Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Feel Alone

"Assalamu'alaikum."

Aku, Kak Viny dan Bunda menjawab salam itu secara serentak seraya menoleh pada sosok laki-laki yang berdiri di ambang pintu dengan senyum merekah. Malam ini Papa pulang, setelah menangani kantor cabang miliknya di kota Denpasar selama enam bulan. Itulah alasan Kak Andro tiba-tiba pulang meskipun ini bukan waktunya libur kuliah. Karena Sore tadi, setelah menjemput aku dan Kak Viny, Kak Andro langsung pergi

Di ambang pintu sana, saat ini, berdiri laki-laki yang akan selalu jadi laki-laki nomor satu yang kucintai dalam hidupku. Rambutnya yang sudah memutih sebagian, kerutan di keningnya yang menunjukkan bahwa usianya sudah tidak muda lagi, bola mata berwarna hitam kecoklatan, bibir tipis yang selalu membentuk lengkungan ke atas, bentuk rahang keras yang menunjukkan sifatnya yang tegas dan lembut secara bersamaan dan tubuh tegaknya yang masih tetap tegak meski usianya sudah tak muda lagi. Aku sangat mengenali bentuk tubuhnya, meskipun aku tidak bisa mengamatinya dari dekat. Tapi sungguh aku sangat mengenalinya. Otakku sudah merekam dan menyimpannya baik-baik semua hal yang berhubungan dengan laki-laki yang kupanggil 'Papa' itu. Senyumnya yang menenangkan, tatapannya yang teduh, suaranya yang lembut, usapan tangannya yang hangat, otakku merekam semuanya.

"Gimana kabar kalian selama Papa nggak ada di rumah, Sayang?" Benar kan yang kubilang? Suara Papa sangat lembut. Pelukan Papa juga sangat hangat dan menenangkan. Aku tidak bohong kalau Papa adalah papa terlembut dan penuh kasih sayang di dunia ini.

Tapi... hanya untuk Kak Andro dan Kak Viny. Sedangkan aku? Hanya berperan sebagai penonton dalam pertunjukan pertemuan antara seorang ayah yang sudah lama tidak pulang dengan kedua putra-putrinya yang sangat disayangi. Aku hanyalah penonton, tak terlihat, tak diharapkan, terabaikan, dan tugasnya hanya menonton. MENONTON. Sejak kedatangan Papa, kemudian saling bercengkrama di ruang tamu diselingi acara pemberian oleh-oleh, hingga tiba waktunya untuk makan malam, aku melakukan tugasku dengan baik. Menonton keluarga bahagia beranggotakan empat orang itu dengan menyunggingkan fake smile.

Menggigit bibir bawah menahan rasa sakit yang bergejolak dalam dada. Menahan tanggul di pelupuk mata agar tidak jebol sebelum pertunjukan selesai. Menahan ekspresi agar tampak sebahagia mungkin menyaksikan acara pertunjukan keluarga bahagia itu. Menahan bahuku yang naik-turun menahan hantaman keras dan sangat kuat pada dadaku. Menautkan jemari kuat-kuat hingga buku-buku tanganku memutih hanya agar tubuh tak bergetar semakin hebat. Aku hanya penonton. Bintang Aurora hanyalah seorang penonton. Tidak bisa berharap lebih.

"Bi ke kamar dulu. Lupa ada PR yang belum Bi kerjain."

Semuanya, ke empat orang itu, menoleh padaku. Tatapan mereka lurus tertuju ke arahku, seperti empat anak panah tajam yang menancap tepat pada keempat bilik jantungku.

Mama, Bi nggak kuat menonton lagi. Biarkan Bi keluar dari arena pertunjukan ini. Bi sakit, Ma.

"Selamat malam, semuanya." Dan kalimat terakhir ini, yang keluar dari mulut dan aku yakin terdengar lebih mirip seperti bisikan, menjadi bukti bahwa aku sudah tak sanggup lagi menjadi penonton.

Dengan tubuh bergetar hebat dan tanggul yang jebol di pelupuk mata menyebabkan dua anak sungai mengalir deras dari sana, aku berlari menaiki anak tangga dengan cepat. Tidak peduli bagaimana reaksi mereka setelah ini, tidak peduli tatapan seperti apa yang mereka berikan mengiringi kepergianku meninggalkan mereka, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu rapat-rapat dan bersandar di tepi ranjang sambil memeluk lutut dengan wajah kutenggelamkan di atasnya. Isakan keras keluar dari mulutku. Dadaku sakit, nyeri sekali seperti ada batu besar menyumpal di sana hingga oksigen rasanya gagal untuk masuk.

