Bab 5 – Warm Hug
Langit begitu mendung. Sinar matahari telah tertutup oleh awan gelap. Meski hujan sebentar lagi turun, tapi tak menghentikan Audrey berdiri di depan restoran. Ya, Audrey menunggu Xander yang tadi berlari pergi meninggalkannya begitu saja. Sudah lebih dari dua jam Audrey menunggu sampai Xander kembali tapi nyatanya Xander tak kunjung kembali. Ribuan pesan dan telepon tak juga direspon oleh Xander. Sungguh, Audrey mencemaskan Xander. Audrey takut terjadi sesuatu pada Xander.
“Xander di mana? Kenapa dia tidak kembali juga?” gumam Audrey pelan dan resah. Tadi Xander begitu terburu-buru seperti ingin menemui seseorang. Tapi menemui siapa? Sejak tadi Xander bersama dirinya. Bahkan Xander pun sedang tidak menjawab panggilan telepon.
Saat Audrey masih menunggu di depan restoran tiba-tiba suara gelegar petir terdengar. Refleks, Audrey terkejut. Audrey hendak masuk ke dalam restoran tapi semua terlambat karena hujan turun begitu deras membuat tubuh Audrey basah kuyub.
Audrey sedikit panik karena tubuhnya basah kuyub. Ditambah dia pun tak membawa mobil. Audrey ke sini bersama dengan Xander. Tubuh Audrey sudah menggigil kedinginan. Bibirnya bergetar menahan dingin akibat terkena guyuran hujan.
Hatchiiii
Audrey bersin-bersin. Dinginnya air hujan telah menelusup ke dalam tubuhnya. Audrey ingin pergi meninggalkan tempat itu tapi Audrey takut kalau Xander mencarinya. Akan tetapi Audrey menyadari tak mungkin dia terus berada di sini terlebih tubuhnya sudah dalam keadaan basah kuyub.
“Lebih baik aku pulang saja,” ucap Audrey menahan rasa kesalnya. Detik selanjutnya, Audrey menuju ke halte, dan terpaksa Audrey menghentikan taksi. Audrey tak memiliki pilihan lain. Audrey terpaksa pulang menggunakan taksi. Bisa saja Audrey menelepon sopir untuk menjemputnya namun itu pasti akan memakan waktu untuk menunggu.
***
“Berengsek!” Xander mengumpat kasar seraya menghempaskan tubuhnya ke sofa apartemennya. Tampak raut wajah Xander begitu kacau. Pria itu mengusap wajahnya kasar. Emosi terkumpul dalam dirinya seakan ingin meledak.
Sejenak, Xander berusaha untuk mengendalikan emosi. Xander memejamkan mata singkat. Wajahnya menunjukan raut wajah yang begitu frustrasi. Tadi siang Xander berusaha mengejar sosok wanita yang sangat mirip dengan sosok wanita yang Xander cari-cari selama ini. Akan tetapi sayangnya Xander tadi kehilangan jejak dan tak bisa menemukannya.
Suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Xander mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi orang yang mengetuk pintu untuk segera masuk. Sebelum kembali ke apartemen, Xander meminta Chad—asistennya untuk datang.
“Tuan Xander,” sapa Chad sopan.
Xander membuka matanya, menatap dingin asistennya yang ada di hadapannya. “Kau sudah mencari tahu di mana Serry berada?” tanyanya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.
Xander meminta Chad untuk mencari keberadaan Serry—wanita yang sejak dulu ada di hati Xander. Namun, wanita itu juga yang menghilang dan menghindar darinya. Sejak dulu Xander sudah mencari keberadaan Serry. Namun kenyataannya Xander tak bisa menemukan Serry.
“Maaf, Tuan Xander. Saya sudah melihat list data pendatang di Roma tidak ada yang bernama Serry Ace. Saya yakin tadi pasti Anda salah melihat,” jawab Chad memberitahu Xander.
Xander mengembuskan napas kasar. Tujuh tahun sudah Xander mencari-cari keberadaan Serry. Namun tak ada satu pun petunjuk yang menunjukan keberadaan Serry. Setiap kali mengingat moment di mana dirinya berpisah dengan Serry selalu membuat hati Xander sesak. Perpisahannya dengan Serry dikarenakan dirinya yang begitu pengecut terlalu lama bertindak dalam memperjuangkan hubungan mereka.
“Kau boleh pergi, Chad. Selesaikan pekerjaanmu yang lain,” ucap Xander dingin dan tegas.
“Maaf, Tuan Xander. Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ujar Chad dengan serius.
“Ada apa?” Xander menatap lekat Chad.
“Tadi di jalan saya tidak sengaja bertemu dengan Tina, asisten Nona Audrey. Tina sedang menuju apotek membeli obat. Tina mengatakan Nona Audrey sakit karena kehujanan,” jawab Chad yang langsung membuat Xander mengerutkan keningnya.
“Audrey sakit?” Xander terdiam beberapa saat. Ingatan Xander langsung mengingat tadi siang dirinya meninggalkan Audrey di restoran. Pun tadi sempat turun hujan. Apa Audrey menunggunya di luar sampai kehujanan? Shit! Bodoh! Xander mengumpati kebodohan Audrey kalau benar wanita itu rela menunggunya sampai kehujanan.
“Benar, Tuan. Nona Audrey sakit. Tapi beliau tidak mau diperiksa dokter. Itu kenapa Tina pergi ke apotek mencari obat untuk Nona Audrey,” jawab Chad melaporkan.
“Di mana Audrey sekarang?” tanya Xander dingin namun tersirat nada yang sedikit khawatir.
“Nona Audrey sekarang ada di apartemen pribadinya, Tuan,” jawab Chad lagi.
Tanpa banyak bicara, Xander menyambar jaket kulit dan kunci mobilnya—lalu pria itu berlari meninggalkan apartemennya, menuju parkiran mobil. Tak ada pilihan lain, Xander harus menemui Audrey. Xander tak mau disalahkan jika sampai terjadi sesuatu pada wanita bodoh itu. Jika saja Audrey tak menunggunya; maka Audrey tak akan sakit.
***
Xander melajukan mobil sport miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tampak raut wajah pria itu begitu dingin dan sorot mata begitu tajam. Jika saja Chad tak memberitahukan dirinya kalau Audrey sakit; maka sudah pasti Xander lupa kalau tadi siang dia meninggalkan Audrey di restoran. Kala itu pikirannya hanya dipenuhi oleh sosok wanita yang mirip dengan wanita yang selalu ada di hati dan pikirannya.
Mobil yang dilajukan Xander memasuki gedung apartemen di mana unit apartemen Audrey berada. Sebenarnya Audrey biasa tinggal bersama dengan keluarga. Hanya saja kalau di moment-moment tertentu Audrey memilih menginap di apartemen pribadi wanita itu.
Xander turun dari mobil dan segera menuju unit apartemen di mana Audrey berada. Menjalin hubungan sejak lama dengan Audrey tentu Xander mengetahui segalanya tentang Audrey. Termasuk sifat bodoh dan naif wanita itu.
Saat tiba di depan unit apartemen Audrey, Xander segera menekan password apartemen Audrey. Dan ketika pintu berhasil terbuka, Xander masuk ke dalam apartemen.
“Tuan Xander,” sapa pelayan yang sedikit terkejut melihat kehadiran Xander.
“Di mana Audrey?” tanya Xander langsung tanpa basa-basi.
“Nona Audrey berada di kamarnya, Tuan,” jawab sang pelayan sopan.
Xander mengangguk singkat merespon ucapan sang pelayan. Detik selanjutnya, pria itu langsung menuju kamar Audrey. Terlihat raut wajah Xander dingin namun memancarkan rasa khawatir. Bagaimanapun Audrey sakit karena menunggu dirinya.
Di kamar, Xander melihat Audrey tertidur dan terbalut oleh selimut tebal. Pria itu mendekat, dan duduk di tepi ranjang seraya membawa tangannya menempelkan ke kening Audrey. Seketika Xander berdecak pelan kala tubuh Audrey masih hangat. Xander yakin kalau Audrey pasti kehujanan cukup lama. Tak mungkin jika hanya sebentar sampai membuat Audrey sakit seperti ini.
Pelupuk mata Audrey bergerak-gerak kala merasakan ada yang menyentuh keningnya. Perlahan ketika Audrey membuka matanya, senyuman di wajah wanita itu pun terlukis—menatap Xander ada di hadapannya. Kecemasan di hati Audrey menghilang saat melihat Xander. Audrey tahu pasti Xander peduli padanya.
“Xander? Kau di sini?” Audrey tersenyum hangat.
“Kenapa kau menungguku sampai kehujanan, Audrey? Harusnya kau langsung pulang saja,” seru Xander menatap jengkel Audrey yang keras kepala.
“Berbaringlah, Xander. Aku ingin tidur di pelukanmu,” pinta Audrey yang tak mengindahkan ucapan Xander.
“Audrey—”
“Please, aku mohon berbaringlah. Aku ingin tidur di pelukanmu,” pinta Audrey seraya menatap Xander penuh permohonan.
Xander pun akhirnya menurut. Pria itu membaringkan tubuhnya di samping Audrey. Tepat Xander sudah membaringkan tubuhnya, Audrey langsung menyandarkan kepalanya di dada bidang Xander. Memeluk erat Xander seraya membenamkan wajahnya di dada bidang pria itu.
“Aku menunggumu karena aku khawatir terjadi sesuatu padamu, Xander,” ucap Audrey pelan dari dalam pelukan Xander.
Xander mengembuskan napas kasar. “Lain kali jangan menungguku seperti tadi. Kau langsung pulang saja.”
“Bagaimana bisa aku seperti itu, Xander? Aku mencemaskanmu.” Audrey mendongakan kepalanya, menatap Xander lembut. “Tadi kau begitu terburu-buru. Aku pikir kau ada masalah. Jadi aku tidak bisa meninggalkanmu.”
“Tadi aku memiliki sedikit pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda,” jawab Xander datar.
Audrey menganggukan kepalanya. “Yasudah, lupakan saja. Terpenting kau sudah ada di sini.”
“Tidurlah. Kau masih sakit,” balas Xander dingin.
“Kiss me first, Xander.”
“Audrey, tidur!”
“Aku akan tidur kalau kau menciumku.”
Xander tak banyak bicara. Pria itu langsung mengecup kening Audrey. “Sekarang tidurlah!”
“Bibir, Xander bukan kening,” rengek Audrey manja.
Xander berdecak kesal. Detik selanjutnya, Xander menarik tengkuk leher Audrey dan langsung melumat bibir Audrey. Awalnya Xander ingin mengakhiri ciuman itu tapi bibir Audrey begitu manis dan kenyal. Pun Xander memperdalam ciumannya. Tak hanya diam, Audrey membalas ciuman Xander. Bibir mereka saling mencecapi. Lidah mereka saling membelit satu sama lain.
“Tidurlah.” Xander melepaskan pagutannya, menatap Audrey penuh perintah.
Audrey mengangguk patuh. Wanita itu membenamkan wajahnya kembali di dada bidang Xander, memeluk erat sang tunangan seraya menghirup aroma parfume maskulin tunangannya itu. Sedangkan Xander hanya bergeming kala Audrey memeluk erat dirinya. Pria itu tak membalas namun tak menolak pelukan Audrey.
***
-To Be Continued