Bab 7 Mengakui perbuatan
Empat bulan berlalu
Saat ini Jihan tengah mengandung calon anak pertamanya, usia kandungannya memasuki bulan ke empat. Perut nya pun mulai terlihat membuncit saat ini.
Beberapa bulan belakangan, dia mengalami morning sickness yang cukup parah namun dokter telah memberinya obat pereda mual. Barata sendiri begitu protektif pada istrinya, sesuai kesepakatan beberapa bulan lalu mereka tetap fokus pada kehamilan Jihan setelah kejadian beberapa bulan lalu, di mana ibu menolak kehadiran mereka ke rumahnya. Jihan juga sempat hampir keguguran karena stress akan ucapan sang ibu.
Wanita hamil itu tampak bersedih, penolakan ibunya yang kedua kalinya membuatnya terluka. Justru bayi dalam perutnya mendapat makian dari neneknya sendiri sontak tentu saja membuatnya sangat kecewa.
"Harus dengan cara apalagi Kang, untuk meluluhkan hati Ibu, Ibu boleh marah sama aku namun dia tak seharusnya menghina bayi dalam perutku yang tak berdosa. " gumam Jihan lirih.
Barata paham akan perasaan istrinya, dia rengkuh sambil mengusap perut buncit istrinya itu. "Yuk sayang, jalan jalan ke luar sebentar ya agar tidak stress, yakinlah lambat laun Tuhan akan melembutkan hati Ibu nantinya!
Jihan mengangguk, pasangan suami istri itu ke luar dari rumah. Dia berpapasan dengan mbak Rita. Mbak Rita kini menyuruhnya bergabung, wanita itu meminta Barata bergabung dengan para lelaki lainnya di sana.
"Bentar Ji, kata kamu dulu Barata pertama kali melihatmu terhanyut di dalam sungai, memangnya sebenarnya apa yang
terjadi? " tanya Rita penasaran.
"Aku di dorong sama ismi dan Saras mbak, teman aku di kampung. " Jihan berbagi keluh kesahnya dengan para wanita lainnya.
"Astaga jahat banget sama mereka, kamu memangnya gak bilang sama ibu kamu Jihan? " tanya Rita yang di tanggapi celengan. wanita hamil itu enggan bercerita jika ibunya saja tak mempercayai dirinya.
Rita sendiri mengalihkan pembicaraan, dia tak ingin Jihan banyak pikiran hingga berdampak pada calon bayinya. Jihan sendiri merasa bersyukur, masih banyak orang yang begitu sayang dan menghargai dirinya serta bayi dalam kandungannya.
"Kau anugerah terindah bagi ibu dan ayah nak, ibu harap kamu kelak menjadi orang yang bersahaja dan bertutur kata baik pada orang lain dan keluarga. " batin Jihan penuh harap.
Jihan terus mengusap perutnya sambil mengobrol dengan teman temannya ini. Banyak nasehat yang dia dapatkan dari Rita dan lainnya, tentu saja dia menerimanya dengan baik.
Drap drap
Saras turun dari motor, keduanya langsung menemui sekumpulan para wanita. Jihan menoleh, raut cerianya seketika berubah melihat kehadiran dua gadis itu.
"Bolehkah kami bergabung bersama kalian? " tanya Ismi dengan nada sopan nya. Irma sendiri menyuruh Jihan duduk ke belakang, dia tak ingin Ismi mencelakai Jihan dan calon bayinya.
"Silakan saja. " ujar Irma dengan nada datarnya.
Saras memperhatikan perut Jihan yang membuncit, dia berbasa basi menyapa teman lamanya itu. Jihan sendiri hanya menanggapinya dengan singkat. Gadis itu bercerita jika dirinya telah menikah dengan salah satu pemuda desa bernama Harun Saputra.
"Selamat atas pernikahan kamu Ras, kok kamu ada di sini. " ucap Jihan dengan tulus.
"Aku tinggal tak jauh dari sini, ikut suamiku Ji. " jawabnya sambil tersenyum miring. Jihan hanya mengangguk, tak bertanya lagi mengenai Saras. Saras sendiri membicarakan pertemanan dirinya dengan Jihan pada Rita dan lainnya.
Irma sendiri mendumel dalam hati melihat sikap Saras yang terkesan mencari perhatian dari dirinya dan teman temannya yang lain.
"Teman yang baik tak akan menusuk temannya dari belakang Saras, apalagi sampai mendorongnya ke sungai. " ceplos Irma sambil tersenyum.
Saras tersentak kaget, dia melirik kearah Jihan yang diam saja. Tubuh perempuan itu bergetar hebat namun dia berusaha menenangkan dirinya.
"Maksud kamu apa Irma? " tanya Saras pura pura tak mengerti.
"Huh sudahlah, percuma bicara sama wanita munafik seperti kamu Saras. " ketus Irma membuat Saras tak berkutik. Wanita hamil itu kembali duduk, mengobrol dengan pada wanita lainnya.
Saras POV
Apa Jihan yang memberitahu Irma jika aku dan ismi yang mendorongnya. Aku harus berhati hati, mungkin saja Jihan bisa saja melaporkan dirinya ke polisi. Enggak aku enggak mau di penjara, aku harus memperingatkan Jihan mengenai hal ini. Kenapa hidup Jihan justru bahagia setelah terusir dari kampung, benar benar menyebalkan.
Jihan pamit pada yang lainnya, wanita hamil itu hendak pulang ke rumah. Saras segera bangkit dan menyusulnya, wanita itu mencekal tangan Jihan hingga membuat langkah wanita hamil itu terhenti.
"Kenapa kami harus memberitahu Irma tentang hal itu? " desak Saras. Jihan menepis pelan tangan Saras, raut wajahnya berubah datar.
"Kenapa kamu takut, perbuatan jahatmu itu perlu di laporkan ke polisi! "
"Kamu. "
Saras melayangkan tangan, Jihan justru menantangnya. Sret Barata datang, mencekal erat tangan Saras lalu menghela akan nya secara kasar. "Apa yang kau lakukan pada istriku? " bentak Barata dengan nada tingginya.
"Aku.. Aku. " Saras tampak tergagap. Irma dan lainnya datang, Barata menjelaskan kejadian barusan.
"Kamu memang keterlaluan Saras, bawa dia ke kantor pak RT sekarang. " Irma dan Rita segera menyeretnya pergi dari sana. Sementara Barata mendekati istrinya, lalu mengajaknya pulang ke rumah. Pria itu membantunya duduk di sofa dengan pelan pelan, Barata menenangkan sang istri.
"Maafin eneng ya kang, gara gara eneng kampung ini jadi sering terjadi keributan. " sesal Jihan.
"Ini bukan salah kamu Neng! " Barata membawa istrinya ke pelukan, mengusap perut buncit sang istri. Jihan menghela nafas berat, kenapa Saras masih tetap membencinya hingga sekarang. Dia mengusap perutnya, meski dirinya di sakiti fisiknya asalkan bayi dalam kandungannya baik baik saja.
Sementara di rumah pak RT, Irma dan temannya mendesak pak Rt untuk menghukum Saras. Saras menangis ketakutan, banyak warga yang menyoraki dirinya saat ini. Harun selaku suami dari Saras datang memenuhi panggilan.
"Ada apa ini? "
"Kau tahu kang, istrimu ini seorang pembunuh, beberapa bulan lalu dia mendorong Jihan ke sungai di bantu
Ismi. " ketus Irma. Harun menoleh kearah istrinya itu, Saras tetap mengelak dan justru menyalahkan Jihan dalam hal ini.
Rita yang melihatnya menggelengkan kepalanya, tak menyangka jika Saras begitu munafik. Irma sendiri merasa geregetan ingin sekali menarik rambut Saras hingga botak.
"Kalau enggak percaya tanya saja Barata, pertama kali dia menolong Jihan dalam keadaan pipi memar parah. " ujar Irma dengan sungguh sungguh. Para warga lain kini membicarakan kelakuan Saras yang begitu kena menurut mereka. Saras sendiri berusaha meyakinkan suaminya agar mempercayai dirinya namun Harun hanya diam saja.
Tak lama Barata dan istrinya datang, keduanya turun dari motor. Barata memapah istrinya menuju ke rumah pak RT. Pria itu meminta istrinya duduk di salah satu kursi berhadapan dengan Saras.
"Bu Jihan, apa benar ucapan Irma jika Saras yang mendorong kamu di sungai waktu lalu? " tanya Pak RT.
"Benar pak. " jawab Jihan dengan tegas. Kini warga menyoraki Saras yang menunduk. Harun sungguh kecewa jika benar istrinya yang mendorong Jihan, lelaki itu menyuruh Saras untuk jujur sekarang.
Hiks tak ada pilihan lain Saras mengakui perbuatannya itu, dia melakukan hal itu karena iri dan dengki. Jihan sendiri tak bergeming, wanita hamil itu memilih memeluk suaminya berusaha menahan dirinya agar tak emosi.
"Sekarang hukuman apa yang tepat untuk Saras, bagaimana menurut kamu Bu Jihan? "
Semua perhatian kini tertuju pada Jihan, Jihan melepaskan pelukannya. Wanita itu menghela nafas pelan, menatap lurus ke arah Saras.
"Biar Pak RT saja yang memutuskan, saya tak berhak lagipula saya sudah memaafkan Saras. " ujar Jihan dengan bijak.
