Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Aku, Bening

Bab 1 Aku, Bening

Aku yang berjalan sendiri menyusuri jalan perkampungan di salah satu ruang pengap ibukota, dengan cuaca yang sangat terik menambah kesan beratnya tinggal di ibukota.

Bening, nama yang indah untuk di miliki seorang perempuan, andai saja hidupku seindah nama yang telah dipilih oleh ibuku ini, namun kenyataannya hidupku tak semudah apa yang aku kira dahulu. Apalagi setelah mendapat berita yang cukup buruk untuk diriku yang harus pindah dari desa yang asri ke ibukota yang terik seperti ini demi menuruti perintah bos ibuku yang memintaku untuk pindah ke sekolah elit yang berada di ibu kota.

Diriku tak pernah tertarik untuk tinggal di daerah ibukota seperti ini, mungkin bagi banyak orang tinggal di dearah ibukota merupakan hal yang membanggakan, namun bagiku tinggal di ibukota merupakan tempat yang memaksa kita untuk memakai topeng setiap saat. Tak seperti di desa yang bisa untuk kita menjadi diri sendiri tanpa mengenal yang namanya perbedaan kasta ataupun hal duniawi lainnya. Tinggal di desa aku bisa dengan siapa saja bercengrama dan bisa menikmati hamparan sawah yang luas, sehingga kita dapat melepaskan segala masalah yang ada di hidup ini dengan hanya memandang dan melepaskan semuanya ketika melihat keindahan alam yang masih sangat asri.

Kini semua harus kujalani, tinggal di daerah ibukota yang pengap, setiap ku membuka mata hanya ada rumah dan hamparan kabel kusut yang teruntai dari rumah ke rumah. Aku masih tak mengerti apa yang ada di dalam pikiran bos ibuku yang memintaku untuk tinggal di ibu kota seperti ini.

Ibuku berkata, “kamu hanya belum terbiasa nak, nanti kalo sudah terbiasa juga mudah untuk dilalui... sabar ya nak, maafkan ibu yang hanya bisa menyusahkanmu selama ini...”

Wajahnya sendu, namun dia selalu berusaha untuk membuat kehidupanku lebih baik, kami bukanlah keluarga kaya.

“Sebenarnya yang bikin Bening mau tinggal disini itu cuma ibu, bu... Bening takut ibu dimarahi sama Pak Bos jika Bening tak ikut apa kata dia,” desahku merasa pasrah.

“Kamu jangan salah kira ya... Dia itu baik, dia ingin membiayai kamu bersekolah disini agar kamu mendapat pendidikan yang bagus di sini, dan kamu dapat menjadi orang sukses seperti dia," harap ibu sambil mata sayunya menatapku. Semakin banyak beban harapan yang ditumpukan ibu padaku.

"Lah kenapa dia baik sekali memikirkan masa depan Bening bu? Padahal Bening saja belum pernah bertemu dengannya, apa karena Bening sudah tak punya ayah ya bu?" selorohku sambil memikirkan kondisiku, si yatim yang miskin. Beruntung masih ada ibu sampai saat ini.

"Eummm bukan gitu nak, pak Sulaiman dan istrinya sering sekali ibu ceritakan bahwa kamu itu pintar dan sering ikut berbagai lomba di sekolah, jadi dia ingin kamu bisa mendapat pendidikan yang layak di sini... dia juga sudah mendaftarkan kamu nak...”

Aku terbeliak terkejut mendengarnya, "dia sudah mendaftarkan Bening bu?" Sungguh aku tak terpikirkan hal ini.

Wajah tirus ibuku yang sayu mengangguk mantap sambil tersenyum, “iya nak, makanya rencanannya ibu mau mengajak kamu ketemu Pak Sulaiman nanti pas ibu berangkat ke rumah pak Sulaiman...” tuturnya masih dengan nada lembut yang menjadi favorit lagu di telingaku.

Aku hanya bisa pasrah mendengarnya, bahuku terkulai lemah tak berdaya saat ibuku menjelaskan hal itu. “Ya sudah bu... Doain saja Bening kuat menjalani sekolah Bening di sini... Ini semua Bening lakukan karena ibu, Bu,” pasrahku sudah tak bisa lagi menolaknya.

Mau tak mau aku memang menjadi orang yang memiliki keinginan untuk merubah nasib meskipun yang kujalani bukanlah yang kuinginkan sepenuhnya.

Wanita yang memang usianya sudah sepuh dan menghabiskan separuh waktunya untuk membesarkanku ini akhirnya memelukku erat, menarik bahuku dan mendekapnya. “Yerima kasih ya nak, kamu sudah mau begini demi ibu... Mudah-mudahan kamu bisa jadi anak yang sukses yah nak...” Doanya sambil menaruh harapan berat di pundakku.

Tak tahukah ibu? Kalau aku juga semakin berat menanggung beban untuk membawa nasib kita menjadi lebih baik?

Aku sempurna meringis mendengarnya, “baik bu... Bening siap-siap dulu Bu. Kalua mau ke rumah bapak Sulaiman.”

Setelah percakapan dengan ibundaku tercinta ini, aku bersiap-siap karena aku ingin bertemu dengan Pak Sulaiman berserta keluarganya yang diceritakan ibuku yang katanya sangat baik. Aku ingin membuktikan apakah benar Pak Sulaiman dan keluarganya benar-benar baik terhadap ibuku?

Setelah sampai di depan gerbang rumah Pak Sulaiman yang sangat megah, kami, aku dan ibuku turun dari angkutan u mum seraya membayar ongkosnya pada Pak Sopir. Aku menjadi terkejut karena belum pernah selama ini aku melihat rumah sebagus ini di desa. Tak berlama-lama aku sudah diajak ibuku masuk ke dalam rumah Pak Sulaiman.

‘Ini sih memang rumah gedong,’ batinku menjerit seiring dengan langkah kakiku yang terasa amat berat menjajaki halaman yang begitu luasnya.

Berjalan menyusuri rumah pak Sulaiman dipandu oleh ibuku, aku kini benar-benar gugup karena takut akan pria yang bernama Pak Sulaiman, namun mengingat perkataan ibuku bahwa Pak Sulaiman dan istrinya sangat baik kepada ibuku, setidaknya aku menjadi sedikit tenang.

Sampai pada ruang tengah dengan lampu kristal di langit-langit yang begitu besar dan cantik dengan kilaunya, membuat aku benar-benar terpukau. Tak sadar karena melihat keindahan lampu yang cantik terdengar suara berat seorang bapak-bapak yang tengah berjalan menuruni tangga.

Ya Tuhan... aku berdegup kencang kala mendengar suaranya yang berat itu.

“Ini anakmu Sri?” tanya pria bertubuh tinggi besar itu. Terlihat tak tua sama sekali bagiku, padahal katanya anaknya seusia denganku, kok terlihat masih awet muda begini?

Ibuku mengangguk sedikit terbungkuk, menandakan sebuah kesopanan. “Njeh pak.. Bening... Sini salaman, ini Pak Sulaiman yang ibu ceritakan,” jelas ibuku sambil menarik tanganku, memberikan tanda untukku mendekat ke arah bos dari ibuku itu.

Aku mengambil punggung tangannya dan menciumnya, selayaknya aku mencium tangan ibuku. “Perkenalkan sebelumnya Pak, saya Bening, anaknya ibu Sri,” sapaku pada Pak Sulaiman dengan benar-benar sopan agar membuat Pak Sulaiman menjadi sangat simpati terhadapku.

Pak Sulaiman tersenyum padaku, dia mengusap rambutku pelan. Mengingatkanku pada sosok mendiang ayahku yang telah pergi meninggalkan kami. “Ya ampun sopannya kamu Nak, tidak menyesal bapak mendaftarkan kamu sekolah di sini. Semoga kamu bisa menjadi orang sukses ya Nak?” doanya.

“Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih banyak atas pemberian bapak ini, mudah-mudahan saya bisa menjaga amanat bapak supaya bisa bersekolah dengan baik Pak.”

“Besok kamu sudah bisa mulai bersekolah, kamu bisa bersama Benua, anak bapak, jika belum tau jalan untuk ke sekolah besok, namun sebelumnya maafkan sikap Benua yang kadang masih seperti anak kecil yah Nak? Semua kebutuhan kamu sudah istri bapak siapkan di ruang belakang tadi,” tuturnya dengan begitu lugas.

Aku sedikit terperangah mendengarnya, anaknya? “Maaf pak, maksudnya anak bapak?”

“Iya Bening, anak bapak. Benua namanya, kamu bisa pergi bareng dia besok pagi.”

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi kali ini.

“Bening berterima kasih banyak atas semua yang telah Pak Sulaiman kasih ke Bening, tapi Bening berangkat sendiri saja Pak tidak apa-apa,” tolakku buru-buru penuh kesopanan.

“Iya sama-sama nak... Enggak apa-apa Nak, besok kamu bareng Benua dulu aja, seterusnya jika kamu sudah tahu, mau jalan sendiri tidak apa- apa, daerah sini berbeda jauh dengan di desa soalnya nak...”

Terpaksa aku mengangguk saja. “Baik Pak, besok pagi Bening ke sini sebelum jam berangkat sekolah ya Pak, terima kasih sekali lagi.” Bahuku turun lunglai seiring mendengar apa yang dimaksud oleh Pak Sulaiman kali ini.

“Iya nak...”

Aku benar-benar telah membuktikan bahwa Ppak Sulaiman sangat-sangat baik seperti apa yang telah dibilang oleh ibuku. Namun apakah hal yang sama berlaku pada Benua? Apakah Benua memiliki sikap yang baik seperti yang dimiliki Pak Sulaiman?

[NEXT PART]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel