Bab 4 – Unwanted Arranged Marriage II
“Xander, apa Paman Marco sudah pulang?” Audrey melangkahkan kakinya keluar dari walk-in closet. Menatap Xander yang baru saja masuk ke dalam kamar. Terlihat tubuh Audrey sudah terbalut dress berwarna merah muda motif daun kecil yang membuat Audrey tampil begitu cantik. Rambut pirang Audrey terjuntai membukau. Mata abu-abunya cerah dan memesona. Bibir mewah mudanya telah dipoles oleh lip gloss. Meski tak memakai riasan tebal tapi Audrey tetaplah sangat cantik. Sekitar beberapa jam sebelum Audrey bangun tidur, Xander sudah meminta orangnya untuk membelikan pakaian untuk Audrey. Tak mungkin Audrey memakai gaun yang sama seperti yang dipakai di klub malam.
“Sudah,” jawab Xander singkat dan raut wajah yang dingin.
Audrey mendesah pelan. Raut wajahnya menunjukan kekecewannya mendengar Marco sudah pulang. “Padahal tadi aku ingin sekali menemui Paman Marco, Xander. Harusnya kau tadi bilang pada Paman Marco untuk menungguku sebentar. Aku ingin menyapa Paman Marco.”
“Kau bisa menghubunginya jika kau ingin bebicara dengannya. Sekarang bersiaplah. Aku akan mengantarmu pulang. Kalau kau ingin mengurus pernikahan kita, kau urus saja. Jangan memintaku untuk ikut andil dalam persiapan perikahan,” tukas Xander dingin yang sontak membuat raut wajah Audrey berubah.
“M-menikah?” Audrey melangkah mendekat pada Xander, menatap Xander dengan tatapan mata yang berbinar bahagia. “Kita akan menikah, Xander?” tanyanya yang tidak lagi bisa menahan betapa bahagia dirinya.
“Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau sudah tahu kalau dua minggu lagi kita akan menikah?” jawab Xander kesal.
“Kau tidak membatalkan renacana pernikahan kita, Xander?” Audrey menatap dalam manik mata cokelat Xander. Tatapan yang jelas memendung rasa haru bahagia yang tak terhingga.
“Memangnya pernikahan kita bisa dibatalkan? Bukannya tidak akan mungkin bisa?” Xander membalikan ucapan Audrey. Tatapan pria itu menatap Audrey dengan tatapan dingin menahan rasa kesal terbendung dalam dirinya. Pertanyaan yang diucapkan Audrey adalah pertanyaan bodoh. Kalau saja pernikahan bisa dibatalkan; maka Xander sudah membatalkannya.
Senyuman di wajah Audrey terlukis kala mendengar ucapan Xander. Audrey tak peduli sifat dingin Xander. Terpenting Xander mau menikah dengannya. Detik selanjutnya, Audrey melompat memeluk leher Xander. Refleks, Xander melingarkan tangannya di pinggang Audrey kala tubuh Audrey tak seimbang dan nyaris jatuh.
“Audrey! Kau ini apa-apaan! Kenapa melompat seperti itu!” seru Xander emosi kala Audrey melompat dan nyaris jatuh. Hal yang paling Xander tak sukai dari Audrey adalah sifat ceroboh wanita itu yang tak pernah berubah.
“Aku mencintaimu, Xander. Sangat mencintaimu. Aku senang sebentar lagi kita akan menikah.” Audrey tak memedulikan ucapan Xander. Wanita itu mengecupi bibir Xander lembut. Sedangkan Xander hanya diam kala Audrey mencium bibirnya. Tak ada balasan dari Xander tapi juga tidak ada penolakan.
“Segera bersiaplah. Aku akan mengantarmu pulang.” Xander mengabaikan ungkapan cinta Audrey.
Audrey bergelayut manja di lengan Xander. “Aku tidak mau langsung pulang. Aku ingin kita makan di luar dulu.”
“Aku sibuk, Audrey!” tukas Xander.
Audrey mengerutkan bibirnya. “Hanya sebentar saja, Xander. Tidak akan lama. Aku ingin makan di luar. Aku bosan makan di rumah. Please.”
Xander mengembuskan napas kasar. “Fine, tapi kita tidak akan lama. Kalau kau lama, aku akan meninggalkanmu di restoran. Kau pulang saja bersama dengan taksi.”
Audrey tersenyum seraya memberikan kecupan di rahang Xander. “Aku berjanji tidak akan lama, Sayang.”
***
Sebuah restoran Perancis ternama di Roma menjadi tempat di mana Xander membawa Audrey untuk makan siang bersama. Kedua insan itu duduk di kursi meja makan di dekat jendela sesuai keinginan Audrey yang ingin melihat pemandangan indah di kota Roma.
Pelayan mulai menghidangkan beberapa makanan khas Perancis dan minuman beralkohol. Tepat makanan sudah terhidang, Audrey lebih dulu menikmati makanan. Sedangkan Xander lebih memilih meminum whisky yang sudah pria itu pesan.
“Xander, nanti aku ingin konsep pernikahan kita mewah seperti pernikahan putri raja. Ah, iya. Aku juga ingin gaun pengantinku nanti aku akan memesan di designer terbaik. Aku ingin pernikahan kita benar-benar sempurna, Xander,” seru Audrey dengan senyuman di wajahnya. Benak Audrey sudah membayangkan pernikahan seperti putri raja. Dekorasi yang indah dan mewah terngiang dalam benak Audrey. Amarah dan sakit hatinya akan perkataan Xander seolah lenyap kala mengingat dirinya dan Xander akan segera menikah.
“Terserah kau atur saja,” jawab Xander acuh dan tak peduli.
“Nanti kalau kita sudah menikah kita tinggal di mana, Xander? Apa kita tinggal di apartemenmu?” tanya Audey begitu bersemgat.
“Tidak. Aku akan meminta orangku mengatur rumah baru setelah kita menikah,” jawab Xander dingin dan raut wajah tanpa ekspresi.
Audrey menganggukan kepalanya. “Ah, ya, satu lagi. Kita akan bulan madu di mana, Xander?”
“Tidak ada bulan madu. Aku sibuk. Banyak project yang sedang aku tangani,” jawab Xander dingin.
“Xander tapi—”
“Audrey, jangan kekanakan. Kau tahu aku sibuk. Jangan banyak menuntut sesuatu hal yang kau jelas tahu tidak bisa,” potong Xander menegaskan.
Bibir Audrey tertekuk dalam. Raut wajahnya menunjukan jelas kekecewaan. Impian Audrey bulan madu indah dengan Xander tak terwujud. Padahal sejak dulu bulan madu romantis selalu Audrey impi-impikan.
Audrey menghela napas panjang. Audrey berusaha mengerti dan berpikir positive. Mungkin saja nanti dia dan Xander akan bulan madu setelah Xander sudah tidak terlalu sibuk. Lagi pula yang terpenting bagi Audrey adalah Xander sebentar lagi akan menikah dengannya.
“Baiklah tapi kalau nanti kau sudah tidak terlalu sibuk, kita harus bulan madu.” Audrey memeluk lengan Xander, dan menyandarkan kepalanya di lengan kekar tunangannya itu.
Xander tak mengindahkan permintaan Audrey. Pria itu memilih menyesap whisky di gelasnya seraya menatap ke kaca jendela, melihat orang lalu lalang berjalan di trotar. Dan tiba-tiba tatapan Xander tanpa sengaja—menatap sosok wanita berambut cokelat tebal memakai dress berwarna merah. Mata Xander menyipit, seperti mengenali rambut dan bentuk tubuh wanita itu.
Xander meletakan whisky di tangannya ke atas meja, menatap seksama wanita yang memakai dress berwarna merah itu. Seketika raut wajah Xander berubah. Matanya menajam kala dirinya yakin siapa wanita yang ada di seberang jalan. Detik selanjutnya, Xander menjauhkan tubuh Audrey yang memeluknya; pria itu langsung berlari meninggalkan Audrey begitu saja.
“Xander! Tunggu kau mau ke mana!” seru Audrey kencang. Sayangnya Xander peduli dengan Audrey yang memanggilnya. Xander terus berlari meninggalkan Audrey di restoran sendirian. Tampak raut wajah Audrey begitu muram kala Xander pergi meningalkannya sendirian.
“Xander pergi ka mana? Kenapa terburu-buru sekali?” gumam Audrey dengan raut wajah yang sedih. Ingin sekali Audrey menyusul tapi dia tidak bisa. Pasalnya lari Xander begitu cepat tak akan mampu Audrey imbangi.
***
-To Be Continued