Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1 Tentang Gaida Larasati

Bab 1 Tentang Gaida Larasati

Kantor Pandawa Entertainment.

Seorang lelaki duduk dengan santai di ruang kerjanya sambil memainkan pulpen. Ia membaca beberapa profil artis-artis dalam naungan agensi milik keluarganya. Dialah Rafael Yudhistira, seorang produser eksekutif di label manajemen artis Pandawa Entertainment.

"Hmm, kalian adalah tambang emas bagiku," gumam Rafael sambil terus mengetukkan pulpennya ke meja hingga menimbulkan bunyi.

Seorang gadis sekitar umur 20 tahun memasuki ruang kerja produser musik dari Pandawa Entertainment itu. Ia duduk dan terlihat cemas.

"Apa-apaan kau ini, Rafael? Kau menyuruhku syuting video musik di tempat angker? Yang benar saja?"

"Jaga batasanmu, Gaida! Aku ini pimpinan di sini. Meski kau itu artis besar, tapi siapa yang menyuruhmu lancang seperti ini, heh?"

Gadis yang dipanggil Gaida, terdiam sejenak. Ia melipat kedua tangan dan menatap sinis ke arah lelaki yang berada di depannya.

"Itu konsep yang dipilih pencipta lagumu langsung. Dia ingin menampilkan sisi misterius dari lagunya. Jika kau masih ingin menikmati ketenaranmu, sebaiknya menurut saja, bukan?" Rafael berucap serius.

"Apa kau juga ikut pergi dalam pembuatan musik videoku nanti?"

"Entahlah, aku akan melihat jadwalku dulu." Rafael menyahut.

Gaida menggenggam tangan Rafael yang berada di atas meja. Ia berucap,

"Kumohon ikutlah, El! Aku akan menunjukkan bakat aktingku juga padamu selain suara emasku."

Rafael mengibaskan tangan Gaida yang menggenggam erat tangannya.

"Jangan merengek seperti anak kecil, Gai! Aku terlalu sibuk untuk hanya sekedar melihat syuting MV-mu," tolak Rafael.

Gaida mengerucutkan bibirnya kesal. Ia benar-benar sulit mendekati pemuda itu. Jika saja semuanya lancar, ia mungkin dapat lebih terkenal dari saat ini dengan bantuan Rafael.

"Jika kau sudah tidak berkepentingan lagi, sebaiknya segera angkat kaki. Aku sedang sibuk mengurusi rencana tour para artisku yang lain saat ini."

Gaida menggebrak meja kerja Rafael.

"Kau! Kenapa berubah seperti ini, El?! Kau biasanya baik padaku, kan?"

"Aku baik pada semua artisku, asal kau tahu." Rafael mengelak. Ia merilekskan tubuh, bersandar di sandaran kursi putar.

"Apa ini karena artis baru itu, huh?" cebik Gaida.

"Mikha maksudmu?"

"Siapa lagi? Dia yang tiba-tiba muncul hanya karena menang ajang pencarian bakat itu maksudmu? Artis karbitan seperti dia, mana bisa dibandingkan dengan aku, eum?"

"Kau merasa posisimu terancam, heh?"

"Mana mungkin, El! Dia dan aku tak selevel. Aku ini seorang aktris sekaligus penyanyi tersohor di negeri ini. Bagaimana bisa kau bandingkan aku denga dia, hah?!" Gaida membentak. Bahkan, ia kini bangkit dari duduknya.

"Jika seperti itu, maka tenanglah! Aku tidak pernah membedakan maupun memberi hak istimewa pada salah satu artisku. Jadi, kenapa kau khawatir, heum?"

Gaida menghela napas, setelah itu mengembuskannya perlahan. Berusaha meredam emosinya.

"Siapa aktor yang muncul di MV-ku nanti?"

"Yuji Pradhika dan Mikha Kirana," sahut Rafael.

Mata Gaida membeliak seketika. Nama itu lagi? Ia beberapa kali mendengar nama rivalnya itu sejak tadi pagi.

"Kenapa harus si Mikha artis karbitan itu, El? Kau tidak bisa membayar artis lain, eum?"

"Ini strategi marketing, Gai. Beberapa minggu lagi, Mikha akan debut. Jadi, agensi ingin mengenalkannya di mata publik saat ini."

"Dengan mendopleng popularitasku juga, begitu? Enak sekali dia! Aku yang berusaha dari nol, dari menjadi artis cilik dan menjadi terkenal seperti sekarang ini. Kenapa aku juga yang harus membantunya, hah?!" sungut Gaida.

"Kau hanya artis, kau tidak bisa mengatur apapun kegiatan agensi. Jadi, jaga batasanmu!" pungkas Rafael.

Gaida beranjak dan menghentakkan kaki ke lantai, kesal. Setelah itu, ia berjalan ke luar ruangan.

Rafael menatap punggung indah Gaida sambil tersenyum misterius.

***

Di salah satu institut seni budaya di kota ini, seorang pemuda tengah duduk di kantin. Ia menatap kagum layar ponselnya. Ia menggulir layar ponsel sembari tersenyum aneh.

Di layar ponsel, terpampang foto-foto pemain film sekaligus penyanyi terkenal, Gaida Larasati.

Senyum kagum tidak henti-hentinya menghiasi bibir tipis pemuda berkaca mata itu. Dialah Eric, seorang mahasiswa tahun kedua di universitas ini. Mata sayu beriris coklat keemasan yang indah, sayangnya tertutupi kaca mata tebal.