Semua hal tentang Papa yang terekam dalam otakku, tentang senyumnya yang menenangkan, tentang belaian tangannya yang penuh kasih sayang, tentang suaranya yang selembut kain beludru, tentang pelukannya yang menghangatkan, semuanya yang terbaik yang ada pada diri papa. Aku harus terpaksa menyadarinya, bahwa itu bukan untukku. Bukan untuk Bintang Aurora. Tapi hanyalah untuk Andromeda Wijaya dan untuk Viny Aulia. Hanya untuk mereka berdua. Tidak ada tempat tersisa untuk Bintang Aurora. Sama sekali tidak ada!

"Ma...ma Bi ... Bi ... s-sa...kit, Ma." Kupukul-pukul kuat dadaku dengan tangan terkepal kuat.

Kupikir kepulangan Kak Andro tadi sore, akan membawa kabar gembira untukku. Akan berdampak baik bagiku. Rasa bahagia saat Kak Andro memelukku, kupikir adalah awal dari hubungan baik antara aku dengan Kak Andro maupun Papa. Ternyata aku salah. Semuanya masih sama, bahkan tadi baik Papa, Bunda, Kak Andro, bahkan Kak Viny mengabaikanku saat bercengkrama dengan Papa. Mereka mengabaikanku. Aku tidak ada di depan mereka. Aku tak terlihat di antara mereka. Kak Andro yang sudah berubah sikap menjadi baik padaku, dia mengabaikanku. Bahkan Kak Viny, yang sejak sehari setelah pernikahan Papa dan Bunda berjanji akan selalu menggenggam tanganku dan menganggap keberadaanku, ikut mengabaikan.

Aku tidak tahu apakah Kak Andro dan Kak Viny sengaja melakukannya atau tidak, tapi yang aku tahu hatiku teriris dan perih. Aku merasa terkhianati, entah oleh siapa tapi rasanya memang begitu. Tiba-tiba aku merasa asing berada di dalam rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir di dunia ini. Rasa sakit ini, kenapa aku harus mengalaminya, ya Allah?

"Sa...kit. Bi ngg-gak k-ku...at, Ma." Isakanku semakin keras diatas lutut yang kupeluk. Bahuku naik-turun dan tubuhku bergetar hebat. Tapi nyeri dada kiriku ini lebih kuat, rasanya sesak sekali. Bahkan tak kupedulikan ketukan di pintu kamar.

"Mbak Bi...." Itu suara Bu Rini. Tapi aku belum siap bertemu siapa pun saat ini, sungguh. "Mbak, Bi. Ibu boleh masuk?"

Aku bisa mendengar nada khawatir dari pertanyaan Bu Rini. Aku sangat tahu itu, Bu Rini selalu mengkhawatirkan keadaan hatiku setiap kali Papa dan Kak Andro di rumah. Bu Rini dan Pak Udin, suami Bu Rini yang juga bekerja di rumah ini sebagai tukang kebun, adalah saksi bagaimana aku tumbuh besar tanpa kasih sayang. Hanya mereka berdua yang mengerti dan memahami keadaanku. Hanya mereka, sepasang suami istri yang sama sekali tidak ada hubungan darah denganku.

Pintu diketuk kembali. "Mbak Bi baik-baik saja, kan?"

Kuusap kedua pipi yang sudah basah oleh air mata, dan aku berdehem beberapa kali agar suara terdengar baik-baik saja. "Bi, gak papa, Bu."

Aku tidak berniat membuka pintu karena Bu Rini akan melihat keadaan wajahku yang mungkin sudah sangat kacau. Aku tidak mau terlihat lemah di depan siapapun.

"Ibu boleh masuk?"

"Besok ... besok aja ya, Bu?" Aku menggigit bibir bawah. Kuhirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Bibirku terasa asin karena air mata yang mengalir sampai di bibir juga. "Bi, mau ... mau tidur. Ngantuk banget soalnya."

"Ya udah, Mbak Bi tidur aja. Selamat malam."

"Selamat malam, Bu."

Air mataku mengalir lagi. Kubenamkan wajah di kedua lutut. Malam ini, untuk kesekian kalinya aku merasa sendiri.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel