Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Penyusup Pikiran

Molly mengepalkan tangannya mencoba jujur mengenai perasaannya yang sebenarnya, ia melangkah mendekati Canon yang terus berjalan dan berkata, ''Sebenarnya kami han--''

"Hei!''

Molly menghentikan langkah serta ucapannya lalu menoleh ke belakang mencari sumber suara. Dilihatnya Arga sudah berdiri di belakangnya dengan tas menggantung di sebelah bahunya.

Molly menatap sinis Arga yang mencegah kebenaran antara mereka berdua kepada Canon.

"Ayo ke kantin, aku lapar,'' seru Arga seraya menarik tangan Molly dan menggenggamnya, bahkan mereka berdua atau lebih tepatnya Arga menyeret Molly melewati Canon yang kebetulan arah kelasnya sama dengan arah ke kantin. Untuk sejenak Canon menghentikan langkahnya dan menatap kedua tangan yang saling berpegangan itu lalu tersenyum kecil.

Kantin cukup sepi hanya ada dua murid yang terlihat memesan roti bakar dan seorang murid yang terlihat sibuk menikmati secangkir teh sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang mungkin lupa ia kerjakan semalam. Molly didudukkan pada meja dekat dinding, sedangkan Arga pergi memesan makanan.

''Minumlah, apa kau sudah sarapan?'' tanya Arga datang membawa dua gelas susu cokelat hangat dan sebuah roti bakar isi keju.

''Tentu saja, sarapan adalah elemen terpenting dalam program diet,'' ucap Molly dan beberapa detik kemudian ia memejamkan mata menahan rasa malu menyadari apa yang baru saja diucapkannya, sesuatu yang hanya diobrolkan dengan sesama perempuan, lalu ketika kedua matanya terbuka Arga tak berekspresi apa-apa malah sibuk mengunyah sarapannya.

''Baguslah kalau kau memerhatikan hal itu,'' ucap Arga menatap Molly dengan anggukan kecil.

''Baiklah, Sepertinya ini sudah tidak benar, aku akan tetap pada keputusanku untuk menolak menjalin hubungan denganmu ... dan aku tak menerima kata TIDAK ADA PENOLAKAN!'' ucap Molly sekuat tenaga tanpa sadar berdiri dari kursi tempat ia duduk. Suara Molly cukup keras saat mengucapkan kata-kata itu hingga menarik perhatian murid yang baru datang atau telah duduk di kantin saat itu.

''Minumlah,'' ucap Arga santai lalu menyodorkan segelas susu membuat Molly bingung.

''Apa?''

''Kubilang minum,'' ucap Arga dengan nada tegas membuat Molly meneguk susu itu dengan sekali minum sambil berdiri.

''Jadi kau sudah paham bukan?'' tanya Molly hati-hati dan pelan, namun Arga malah meminum susunya kemudian ikut berdiri.

''Tentang apa?'' tanya Arga datar dan Molly melongo. Jadi tadi hanya sumbangan suara beraksara? pikir Molly kesal.

''Akhiri sandiwara ini,'' ucap Molly nyaris tidak terdengar. Arga bangkit dan beranjak pergi lalu bergumam.

''Tidak ada yang perlu diakhiri karena memulainya saja belum.''

Baru saja Molly akan membalas ucapan Arga, namun ia harus bersabar oleh bunyi bel sekolah tanda apel pagi.

Dengan langkah kaki malas Molly berjalan menuju lapangan sekolah, ia bisa menebak tatapan sinis dari penggemar Equidos terutama fans Arga seolah dirinya akan dilahap habis-habisan.

''Gimana jadi murid populer tahun ini?'' Lolita muncul dan merangkul bahu Molly.

''Sangat mengagumkan,'' ucap Molly pura-pura memasang eskpresi ceria dan Lolita yang sadar akan hal itu, bukan simpati melihat tatapan-tatapan sinis yang mengarah pada sahabatnya itu malah terkekeh geli.

''Sesuatu yang bagus memang mahal harganya,'' celoteh Lolita berbaris di samping Molly.

''Bagus apanya? Kurasa produk yang kudapatkan seperti barang mahal yang sedang diskon sembilan puluh persen,'' balas Molly, tak tahu juga apa yang sedang ia bicarakan.

''Ehem,'' seseorang berdehem dibelakang Molly dan saat ia berbalik untuk melihat orang itu, matanya langsung melotot lalu langsung menghadap ke depan kembali.

Arga dengan santai berdiri di belakangnya dan Molly memerhatikan sekelilingnya, murid-murid itu sudah tidak menatap sinis bahkan tak meliriknya sedikitpun. Kurasa memang lebih baik, tapi bagaimana jika ia ketahuan sama guru sedang berbaris di barisan anak kelas satu?

Untuk apa aku khawatir? Lagipula kami baris dibagian belakang jadi tak akan kelihatan, pikir Molly keras.

Setelah apel pagi selesai Molly dan Lolita langsung berjalan menuju kelas. Arga sendiri tidak menyapa atau berkata-kata kepada Molly seolah ia memang hanya ingin melindungi Molly dari tatapan sinis dari murid-murid tadi.

''Tahu tidak kenapa semua berhenti menatap sinis padamu?'' tanya Lolita saat Molly sudah duduk dibangkunya.

''Karena Arga ada dibelakangku dengan tatapan melotot,'' ucap Molly lesu.

''Melotot apanya, dia tadi kelihatan mempesona, selain itu anak-anak Equidos lainnya juga berdiri diantara barisan anak kelas satu seolah membantu Arga melindungimu. Kau seperti gadis di drama-drama korea,"' ucap Lolita mulai menggunakan kalimat hiperbola dengan ucapannya dan Molly hanya menopang dagu menatap ekspresi menggelikan Lolita.

''Aku lebih suka jadi ... pembasmi para zombie di kota daripada harus dikejar prince charming seperti mereka,'' ucap Molly merusak angan-angan Lolita.

''Berhentilah menonton hal semacam itu, zombie, alien, predator, vampir. Kau harus menonton film-film romantis,'' saran Lolita sangat mengerti kesukaan Molly akan hal-hal seperti itu.

''Twilight juga romantis,'' balas Molly sambil tersenyum mengejek.

''Tapi bagian romantisnya selalu kau abaikan dan fokus pada bagian menarik kepalanya,'' ucap Lolita terlihat ngeri.

''Benarkah?''

''Hm, Cobalah menonton drama-drama korea,'' Lolita tampak berpikir, seperti membuat daftar drama korea yang perlu Molly nonton.

''Aku pernah nonton. Semacam patner of justice, tunnel, dan iris,'' ucap Molly mencoba mengingat drama korea yang pernah ia nonton, walaupun semuanya rata-rata hanya bergenre thriller, scifi dan action.

''Sudahlah. Jatuh cinta baru tahu rasa bagaimana ingin selalu menginginkan puisi atau kutipan romantis.'' Lolita terlihat putus asa mempengaruhi sahabatnya itu dan Molly sendiri hanya mengendikkan bahu.

Pelajaran Sejarah begitu membosankan bagi Molly dan Lolita sehingga mereka berdua saling mengirim pesan lewat buku dengan cara melulisnya. Ibu Haerana cukup galak jika mengajar dan murid yang berisik akan disuruh keluar dan berdiri di depan kelas sambil memegang kedua telinga dengan tangan bersilang, bukan karena takut tetapi cukup memalukan bagi murid jika harus melakukannya. Apalagi mereka sudah SMA. Jadi diam dan mendengar cerita sejarah adalah pilihan yang terbaik. Sejumlah rencana dibahas dalam tulisan Molly dan Lolita mulai ke kafe, nonton sampai ke pantai. Namun semua itu harus pupus saat langit mendung dan hujan turun cukup deras.

Sepulang sekolah hujan tak juga reda. Sebenarnya mungkin cuma Molly dan Lolita yang terlalu apatis sehingga tidak memerhatikan ramalan cuaca di televisi bahkan aplikasi ramalan cuaca di smartphone sedang populer di sekolah mereka.

Beberapa murid terlihat sudah siap dengan payung mereka dan pulang tanpa harus khawatir basah.

''Padahal hari ini running man episode terbaru tayang,'' gerutu Lolita mengeluh tentang acara televisi kesayangannya sambil berdiri menatap murid yang berjalan memakai payung.

''Aku suka hujan,'' ucap Molly tiba-tiba.

''Kenapa?''

''Karena aku tidak harus repot-repot menyalakan AC dan mengambil minuman dingin di kulkas,'' jawab Molly masuk akal, namun terdengar bodoh.

''Tapi kau perlu selimut dan cokelat panas di udara sedingin ini,'' seseorang menyela dan berdiri disamping Molly.

''Kak Canon," seru Molly tersipu akan kehadiran Canon.

''Kami berdua lupa membawa payung, berdiri menunggu hujan reda seperti orang bodoh,'' ucap Lolita menatap langit mendung yang sama sekali tidak menunjukkan akan redanya hujan.

''Bertiga. Tiga orang bodoh hahaha,'' tawa Canon membuat Molly terkekeh.

''Loli, Mau pulang bareng?'' tanya seorang murid pria bernama Hadi memegang payung, teman sekelas Molly dan Lolita sendiri.

''Enggak usah, aku sama Molly,'' tolak Lolita halus. Molly kemudian mendekat ke arahnya.

''Pulang aja sama Hadi, lagipula arah rumah kalian sama,'' ucap Molly bijak, walau Molly dan Lolita satu kompleks perumahan, tetapi beda blok.

''Iya itu benar, aku dan Molly akan pulang bersama,'' sambung Canon membuat wajah Molly memerah karena begitu senang mendengarnya, Lolita yang menyadari perubahan Molly langsung menyetujui ajakan Hadi.

Suasana menjadi hening. Molly dan Canon memutuskan duduk di depan ruangan kantor sekolah, bangunan yang terdekat dengan gerbang sekolah. Beberapa murid juga masih ada, selain lupa membawa payung ada juga yang menunggu jemputan atau menunggu teman mereka yang masih harus mengukuti ekstrakulikuler. Molly berharap hujan akan reda dengan lama mengingat kebersamaannya dengan Canon.

''Apa yang paling kau sukai dari hujan?'' tanya Canon tiba-tiba dan Molly terlihat menerawang,

''Aroma petrichornya, hujan mengingatkanku pada masa aku masih TK. Saat itu aku merayakan ulang tahunku di sekolah dan pada sesi dansa aku menarik tangan seorang anak laki-laki dan memaksanya untuk berdansa denganku, walaupun anak laki-laki itu bersikeras menolaknya dan itu terjadi saat hujan turun. Entah mengapa aku tak pernah lupa kejadian itu, namun aku tak bisa mengingat wajah anak laki-laki itu," cerita Molly membuat Canon tersenyum.

''Kak Canon sendiri?''

''Udara dinginnya, aku ingin menghangatkan orang yang akan berada di sampingku nanti,'' ucap Canon menatap lekat Molly dan yang ditatap takjub akan apa yang didengarnya, jantungnya berdetak kencang dan berharap dirinyalah yang akan berada disamping Canon nanti.

Tak Tak Tak

Terdengar suara sepatu dengan keras mendekat dan saat Molly melirik ternyata itu adalah Arga. Ia datang bersama Xero sambil masing-masing memegang payung.

''Ternyata kau belum pulang,'' seru Arga berhenti tepat dihadapan Molly.

''Aku menunggu hujan reda dan pulang bersama--"

''Ayo kita pulang,'' Arga menarik tangan Molly hingga berdiri.

''Bagaimana dengan Kak Canon?'' nada khawatir terdengar dari suara Molly.

Xero dengan senyum ramah mendekat sambil bekata, ''Aku akan pulang bersama Canon, rumah kami berdekatan."

Xero mengangkat payung ditangannya dan Molly tampak mengerti. Mau tidak mau Molly pulang bersama Arga.

Arga menggenggam tangan Molly sambil memegang payung juga menuju mobil.

Perjalanan hanya berisikan alunan lagu Billie Eilish berjudul My Boy lalu berganti dengan Lauv berjudul Enemies hingga tibalah mereka di depan rumah Molly. Arga membuka pintu mobil sambil terus memegang payung.

''Aku tak suka kau ikut campur uru--"

''Urusanmu adalah urusanku juga. Ingat sekarang kau adalah pacarku,'' potong Arga dengan posisi mereka saling berhadapan.

''Aku juga tidak suka kau terus memotong perkataanku. Tidak bisakah sekali saja kau mendengarkanku?'' seru Molly cukup keras di tengah hujan deras. Arga merapatkan tubuhnya, menundukkan kepalanya dibahu Molly dengan tangan tetap setia memegang payung.

''Tidak bisakah sekali saja kau juga mengertiku?'' bisik Arga tetap dalam posisinya. Molly terlihat menahan air matanya. Rintik hujan sepertinya membuat matanya secara tidak langsung berair.

''Aku tidak bisa, tak akan bisa mengertimu. Karena aku....'' Molly berhenti tepat saat ia akan mengatakan karena aku menyukai Ka Canon.

''Akan kutunggu,'' ucap Arga melepas payung ditangannya dan membiarkan tubuh mereka berdua terkena hujan dan sekali tarikan Arga memeluk Molly. Seakan lumpuh dan bisu, Molly tak tahu harus berkata dan berbuat apa namun hal yang ditakutkannya bagaimana jika Azka ada di rumah dan melihat ini semua? Dia bisa digantung hidup-hidup. Molly melepas pelukan itu dan meraih payung yang jatuh dan meletakkannya ditangan Arga.

''Pulanglah, kau bisa sakit,'' ucap Molly kali ini sedikit tulus. Dilihatnya wajah Arga mulai pucat dan pandangannya seakan kosong.

''Kalau begitu maukah kau berjanji mempertimbangkan untuk menerima aku sebagai pacarmu?'' tanya Arga membuat napas Molly seolah tersengat. Tubuhnya terasa tegang seketika.

''Maafkan aku. Tetapi aku tak bisa karena aku--'' Molly sekali lagi berusaha menyatakan perasaannya yang sesungguhnya bahwa ia menyukai Canon, namun Arga buru-buru masuk ke mobil dan sebelum itu ia memberi payung itu kembali kepada Molly.

''Lihat, kau bahkan tak mau mendengarkanku dengan baik, bagaimana aku bisa mengerti?'' gumam Molly sebelum masuk ke dalam rumah.

***

Malamnya Molly tak bisa melupakan kejadian tadi bersama Arga. Dipikirannya hanya terlintas wajah Arga yang tak biasa, ia terlihat sedih? Kecewa? Kesal? Bahkan waktu kebersamaannya dengan Canon tak terpikirkan sedikit pun. Sesuatu yang negatif memang terkadang membunuh hal postif.

Keesokan harinya Molly berangkat ke sekolah seperti hari biasanya lagi. Ia sepertinya tidak peduli atau lupa jika akan terlambat lagi dan kali ini beruntung karena dirinya masih sempat mengikuti apel pagi sebelum masuk ke kelas.

Saat pelajaran pun Molly tak bisa fokus, ia terus memikirkan Arga dan perkataannya kemarin. Lolita yang menyadari sikap Molly langsung menyeretnya menuju kantin.

''Kau terlihat tak bersemangat, minum ini. Kau seperti bunga layu yang tak disiram.'' Lolita menyodorkan sebotol air minum, tetapi Molly hanya diam.

''Eh, katanya Arga sakit?'' terdengar suara murid laki-laki dan Molly yang mendengar nama Arga langsung berbalik menatap murid itu.

''Iya, Mungkin cukup parah sampai tidak masuk sekolah.'' Kali ini Xero yang berbicara.

''Aku tadi meneleponnya dan suaranya lemah, katanya lagi demam ... ah, pasti terkena hujan kemarin dia kan gampang sakit kalau kena hujan,'' timpal Hilman bercerita.

Molly langsung menuju ke kelas tiga dan memastikannya sendiri dan benar tidak ada Arga. Molly tak peduli tatapan sinis dan tajam dari murid perempuan dalam kelas itu dan melangkah keluar. Ekspresi Molly berubah saat bertemu dengan Canon diluar kelas, Molly memaksakan tersenyum dan berjalan melewati Canon begitu saja tanpa berkata-kata.

''Kau mencarinya?'' tanya Canon dan Molly berhenti.

''Arga, iyakan?''

''Dia sedang sakit, tadi ada yang membawa surat dan menitipkan kepadaku, jangan khawatir dia akan baik-baik saja'' lanjut Canon menepuk bahu Molly lalu pergi.

Molly masih diam mematung, pikirannya kacau. Ia heran kepada dirinya sendiri, kenapa tadi ia mengabaikan Canon? Kenapa senyumnya harus terpaksa? Bukankah ia menyukai pria itu, seharusnya ia menyapa dan tersenyum manis untuknya? Namun kini pikiran Molly hanya terisi oleh Arga, sejak kapan pria itu masuk ke dalam pikirannya? Molly menggigit bibir bawahnya dan napasnya terasa berat seakan mencoba menyangkal sesuatu. Yah, ia akui bahwa ia memang sedikit khawatir tentang Arga.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel