Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Kecewa

Tepuk tangan serta sorak-sorai penonton yang menyaksikan pertandingan bola basket di lapangan sekolahku semakin terdengar keras saat tim sekolah kami mencetak angka. Ya, akhirnya aku menuruti permintaan Intan untuk ikut menyaksikan pertandingan itu. Selama jalannya pertandingan, sebenarnya pandanganku tidak terfokus pada pertandingan itu sendiri. Tapi justru pada cowok tinggi dengan kulit agak gelap yang juga ikut bertanding, tepatnya dari tim lawan sekolah kami.

Galang Pradipta. Setiap gerak-geriknya tak kulewatkan sedikitpun. Postur tubuhnya, cara berjalannya, caranya menggiring bola, aku rindu semuanya yang ada pada dirinya. Sebulan lebih tidak bertemu, bahkan tidak saling mengobrol dengan lewat pesan sekali pun membuat kerinduan ini membuncah. Aku merindukannya sebagai teman dekat yang kupunya sejak kecil. Aku merindukannya sebagai kakak laki-laki yang kupunya dan selalu menemaniku saat Kak Andro yang seharusnya memberikan perhatian layaknya seorang kakak malah menganggapku tak ada. Dan jika dibolehkan, aku juga merindukannya sebagai seorang yang menginjakkan kaki pertama kali di ruang khusus dalam hatiku, ruang bernama cinta.

"Nggak rugi kan lo nurutin saran gue?"

Aku menoleh ke sebelah kanan tepatnya pada Intan yang barusan berbicara padaku. Hanya menanggapinya dengan tersenyum kemudian mengalihkan pandangan lagi ke tengah lapangan. Namun bukannya sosok Galang yang tertangkap mataku, tapi malah Angkasa cowok gila yang saat ini tengah menggiring bola ke arah ring lawan. Ini yang membuatku sedikit keberatan. Demi bisa melihat Galang, mau tak mau aku harus melihat wajah Angkasa juga. Wajah yang sudah hampir seminggu ini aku berusaha sekeras mungkin agar tidak melihatnya.

"SEMANGAT ANGKASA!"

Sontak kututup kedua telinga dengan telapak tangan mendengar teriakan melengking dari beberapa siswi tepat di sebelah kiri aku dan Intan. Mereka adalah seniorku, satu tingkat dengan Angkasa. Kudengar mereka membuat sebuah geng yang beranggotakan lima orang siswa perempuan dan diketuai oleh Anggi Saputri, cewek dengan penampilan paling menonjol dalam geng itu.

"Biasa aja kali. Nggak pake teriak-teriak bisa, kan? Dasar lebay."

Mau tak mau aku terkekeh geli mendengar bisikan Intan yang membicarakan geng yang beranggotakan senior semua itu. Tiga puluh menit kemudian, pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh tim sekolah kami. Tepatnya Angkasa yang lebih sering mencetak angka. Tapi tidak bisa kupungkiri, gaya menggiring bola Angkasa memang cukup menarik. Bukannya aku berniat memuji apalagi mulai tertarik dengannya, aku hanya mengatakan fakta. Itu saja. Tidak lebih.

"Bi, gue duluan ya? Udah dijemput Papa diluar."

"Tumben Papa lo jemput. Biasanya supir lo kan yang jemput?" komentarku.

"Soalnya abis ini mau ke rumah Tante gue. Lagi ada acara apa gitu gue lupa dalam rangka apa."

"Oh."

"Ya udah gue duluan ya? Itu mobil Papa udah di sana. Bisa diomelin gue kalo nggak cepet-cepet ke sana." Intan menunjuk Audy hitam yang terparkir agak jauh dari tempat kami.

"Ya udah sana."

Intan pun berjalan cepat menuju mobil papanya itu sambil sesekali membalikkan badan dan melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum getir sambil membalas lambaian tangan Intan. Setiap pulang sekolah, intan memang dijemput supir pribadi keluarganya. Tapi saat berangkat sekolah pasti papanya yang mengantar. Aku ingin sesekali bisa seperti Intan, diantar ke sekolah tiap pagi dan dijemput oleh Papa saat ada sebuah acara spesial atau apa. Sayangnya harapan tinggal harapan.

Entah sampai kapan papa akan bersikap seperti ini padaku. Mengabaikan dan menganggapku seolah tidak ada dalam hidupnya. Sepertinya enam belas tahun belum cukup untuk Papa menghukumku atas kesalahan yang sebenarnya tidak sepenuhnya murni salahku. Bahkan Kak Andro saja hanya butuh waktu kurang dari lima belas tahun untuk menghukumku dan sekarang mulai bisa menerimaku.

Tapi Papa? Laki-laki yang akan selalu jadi laki-laki pertama yang kucintai dalam hidupku, sampai kapan akan seperti ini padaku? Apa Papa tidak lelah dan akan terus menghindar dengan menerima bisnis-bisnis di luar kota untuk waktu yang lama?

Perlahan langkahku melambat saat menangkap sosok itu di depan sana, sekitar lima belas meter dari tempatku berjalan sekarang. Cowok berkulit putih itu tengah menyandarkan punggungnya di dinding koridor dengan satu kaki ditekuk sehingga sepatunya menapak di dinding. Sementara tangan kanannya dimasukkan ke saku celana dan tangan kirinya memainkan ponsel. Aku berdecih. Sok keren!

Aku menggenggam erat kedua tali tas punggung dan tetap melangkah pelan. Kurasa tidak ada gunanya terus menghindar. Aku hanya perlu bersikap acuh dan seolah tidak kenal. Memang kami tidak saling kenal kan?

"Bi!"

Baru setengah jalan menuju cowok itu berdiri, sebuah panggilan membuat langkahku terhenti seketika. Kurasa aku mematung sekarang. Pandangan mataku bertubrukan dengan pandangan mata Angkasa yang kini sudah menurunkan kakinya dan menoleh padaku. Cukup lama dia memandangiku, setelah kemudian pandangannya beralih pada cowok yang barusan memanggilku. Yang aku yakini sekarang berada di belakangku.

"Bi."

Dapat kudengar suara langkah kaki semakin mendekat dari belakang. Dan dua detik setelah itu, cowok itu sudah berdiri di hadapanku. Tepat di depanku. Hingga sosok Angkasa tak bisa kulihat karena sudah terhalang tubuh cowok di depanku ini. Bukan berarti aku ingin melihatnya loh, ya.

Galang Pradipta yang tadi kulihat dari jauh sekarang sudah ada di depanku. Seutas senyum tersungging dari bibirnya yang tipis saat dia menunduk menatapku. Entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Detak jantungku tidak secepat seperti setiap kali aku melihat senyumnya. Dulu detak jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya setiap aku berhadapan dengan Galang apalagi melihat senyumnya. Tapi kenapa sekarang biasa saja? Apa sebulan tak bertemu berpengaruh sebesar itu?

"Hai, Lang."

"Apa kabar, Bi?" tanyanya.

Aku kembali tersenyum dan mengangguk. "Kayak yang lo liat. Gue baik-baik aja."

"Gue tau lo akan selalu baik-baik aja. Kayak janji lo dulu."

Aku masih tersenyum. "Nina mana?"

Tampak ekspresinya sedikit berubah. "Nina nggak ikut ke sini. Ada jadwal bimbel."

Aku mengangguk mengerti. Sejenak kami sama-sama diam. Entah kenapa rasanya jadi canggung begini.

"Maaf, Bi "

"Buat?" Tentu saja aku pura-pura tidak tahu maksud ucapannya.

"Buat sebulan ini."

Aku menggenggam erat kedua tali tas punggungku. "Gue ngerti."

Aku sedikit tersentak saat Galang memegang kedua bahuku. Aku mendongak hingga tatapan kami bertemu. Tapi sekali lagi, jantungku masih berdetak normal. Entah kenapa ini aneh.

"Gue kangen sama lo, Bi." Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum dan mengangguk pelan. Galang ikut tersenyum. "Bisa kasih gue nomor WA lo lagi?"

Aku tersentak. Mataku menyipit. "Lo hapus nomor gue?"

Dia menunduk. "Maaf, Bi."

Aku tersenyum getir. Rasa kecewa langsung menghantam dadaku tanpa ampun. Kupikir pertemuanku dengan Galang ini akan terasa menyenangkan tapi ternyata hanya mengundang kekecewaan.

"Gue nggak habis pikir sama lo, Lang!"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel