Di Alun-alun Kota Begonia
Kiran dan temannya mengambil langkah seribu, mereka menghilang dalam gelapnya malam. Dari Brimm the Liquidator Eve Whitehouse melayangkan tatapan dinginnya ke jendela tempat mereka mengintip tadi.
Masih dengan nafas memburu.
"Kita berpisah Di persimpangan ini" teriak avena.
Avena, Kai dan Ming berlari ke arah kiri dan Kiran terus berlari di jalan berbatu itu.
Kiran ikut menghilang di persimpangan jalan itu Ia berlari cepat dengan dada berdegup. Ia bahkan tidak merasa telah menempuh jarak jauh dalam sekejap mata. Tahu-tahu saja, ia telah bersembunyi di balik selimut kasar yang tidak nyaman, di kamar sempitnya. Selimut yang ia miliki untuk bertahan melawan musim dingin.
DIa tak bisa tertidur.
Matanya terbuka lebar, memandang langit-langit kamar yang bolong!
Kiran membayangkan tatapan dingin perempuan pucat berambut putih tadi. Dia sekali lagi menggigil. Aura yang terpancar dari diri Pyromancer itu, seperti sanggup membunuhnya, hanya dengan tatapan.
Kiran menggigil dibalik selimut. Entah mengapa, ada sesuatu di dalam pikirannya, yang membuat ia tidak suka dengan pyromancer tadi. Tapi dia mencoba mengabaikannya.
Hingga pukul 02.00 pagi, Kiran tetap terjaga, tak dapat memicingkan mata. Dia kuatir dan membayangkan tatkala seseorang, mungkin kelompok militer tiba-tiba menggedor pintu rumah, yang dengan senjata ditodong kerah Kora Wang ibunya - yang membuka pintu.
"Semoga ini tidak terjadi" Kiran mengeratkan selimut, menutup sampai ke kepala.
Sesekali dia terbangun, ketika angin malam berhembus, menembus dinding rumah rapuh mereka memberi rasa menggigil. Suara derit jendela tua berbunyi ketika angin bertiup kencang, menambah seram di hatinya.
Kiran kelelahan.
Pada akhirnya rasa kantuk itu datang, dan dia terlelap, lupa akan kejadian mendebarkan di Brimm the Liquidator.
+++
"Bangun!
Hari telah siang. Aku heran benar. Mengapa akhir-akhir ini kamu selalu bangun setelah matahari terbit?" Kora Wang menarik selimut yang menutupi Kiran.
Hawa dingin masuk, membuat Kiran menggigil, terbangun seketika.
"Tak baik bagi seorang anak muda, yang akan menjadi calon pemimpin keluarga, selalu bersikap malas-malasan! Tiap-tiap hari yang kulihat kamu makin siang ketika terjaga." Kora Wang terus berbicara tak henti. Dia menyapu kamar anaknya, memaksa anak itu berdiri dari ranjang.
Waktu itu telah menunjukkan pukul 09.00, cukup siang seorang anak laki-laki bangun. Di Qingchang Empire, anak-anak seusia Kiran telah bekerja, baik di pasar ataupun juga di pertambangan, untuk membantu ekonomi keluarga.
Tapi tidak untuk keluarga itu. Kora Wang lah yang menjadi sumber mata pencaharian keluarga.
Kiran tengah membersihkan wajahnya dengan air dingin di dapur. Beruntung sekali, walaupun kemiskinan merajalela, namun sumber air tak sulit ditemukan di Qingchang Empire.
Tap - tap -tap! Suara sepatu terdengar. Kiran mengerling.
Kora Wang telah menyusulnya ke belakang. Ibunya menelengkan kepala dan berbisik pelan di telinga Kiran.
"Seseorang dari kantor pemerintahan subdistrict Kota Begonia kami, baru saja datang memberi pengumuman.
Petugas itu memberitahu bahwa seluruh penduduk di Kota Begonia wajib berkumpul bersinar tepat ketika matahari di atas kepala, di alun-alun kota." Kiran memasang wajah bingung.
Kora Wang memberi kode agar dia tak bertanya. Keduanya berbicara seperti berbisik.
"Katanya pendongeng Orang Zolia itu akan dieksekusi siang hari ini. Dia dihukum atas tuduhan pemberontak, bekerja sama dengan Klan Phoenix Merah!"
Telinga Kiran berdenging. Menyusul sesudahnya dadanya berdegup kencang. Belakangan ini dia akrab dengan dua hal tadi.
Anak memasang wajah tidak peduli. DIa mengabaikan bisikan ibunya. PAdahal dia sangat peduli. Sosok yang di maksud ibunya, si pendongeng adalah Tuan Niraj Singh - idolanya.
Kora Wang mengernyitkan, merasa terabaikan. Perempuan itu berbisik lebih keras lagi.
"Jam 12.00 siang nanti, kita semua harus berkumpul di alun-alun dan menyaksikan eksekusi pendongeng Niraj Singh.
Jangan lupa kenakan jubah hitam bertudung itu. Apakah kau mendengar?" Suara Kora Wang seperti bergaung.
Akhirnya, Kiran mengangguk kepala lesu. Tak guna berpura-pura seperti tidak mengenal siapa Niraj Singh.
Kiran sangat suka kisah-kisah kepahlawanan yang diceritakan Tuan Niraj Singh. Kisah-kisah mitologi tentang para Batara dari Zolia Empire dan kepahlawanan para dewa, itu semua sangat berbekas, di hati Kiran.
Kisah kesukaannya adalah tentang Batara Indra - Sang Penguasa Nirwana yang memegang petir. Menurut mitologi di Zolia Empire, Batara Indra adalah putra dari Dewa yang dianggap sebagai Raja para Dewa.
Kiran terinspirasi memiliki kemampuan sihir dari cerita para Batara Negri Zolia itu.
"Mari kita berangkat!" Suara Kora Wang membuyarkan lamunan Kiran. Dia melempar mantel hitam bertudung pada Kiran.
"Jika hanya termenung dan melamun tidak karuan. Kita akan terlambat datang, dan saat itu eksekusi telah selesai. Aku tak ingin diberi surat teguran karena tidak disiplin. Apalagi denda, tak akan pernah!
Kora Wang menyeret Kiran. Keduanya berjalan cepat-cepat menyusuri jalan berbatu kasar, jalan yang tidak pernah diperbaiki sejak perang besar terjadi. Banyak orang yang terlihat terburu-buru, bergegas menuju alun-alun kota.
Dan semua mengenakan mantel hitam, khas, meski wajah mereka belum tersamarkan dengan tudung.
Di persimpangan jalan itu.
Ini adalah simpang antara pasar Kota Begonia dengan penjara kota. Kiran dan ibunya bertemu dengan tiga orang kawannya - Avena, Kai, dan Ming yang datang bersama ayah dan ibunya. Mereka datang dari sisi lain jalan.
Kiran baru saja akan menyapa tiga kawannya itu, ketika Kora Wang menarik tangannya dengan kasar.
"Tidak perlu basa-basi itu. Aku tak memaafkan tiga pasangan itu!" Kiran terkejut. Terlebih lagi kawan-kawannya dengan orang tua mereka.
"Mereka datang dari keluarga yang pelit. Menolak memberi pinjaman ketika kami kesusahan, mencari pinjaman untuk biaya pengobatan ayahmu pada waktu dulu!" Suara Kora Wang cukup lantang, diat tak peduli kawan-kawan anaknya terkaget-kaget.
Kiran hanya dapat mengikuti sang ibu, berusaha tersenyum demi sopan santun. Sementara itu, ketika dia melirik, jelas tampak wajah orang tua tiga temannya terkejut atas kekasaran itu.
Kiran malu. Tapi bisa juga mereka berpikir kalau ibunya ini sudah gila. Seseorang yang tidak mendapat pinjaman uang lalu berbalik menyerang menjadi seorang pembenci, adalah sikap rendah.
"Maafkan aku!" Mulut Kiran terbuka melihat kearah temannya. Bukannya terlihat seperti raut meminta maaf, Kiran justru terlihat seperti mengejek.
Orang tua Avena, Kai, dan Ming sepakat tidak mengijinkan anak mereka untuk bergaul dengan Kiran di masa datang.
+++
Mereka tiba di alun-alun kota tak lama ketika prosesi eksekusi pendongeng Niraj Singh akan dimulai.
Kiran menutup tudung, dia menyembunyikan wajah sehingga menjadi serupa dengan semua orang yang hadir - tersamarkan. Alun-alun itu telah padat dan ramai, tapi tidak terasa sesak karena tempatnya yang memang luas.
Kiran melayangkan pandangan ke pusat alun-alun. ada satu podium atau panggung dari kayu, yang di atasnya telah banyak tumpukan tebal kayu-kayu pohon pinus. Kiran menduga, sepertinya tumpukan itu akan digunakan untuk mengeksekusi Niraj Singh.
"Mereka terlampau sadis! Hukuman bakar hanya pantas untuk penyihir hitam! Padahal kaisar penjajah itu, juga penyihir hitam!" Kiran menatap penuh kebencian.
Besi dan borgol yang berukuran besar, sebesar tangan orang dewasa terlihat menggantung di sisi kiri dan di sisi kanan. Juga borgol yang sama, terlihat tergeletak di lantai juga dari sisi dan kanan panggung - itu akan dipakai merantai kaki tereksekusi.
Kora Wang baru sadar.
"Mereka akan membakarnya hidup-hidup?" Suaranya tercekat.
Banyak suara-suara yang terdengar berbisik, dengan nada tidak puas.
Kiran menutupi kerudungnya rapat-rapat, guna tak mendengar pendapat orang lain. Dia ngeri, tak kuasa membayangkan sosok Tuan Niraj Singh akan dihukum bakar nanti.
Bunyi gong dipukul keras, mengalihkan semua perhatian ke arah satu pria yang berjalan tertatih-tatih, dengan tangan dan kaki yang diborgol. Gemerincing borgol terdengar, dan hati semua orang terasa perih.
"Niraj Singh!" Suara mendesis mirip lebah, terdengar di alun-alun kota. Seorang petugas berpakaian serba hitam, dengan mengenakan topeng warna senada tampak menyeret pendongeng itu ke atas panggung.
Hening dan mencekam. Lama sekali, tak ada yang di eksekusi mati, apalagi hukuman bakar seperti ini.
Kora Wang meremas tangan Kiran, yang juga terasa dingin, sama seperti tangannya.
"Ini tidak adil!" Kiran hanya mendengar suara ibunya berbisik pelan.
Di atas panggung, sang algojo mulai memasang rantai. Dia memborgol tangan dan kaki Niraj Singh. Pendongeng itu tak bergeming sama sekali. Ia terlihat tidak takut.
Suara Isak tertahan terdengar. Ibu-ibu dan kaum perempuan menutup mulut dengan sapu tangan hitam.
"Algojo, siap-siap!" Suara seseorang terdengar memberi aba-aba. Sang algojo siap melempar obor ke tumpukan kayu kering itu.
Tangis dan sedih rakyat Begonia City pudar tertiup angin. Ketika itu muncul satu perempuan berambut perak dengan dramatis. Dia langsung ke atas panggung depan podium eksekusi. Semua orang berbisik!
"Penyihir jahat!"
"Pyromancer!"
Sesudah penampilan dramatis penyihir berambut putih, pandangan semua orang teralihkan ke sosok lain, pria muda berbadan jangkung dengan sikap seperti elang. Sosoknya terlihat tidak asing, dia sangat terkenal di kalangan penduduk Kota Begonia.
"Kapten Bao!"
Dan seisi lapangan menjadi bungkam. Semua takut dengan keberadaan pria yang dipanggil Kapten Bao itu. Kapten Bao melambaikan tangannya dengan gerakan dramatis. Dia menginstruksikan sang algojo untuk memulai eksekusi.
"Bakar dia!"
Api langsung menyala dengan cepat.
Niraj Singh mulai terlihat gelisah ketika asap mengepul, membuatnya sulit bernafas. Ia meronta, berjengit, berusaha lepas dari rantai kokoh di tangan dan kakinya.
Tapi semua sia-sia.
Tapi Niraj Singh tidak mengeluh. Tak ada suara minta tolong atau permohonan maaf.
Keadaan mulai kacau, orang-orang merasa tidak puas.
"Ini terlalu sadis. Membunuh dengan cara menyiksa, bukan kebiasaan di Negri Qingchang kami!" Seseorang berteriak keras. Suara orang banyak menyambutnya, ikut memaki-maki.
Tapi Eve Whitehouse dan Kapten Bao itu, tampak tidak peduli. Yang ada justru keduanya tampak semakin bersemangat, ketika melihat kengerian di wajah Niraj Singh. Biar bagaimana gigih pun, kematian selalu membawa rasa takut.
Awan kelam bergulung di langit Kota Begonia. Angin kencang bertiup, beberapa ranting pohon Willow, jatuh ketanah. Suara ledakan guntur terdengar di langit, titik-titik air hujan mulai luruh ke bumi.
Kora Wang berdoa...
"Bahkan langit sekalipun, ikut menjadi sedih melihat tindakan biadab ini!"
Keajaiban terjadi!
Mendadak air hujan yang hanya rintik-rintik itu berubah menjadi semburan air, meluap dari tiga arah. Semprotannya mengakibatkan Eve White House dan Kapten Bao, terlempar dengan keras dari atas podium, jatuh bergulingan.
Tiga sosok berjubah gelap terlihat mengendarai air seolah-olah bagian dari hujan. Baru sekali ini, penduduk Kota Begonia, melihat ada manusia dapat mengendarai air..
Dalam keadaan kacau dan heboh itu, sosok lainnya muncul dari langit diiringi suara gemuruh angin menderu, bersanding selaras badai.
Keempatnya terlihat serupa, mereka semua mengenakan jubah longgar, lengkap dengan tudung dan topeng berwarna gelap dari logam. Tampak bordiran kecil bergambar Phoenix Emas di dada kiri.
Semua melongo. Ketika bergerak dalam atraksi itu, jubah empat sosok tersebut melambai-lambai. Penampilan mereka terlihat agung, seperti dewa.
Orang-orang tertegun, ada yang gembira, ada pula yang takut. Bahkan anggota-anggota militer ikut-ikutan terpesona, atas demonstrasi tersebut. Mereka berempat bergerak sangat cepat, bahkan terlalu cepat.
Tahu-tahu saja Niraj Singh itu telah bebas dari belenggu borgol besi itu, kini telah berada dalam gendongan sosok lain, yang mengendarai angin badai.
Sang pengendara angin itu melambaikan tangan. Dan angin topan seketika melanda, itu membuat podium dan keadaan di sekitar menjadi porak-poranda. Sesudahnya keempat misterius itu, menghilang di dalam suramnya pemandangan di alun-alun kota.
Kaum militer terlambat bergerak. Ketika mereka mencoba mengejar, itu hanya kesia-siaan belaka. Eve Whitehouse dan Kapten Bao muncul sesudahnya dalam keadaan berantakan. Wajah mereka berubah seperti kepiting rebus.
Rakyat Begonia telah kocar-kacir melarikan diri mencari tempat aman agar terhindar dari bentrokan yang dapat terjadi kapan saja.
"Pyromancer dan Anemomancer!"
"Klan Phoenix yang legendaris!"
Kota Begonia pada hari itu dibuat heboh. Nama Klan Phoenix Merah, itu nyata adanya. Hari ini penduduk kota menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
BERSAMBUNG