4. Paksaan
Kulangkahkan kaki dengan cepat menyusuri koridor agar cepat sampai ke gerbang depan. Saat sampai di parkiran khusus motor, ekor mataku menangkap sosok Angkasa yang tengah memakai helmnya. Aku bahkan tidak menyadari kapan dia pergi dari koridor saat aku berbicara dengan Galang tadi. Tanpa berniat melirik lebih lama pada cowok itu, kulanjutkan kembali langkahku semakin cepat. Melewati pintu gerbang, aku sedikit mengangguk pelan pada Pak Dirman, menyapanya. Dan satpam sekolahku itu membalasnya dengan anggukan kepala juga.
Aku pun kembali berjalan cepat menyusuri jalan menuju halte. Hanya ada beberapa siswa yang juga berjalan menuju halte, karena waktu memang sudah agak sore. Kuusap sudut mataku yang berair. Rasanya sakit mengetahui Galang se-keterlaluan itu. Aku sangat kecewa. Bagaimana bisa Galang melakukan itu? Hanya karena seorang gadis yang dia cintai, dia sampai menghapus kontakku? Aku benar-benar tidak habis pikir. Tidakkah dia menghargai persahabatan kami? Persahabatan yang kami jalani selama hampir sepuluh tahun, dia lupakan begitu saja? Di mana jalan pikirannya itu?
Aku mengeratkan genggaman tanganku pada tali tas punggung dan mendongak menatap langit. Mendung tebal. Beberapa menit kemudian pasti hujan akan turun, dan sepertinya akan lebat. Aku menghela napas panjang. Bahkan aku tidak membawa payung.
Sebuah motor berjalan melambat tepat di sampingku, membuat langkahku ikut melambat. Aku menoleh pada motor warna putih itu. Tapi wajah pengendaranya tidak bisa kulihat dengan jelas karena memakai helm full face, hanya matanya yang terlihat. Segera kualihkan pandanganku ke arah lain saat kulihat dengan jelas bola mata itu. Bola mata berwarna hitam sehitam tinta spidol. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Angkasa?
"Gue anter."
Aku terhenyak dengan ucapan tajamnya itu tepat saat dia menghentikan motornya dengan mesin yang masih hidup. Tapi aku bergeming, tetap berjalan seolah tidak mendengar apa-apa. Lagipula kenapa dia tiba-tiba ingin mengantarku pulang? Jangan-jangan dia mau berbuat tidak baik, lagi.
Dapat kudengar motor itu kembali berjalan, dan kembali berhenti beberapa langkah di depanku. Tanpa turun dari motornya, dia menoleh padaku. "Gue bilang naik."
"Nggak usah," jawabku seketus mungkin dan melewatinya begitu saja.
Kali ini aku berjalan dengan langkah secepat mungkin agar dia tidak mengikutiku lagi. Dua menit kemudian aku sudah sampai di halte. Ada lima orang di sana yang juga sedang menunggu bus. Satu siswa laki-laki berdiri menyandarkan punggungnya di tiang halte sementara dua siswa perempuan dan dua ibu-ibu duduk di bangku tunggu sambil mengobrol. Aku pun duduk di bangku yang kosong. Menghela napas lega, bersyukur karena cowok gila itu tidak mengikuti lagi.
Namun ternyata kelegaanku tidak berlangsung lama karena suara deru motor kembali terdengar dan berhenti tepat di jalan depan halte. Aku berdecak kesal. Mau apa lagi sih dia? Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak melirik ke arahnya dan berpaling ke arah lain. Beberapa detik kemudian, aku mulai merasakan ada yang aneh saat ketiga siswa dan dua ibu-ibu di dekatku melihat dengan tatapan aneh kearah yang sama. Penasaran, aku mengikuti arah pandang mereka. Dan mataku langsung membulat.
Masih dengan helm di kepalanya, Angkasa kini sudah berdiri tepat di depanku dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Matanya menatap tajam ke arahku. Kulirik lima orang di dekatku itu, dan ternyata tatapan mereka sudah beralih ke arahku. Aku pun memilih untuk tidak menghiraukan dia seolah-olah aku sama sekali tidak mengenalnya.
"Ikut gue."
Aku tetap bergeming di tempatku.
"Apa sih?!" bentakku saat tiba-tiba dia menarik tanganku dan aku langsung menghempaskannya.
"Gue bisa pulang sendiri. Jadi nggak perlu repot-repot anter gue dan lo bisa pergi." Aku berucap dengan pelan kali ini karena sadar lima pasang mata itu masih memperhatikan kami.
"Gue bilang ikut gue."
"Gue bilang gue nggak mau jadi nggak usah maksa, ngerti?!"
"Bintang!"
"Nggak usah panggil nama gue. Gue nggak kenal ya sama lo!"
"Kemarin kita kenalan. Pura-pura amnesia?" ucapnya enteng membuatku semakin gondok.
"Udah ikut aja, mbak. Kasihan loh pacarnya udah mohon-mohon gitu."
Aku menoleh pada salah satu dari ibu-ibu yang barusan memberi saran padaku. Dasar Angkasa. Membuat malu saja!
"Emang remaja sekarang itu lucu ya, Bu. Marahan aja gemesin gitu. Pura-pura enggak kenal lagi," komentar ibu yang satunya.
Aku tersenyum sopan pada ibu itu dengan wajah yang mungkin sudah merah padam menahan malu. "Saya nggak kenal dia, Bu. Dia bukan pa- eh!"
Belum sempat aku menjawab ucapan dua ibu itu, pergelangan tanganku tiba-tiba digenggam oleh Angkasa dan dia menarikku menuju motornya terparkir.
"Lo apa-apaan sih?" bentakku melepaskan tanganku kembali. Aku menoleh pada lima orang di halte, dan ternyata mereka masih memperhatikan kami. "Mau lo apa sih? Bikin malu tau nggak?!"
Dia membalas tatapan tajamku dengan tatapan mengintimidasi miliknya itu. "Lo nggak bakal malu kalo dari tadi nurutin gue."
"Kan gue udah bilang gue nggak mau ikut elo. Emang lo siapa maksa-maksa gue gini?!"
"Shit!"
Aku tertegun mendengar umpatannya itu. Nyaliku menciut.
"Lo gak mikirin Viny, hah? Busnya nggak dateng-dateng. Bentar lagi hujan deras. Dia bisa khawatir kalo lo nggak pulang-pulang. Bisa nggak sih lo nggak egois dikit aja?! Pikirin orang lain juga, jangan cuma diri lo sendiri yang lo pikirin!!" bentaknya.
Aku mundur satu langkah, terkejut mendengar bentakannya itu. Ini pertama kalinya aku mendengar bentakannya dengan nada setinggi itu. Tanpa sadar tanganku meremas kedua tepian rok yang kupakai, meredam tubuhku yang tiba-tiba gemetar. Aku menunduk, terserang rasa takut yang aneh. Baru kali ini aku dibentak seperti itu. Bahkan Papa dan Kak Andro tidak pernah membentakku seperti itu.
Aku mundur satu langkah lagi saat kulihat sepasang sepatu sneaker itu maju satu langkah ke arahku. Keringat dingin membasahi pelipisku, dan kurasa tanganku juga berubah dingin. Aku tersentak kaget karena dia menggenggam pergelangan tanganku, lagi. Namun aku tidak ada cukup tenaga untuk melepaskannya dan aku hanya menurut berjalan di sampingnya kembali ke dekat motornya. Dia memakaikan helm padaku kemudian naik ke motornya.
"Naik." Aku masih berdiri, tidak beranjak dari tempatku berdiri. "Naik sendiri atau harus gue paksa?!"
Tanpa pikir panjang aku langsung naik memboncengnya. Kedua tanganku berpegangan pada pegangan jok belakang.
"Pengen banget jatoh ya lo?! Pegangan tuh ke gue bukan di situ!"
Untuk kesekian kalinya aku menghela napas berat. Kualihkan tanganku berpegangan pada bahunya. Perlahan motor yang dikendarai Angkasa membelah jalanan yang padat. Tanganku berpegangan erat pada bahu Angkasa, berusaha meredam detak jantung yang melebihi batas normal. Mungkin karena Angkasa memacu motornya dengan kecepatan tinggi, hingga memacu jantungku berdegup kencang. Di boncengannya, aku menggeram tertahan. Angkasa sialan. Bisa-bisanya dia memaksa dan menakutiku seperti ini!
***