Eric menikmati bakso sambil terus memperhatikan layar ponselnya. Ia tak henti-henti menggumamkan pujian pada Tuhan karena menciptakan makhluk cantik bernama Gaida itu.

Meski ia dan Gaida satu jurusan, tapi Gaida jarang ikut kelas. Eric jarang melihat Gaida di beberapa mata kuliah.

Bahkan mungkin, Gaida tak mengetahui eksistensi Eric. Entahlah.

Sering kali Eric menunjukkan eksistensinya dengan meminta foto bersama atau sekedar minta tanda tangan pada Gaida. Namun, sering kali permintaannya diabaikan oleh gadis itu.

Eric sadar diri, dia hanyalah pemuda biasa. Bagaimana mungkin sosok terkenal seperti Gaida akan mau menyapanya.

Eric memiliki kepribadian yang introvert. Ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan jika tak ada jam kuliah. Atau seperti saat ini, makan di kantin sembari menunggu jam kuliah berikutnya.

"Begitu Agung Sang Pencipta yang menciptakan makhluk secantik dirimu, Duhai Makhluk Terindah Gaida Larasati." Eric menggumam. Jarinya mengusap layar ponsel. Di sana ada poster album Gaida Larasati, dengan judul 'Cinta Tragis'.

Poster album yang akan rilis beberapa minggu lagi itu, menunjukkan sosok Gaida yang terlihat sangat cantik, memakai dress biru selutut dengan pose menyampingi matahari akan terbenam. Lekukan indah wajah cantik Gaida seperti lukisan berlatar langit petang oranye kemerahan.

Dugh!

Seseorang menyenggol lengan Eric, membuat Eric menjatuhkan ponselnya ke kuah bakso.

"Haassh! Ponselku!" pekik Eric yang segera mengambil ponselnya di mangkok yang berisi kuah bekas makan bakso tadi.

Setelah membersihkan ponselnya menggunakan lap meja kantin, Eric mendongak. Melihat sosok yang menabrak lengannya baru saja.

Eric melihat sorot mata mengerikan dari pemuda yang masih berdiri di sampingnya. Ya, dia adalah Arjun, teman satu jurusan dengannya. Tapi, mereka sama sekali tidak akrab. Eric menatap Arjun, tidak suka.

"Kenapa? Mau marah, hah?!" sungut Arjun. Ia sembari menoyor kepala Eric dengan kasar. "Sampah sepertimu, merusak pemandanganku saja."

Eric mengepalkan tangannya. Namun, ia tak melakukan apa-apa. Hanya diam membisu di tempat ia berada tadi.

Arjun mencengkeram rahang tegas Eric, memaksa Eric untuk menoleh ke arahnya. "Kalau aku ngomong itu, tatap mataku, Sialan! Punya nyali juga ya kau mengabaikanku!"

Eric tak menjawab. Ia malah mengalihkan wajahnya ke samping, membuat Arjun semakin menekan kedua pipi Eric menggunakan jari telunjuk dan jempolnya.

"Kau berani menantangku, hah?!" Arjun membentak. Ia benar-benar kesal melihat sikap acuh Eric itu.

"Kalau tidak ada yang penting, aku ingin pergi ke perpustakaan dulu," ujar Eric. Ia menghembaskan tangan Arjun dari wajahnya. Eric berdiri dan melangkahkan kaki.

Saat Eric sudah berjalan beberapa langkah, ia merasakan ada yang menarik bahunya. Detik berikutnya,

DUAGH!

Tinju melayang ke wajah Eric, hingga membuat kacamatanya terjatuh. Pandangan Eric mengabur, selain karena pukulan tadi juga karena kacamatanya terlepas.

Eric menggunakan meja yang berada di belakangnya sebagai pegangan. Ia berjongkok dan meraba-raba lantai, mencari kacamata yang terlepas tadi.

Belum juga ia menemukan kacamatanya, ia merasa tangannya perih karena diinjak seseorang. Eric berusaha menarik tangannya.

"Aku tidak pernah mengganggumu, Jun! Kenapa kamu selalu kejam padaku, huh?!" ucap Eric. Ia sembari memincingkan mata agar dapat melihat posisi Arjun lebih jelas.

"Aku nggak perlu alasan untuk dapat mengganggumu, Sialan!" Arjun berujar. Ia semakin menekan kakinya yang menginjak tangan Eric.

Eric membuang napas kasar. Ia sebenarnya tak ingin mencari gara-gara. Tapi, jika situasi seperti ini, apa boleh buat?

Eric sekuat tenaga menarik tangannya yang diinjak Arjun, membuat pijakan Arjun goyah. Setelah itu, Eric menarik pergelangan kaki kanan pemuda di depannya itu.

Tubuh Arjun seketika jatuh ke belakang menghantam lantai, saat kakinya diseret paksa oleh pemuda yang ia benci bernama Eric itu. Arjun merasakan punggungnya sakit. Ia mengerang kesakitan.

Eric tak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah ia menemukan kacamatanya di bawah salah satu meja, ia segera kabur dari amukan Arjun.

"Kabur ke mana kau, Brengsek!" teriak Arjun, frustrasi.

***

Gaida berada di paviliun tua tengah hutan untuk syuting video musik yang menjadi tittle track di album kelimanya.

Saat ini, Gaida tengah memasuki sebuah ruangan. Ia berteriak nyaring saat mendengar bunyi 'Brak!' begitu keras.

Bersambung ....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel