Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Si Gondrong

Bab 1 Si Gondrong

Plaaak… Plakk

“Rasakno! ” ujar salah salah satu bapak berbadan gembul bersarung kotak dan bersinglet bolong sambil membanting gaplek.

Seorang anak muda yang sedang duduk sambil memegang kartu gapleknya hanya melongo. Permuda berambut gondrong ceking itu hanya mencoba untuk menangkan hatinya. Masa aku bakalan kalah lagi sih? Batinnya sambil melihat kartu yang ada di tangannya.

Dilihatnya sekali lagi kartu gapleknya dan tidak menemukan satu kartu pun yang mampu mengalahkan bapak bersinglet bolong tersebut. “Uwes, ra metu kertune neh, Bi?” tanya bapak bersinglet bolong tersebut sambil memberikan senyum meremehkan.

Sebisa mungkin, pemuda yang dipanggil Bi tersebut, mencoba untuk tetap tenang. Tenang Bi, jangan sampai kalah, batinnya menenangkan diri.

“Halah, kesuen!” si bapak lalu mengeluarkan kartu pamungkasnya. Ia kemudian tertawa keras diiringi dengan tepukan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Pemuda gondrong bernama Hasbi tersebut hanya bisa menunduk lunglai. “Asu!” umpatnya lirih sambil meratapi uangnya yang sedang diambil oleh bapak singlet bolong. “Pak Bardi, mbok saya disisain itu lho uangnya! Saya nggak punya duit jajan. Besok harus bayar SPP,” pintanya pada Bapak Singlet Bolong bernama Bardi.

Hasbi menunjukkan muka memelasnya dan mata yang dibulatkan seperti Bobby The Cat. Pak Bardi menghentikan aktivitasnya menghitung uang. Ia kemudian menoleh ke arah Hasbi. “Koe gelem?” tanya Pak Bardi pada Hasbi.

Hasbi mengangguk dengan pelan sambil memberikan senyum terbaiknya. Kemudian Pak Bardi menghembuskan nafas secara perlahan. Diambilnya uang Rp 10.000 dan diberikannya pada Hasbi. “Nih!”

Hasbi hanya memandangi uang tersebut kemudian ke arah Pak Bardi dan ke arah uang di tangan Pak Bardi. “10 ribu, Pak?” Pak Bardi mengangguk pasti. “Mbok 50 ribu gitu,” tawarnya dengan harapan mendapatkan selembar uang Rp 50.000.

“Ra sudi. Kan kamu baru aja kalah. Masa dapet 50 ribu? Yo aku tombok!” seru pak Bardi yang tidak mau kalah karena taruhan Rp 30.000 untuk bermain gaplek. Walaupun hanya Rp 30.000 namun untuk Hasbi yang anak SMA, uang tersebut cukup banyak. Cukup buat beli mie ayam dan es teh 3x.

Hasbi hanya bisa cemberut. “Mau ndak?” tanya Pak Bardi.

Dengan enggan, Hasbi kemudian mengambil uang Rp 10.000 lalu memasukkan ke kantongan celananya. “Matur suwun, Pak,” katanya lirih.

Pak Bardi hanya tertawa terkekeh kemudian menyalakan rokok kreteknya. Ia kemudian berdiri dari dudukan di pos ronda tersebut, mengangkat sarung kotak-kotak kumalnya dan memasukkan uang ke boksernya yang sudah agak melorot.

“Wes, aku balik ya. Ndak selak digoleki bojoku,” pamit Pak Bardi. Tak lama para penghuni pos ronda kecuali yang bertugas meronda malam ini juga turut pergi.

Hasbi masih menunduk dan memikirkan kenapa ia harus kalah lagi kali ini. Padahal, sebelum-sebelumnya, Hasbi sering bermain seri saat melawan Pak Bardi.

Hasbi merasakan pundaknya dipukul dengan cukup keras. Ia kemudian menoleh ke arah orang yang memukulnya. “Udah to, jangan main lagi. Mbok fokus ke sekolahan dulu. Kamu ki masih SMA lho, Bi,” kata seorang lelaki berkaos Elmo hitam yang sedang mengunyah kacang.

“Maunya juga gitu Mas Aji, tapi ndak bisa he,” kata Hasbi yang terdengar seperti pembelaan.

“Nggak bisa apa nggak mau bisa?” Hasbi hanya terkekeh. Pantaslah kalau Aji tidak terpengaruh dengan Hasbi. Usia Aji masih sekitar 35 tahunan. Masih terhitung bapak muda yang mengerti kenalakan remaja saat ini.

“Hehehe… Itu Mas Aji tahu.” Aji langsung memukul ringan kepala Hasbi.

“Udah, sana pulang! Besok sekolah. Belajar yang rajin, jangan judi terus. Bocah kok hobinya judi,” kata Aji pada Hasbi. Hasbi hanya menengadahkan kedua tangannya di depan Aji.

Aji memandang Hasbi tak percaya. Sedangkan bocak kampret tersebut hanya tersenyum tak berdosa. “Pancen koe ki kampret kok, Bi!” maki Aji pada Hasbi. Walaupun begitu, Aji tetap merogoh kantongnya dam mengeluarkan uang 5 ribu. “Nyoh!” Aji meletakkan uangnya dengan keras di tangan hasbi.

“Lah, kok cuma 5 ribu?” Hasbi menengadahkan uang tersebut dan menerawangnya. Siapa tahu kan uang tersebut palsu. Lalu memasukkannya ke kantong.

“Bilangnya Cuma 5 ribu tapi masuk kantong juga,” ejek Aji pada Hasbi. Hasbi hanya cengegesan. Ia kemudian mencari sandalnya, memakainya lalu bersiap untuk pergi.

“Kalau gitu, aku pulang dulu ya Mas Aji. Monggo bapak-bapak, saya duluan!”

“Yo!” sahut para bapak yang ada di pos ronda. Aji sendiri hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya. Bisa-bisanya ia selalu memberikan uang pada bocak kampret yang hobi berjudi itu.

Aji memang mengira Hasbi akan pulang, nyatanya, ia kemudian berjudi lagi di pos ronda kampung sebelah dan menang lebih banyak bahkan 4x lipat dari yang dimenangkan Pak Bardi.

=-=

Di tengah sunyinya malam, Hasbi berjalan santai untuk pulang ke rumah. Ia berdendang musik Seruling Spongebob sambil terkadang menggeolkan pantatnya. Ia kemudian berjalan mundur sambil berdendang.

“Teuw teuw teuw teuw teuw.” Ia geolkan pantatnya seakan ia memiliki bokong terseksi sedunia sambil mengepakkan tangannya seperti sayap. Walaupun ia kalah dari Pak Bardi, tapi untuk saat ini ia ingin merayakan kemenangannya dari kampung sebelah. Hasbi gitu loh!

Brukkk!!!!

“Aduohhhhh! Pantat teposku!” teriak Hasbi sambil mengelus pantatnya yang rata. Ia kemudian melihat sekelilingnya dan mendapati sesosok wanita yang terlihat ganteng. “Eh ini, mas apa mbak ya?” lirihnya.

“Aduh, maaf ya Pak, maaf!” kata orang tersebut yang ternyata memiliki suara agak rendah tanpa melihat ke arah Hasbi. Suaranya terdengar bergetar. Gila ini orang, cakep banget suaranya, batin Hasbi. Ia kemudian tersadar kalau orang tersebut memanggilnya dengan nama Pak.

“Heh, malam-malam begini ngapain sih sembunyi? Lagi petak umpet apa ya kamu itu?” serunya pada orang itu. “Mana manggil bapak lagi. Emang mukaku seboros itu apa?” mendengar hal tersebut, orang tersebut mendongak.

“Maaf ya Dek ya, maaf.”Hasbi bisa melihat tatapan matanya agak kosong dan tampilannya agak berantakan walaupun masih terlihat kalau pakaiannya cukup berkelas.

“Dikaaaaa…. Dikaaaaaa, hey babey, dimana kamu?!” dari kejauhan terdengar suara samar seorang wanita. Mendengar itu, orang yang Hasbi kira bernama Dika terlihat panik.

“Bantuin aku ya Dek ya. Aku dikejar orang,” pintanya dengan muka memelas. Hasbi sendiri masih terlihat terbengong. Lah, ternyata yang didepannya adalah wanita dengan potongan rambut seperti laki-laki. Sekilas, wanita ini lebih cakep daripada Hasbi yang menggunakan baju kedodoran.

Belum sempat Hasbi tersadar dari bengongnya, ia merasa lengannya ditarik hingga ia terbangun. Ia melirik ke sebelah kanannya. Cewek itu menggamit erat lengan kanannya. Lah, dadanya ternyata nggak rata-rata amat, batin Hasbi yang justru fokus pada hal lain.

“Dikaaa, sayangku, cintaku, kasihku, tresnaku, uripku , kamu tak cariin kemana-mana lho malah ndekep tiang listrik!” kata seorang cewek berambut panjang, menggunakan rok tutu dengan make up yang agak tebal. Kosek! Tiang listrik?

“Bentar Mbak berambut panjang, tiang listrik? Mana ya?” Hasbi celingak celinguk mencari tiang listrik. Ia kira di sekitarnya tidak ada tiang listrik.

“Ya kamu itu! Udah tinggi, cungkring, gondrong! Tak sulut rambutmu nanti biar konslet!” Mbak berambut panjang itu memarahi Hasbi sambil menudingkan kipas yang ada di tangannya. Ia kemudian menoleh ke arah cewek bernama Dika.

“Dika, kamu ngapain sih? Kok kamu tadi tega ninggalin akoh!” tanyanya dengan nada lebay. Hasbi sendiri merinding mendengar nada bicaranya seperti melihat lelembut.

“Ermmm.” Dika diam sebentar lalu menoleh ke arah Hasbi. “Erm, yak arena cowokku nunggu. Ini dia!” Dika menunjuk ke arah Hasbi dengan suara yang seakan ditegaskan walaupun Hasbi yakin ia mendengar nada suara yang tidak yakin dan ketakutan. Si Mbak Rambut Panjang menganga tak percaya. Hasbi yang merasa dijadikan pusat perhatian hanya menoleh ke samping.

“Ha?!!!” Hasbi berteriak dengan cukup kenang.

“Benar kan, Yank?” Dika mengeratkan tangannya di lengan Hasbi seakan memberikan petunjuk untuk ikut saja apa yang ia lakukan.

“Ihhh, kok gitu sih?” Wanita rambut panjang itu menghentakkan kakinya. Hasmi melihat itu cukup ketar ketir. Pasalnya, mbaknya menggunakan heels yang cukup tinggi. Salah menghentak saja, resikonya bisa terkilir dan Hasbi jelas tidak mau harus menolong wanita itu. “Katamu, cuma aku satu-satunya! Padahal aku udah nggak masalah kalau harus sama kamu.”

“Kapan aku bilang gitu?” Sekarang rasanya Hasbi hanyalah seekor lalat yang hadir di pertarungan 2 ekor tawon.

“Kemarin kamu bilang gitu sama aku! Kamu bilang, kamu cinta mati sama aku. Kamu bilang, kita bakalan nikah di luar negeri karena disini nggak ada orang yang merestui. Trus sekarang kamu bohong?”

“Itu kan kemarin. Sekarang udah beda. Sekarang dia cowokku!” seru Dika yang semakin erat mendekap lengan Hasbi hingga badan Hasbi condong ke arahnya.

“Pokoknya kita masih sama kayak kemarin. Kamu cinta aku, aku cinta kamu. TITIK!!!” balas Mbak Rambut Panjang yang tak mau kalah.

Hasbi sendiri masih memproses apa yang dia dengar. Bentar, mbak itu cewek, mbak ini cewek. Suka sama suka, cinta sama cinta. Lahhhhh, kenapa aku ada diantara 2 perempuan yang saling cinta!!! “Arggg!!! Tidak!!!” Hasbi berteriak tertahan seakan berharap ada yang menolongnya dari situasi ini.

“Diam kamu!” bentak perempuan berambut panjang itu. Sedangkan DIka justru seakan berlindung dibalik tubuh cungkring Hasbi.

Oh Tuhan, apakah ini godaan atau cobaan?! Batin Hasbi dan sementara, ia hanya bisa pasrah. Tuhan ‘menghukumnya’.

=-=

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel