lembut. Aku menghela napas, memeriksa jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah hampir satu jam sejak bel pulang berbunyi, itu artinya sekolah sudah cukup sepi. Belakangan ini setelah kejadian itu, aku semakin sering nongkrong di perpustakaan sekolah, baik saat jam istirahat, jam pelajaran kosong, maupun setelah bel pulang sekolah berbunyi sambil menunggu keadaan sekolah cukup sepi. Bukan berniat untuk mengubah kepribadianku menjadi introvert, tapi hanya sedang malas saja di tempat ramai.
Sekolah sudah cukup sepi saat aku memutuskan keluar dari perpustakaan. Hanya ada beberapa siswa laki-laki yang tengah berlatih futsal di lapangan belakang dan berlatih basket di lapangan tengah sekolah. Sesampainya di koridor dekat lapangan basket, aku mempercepat langkah. Hanya berusaha menghindar kalau-kalau kebetulan aku bertemu seseorang yang sangat tidak ingin kulihat saat ini.
"Bintang?"
Aku menoleh. Dari suaranya saja aku sudah tahu siapa yang baru saja memanggil itu. Dan benar saja, cowok itu langsung berlari mendekat saat aku tersenyum padanya. Dia tersenyum ramah, dan sangat manis. Pantas saja Kak Viny jatuh cinta pada cowok ini.
"Kok belum pulang?" tanyanya.
"Abis dari perpus."Dia mengangguk sebanyak dua kali.
"Lo kayaknya sering banget ke perpus ya sekarang? Nggak takut ketemu hantu? Denger-denger di perpus ada penunggunya loh."
"Beneran? Ganteng nggak penunggunya? Kalo ganteng kan lumayan buat dijadiin gebetan," candaku, dan Kak Bisma tertawa renyah.
"Ada-ada aja, lo. Emang mau pacaran sama penunggu perpus?" tanyanya.
"Kenapa enggak? Kalo ganteng sama pinter, bolehlah." Aku mengangkat bahu. "Kali aja, makhluk astral lebih nyenengin daripada manusia."
Kak Bisma menatapku lama, lalu menghela napas. "Masih marahan sama Angkasa?"
Nama itu lagi. Aku berusaha tetap tersenyum. "Siapa yang marahan?"
"Kalian, kan? Angkasa jadi buas tahu, gara-gara kamu. Bawaannya uring-uringan mulu."
"Kasih aja daging!" balasku, sekenanya. Lagipula, kenapa Angkasa yang uring-uringan dikaitkan denganku?
"Dia maunya Bintang, bukan daging."
"Dagingnya Bintang nggak enak!"
Kak Bisma terkekeh. Mengangkat tangan, seolah menyerah. Aku menyeringai. Setelah berbasa-basi tentang Kak Viny, aku pamit pulang. Tapi saat melewati parkiran motor, napasku tercekat di tenggorokan melihat sosok yang tengah bersandar pada jok motor sport berwarna putih itu. Lagi-lagi, takdir kembali membuat pandangan kami bertubrukan. Sama seperti kebetulan-kebetulan sebelumnya. Langkahku memelan sementara dia menegakkan tubuhnya dan berjalan santai ke arahku dengan pandangan masih tertuju padaku. Aku memalingkan pandangan ke sisi lain, namun meski begitu aku masih dapat merasakan dia masih memandangku dan semakin mempertipis jarak kami. Seminggu tidak saling berpapasan begini, aku cukup merasa tenang. Meskipun entah kenapa ada yang kosong juga. Tapi aku merasa ini yang terbaik, demi kehidupan normalku di sekolah ini.
Tanganku semakin menggenggam erat tali tas, saat jarak kami tinggal setengah meter lagi. Tanpa sadar langkahku tetap pelan, sementara langkahnya tetap santai seperti biasa. Dan seperti ada sesuatu yang mencelos keluar saat jarak kami semakin dekat dan dia melewatiku begitu saja. Begitu saja. Aku tersenyum miring. Sepertinya dia menuruti kata-kataku waktu itu. Baguslah. Bagus!
"Bu!"
Panggilan itu membuatku tersentak. Aku mematung, mengerjap-ngerjapkan mata. Memastikan bahwa penglihatanku tidak salah. Di depan pintu gerbang sana, seorang laki-laki memakai jeans panjang berwarna putih dan jaket hitam yang resletingnya dibiarkan terbuka, dengan dalaman kaos polos warna abu-abu. Dia, sosok yang sangat kukenal selama lebih dari enam belas tahun, tengah menyandarkan tubuhnya pada badan mobil dengan senyum merekah tertuju padaku. Dia, yang selama lima belas tahun tidak pernah sekalipun mengulum senyum padaku kini tersenyum manis dan melambaikan tangannya padaku.
"Bintang Aurora!" Panggilnya sekali lagi, dan aku langsung berlari ke arahnya.
Niat hatiku ingin memeluknya saat itu juga, namun langkahku terhenti tepat tiga langkah di depannya. Dia mengerutkan keningnya, perlahan merentangkan tangannya seolah memintaku untuk segera menghambur ke pelukannya. Namun aku tetap bergeming, hatiku merasa ragu dan takut untuk memeluknya.
Dia mengangkat sebelah alisnya. "Enggak mau peluk?"
Lagi-lagi aku mengerjap-ngerjapkan mata. Sebenarnya ini mimpi atau bukan, sih? "Boleh?"
Raut wajahnya berubah sendu dan sedetik kemudian dia melangkah maju kemudian menarik tubuh mungilku yang langsung berada dalam dekapannya. Perlahan aku memejamkan mata, melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya. Gerimis yang semakin deras menjadi saksi bisu pelukan pertama yang diberikan seorang kakak kepada adiknya yang terpaut usia empat tahun. Rasa seperti ini, rasa bahagia dan tenteram saat berada di pelukannya, aku benar-benar tidak menyangka akan merasakannya. Kupikir seumur hidup aku tidak bisa mendapatkan ini darinya. Mengingat betapa acuh dan dinginnya dia padaku sejak aku lahir di dunia ini, aku tidak pernah menyangka dia akan bersikap berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sebaik dan sehangat ini padaku.
"I miss you."
Aku tersenyum. Sungguh, jika sekarang ini hanyalah mimpi maka untuk selamanya aku ingin tetap hidup dalam mimpi ini. Tolong jangan bangunkan aku.
***