Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Geraldine

Bab 2 Geraldine

Weekend mungkin akan menjadi hari bermalas-malasan untuk sebagian orang. Setelah berkutat dengan pekerjaan yang menguras pikiran selama lima hari kerja, tentu saja akhir minggu menjadi waktu yang sudah ditunggu-tunggu. Namun, segala rutinitas itu tidak berlaku untuk Geraldine.

Gadis yang masih mempertahankan potongan rambut sebahu untuk style-nya itu memiliki agenda yang berbeda. Akhir pekan adalah hari sibuk untuknya. Hari di mana toko bunga yang kini ia kelola akan menjadi sangat ramai, karena orang-orang, terutama muda mudi banyak yang datang untuk memesan buket romantis. Satu paket bunga yang sengaja Geraldine beri nama buket romantis, karena memang buket bunga itu dikhususkan untuk para pasangan yang memang sedang ingin menciptakan momen romantis.

Biasanya yang memesan adalah orang-orang yang sedang merayakan anniversary, atau ingin melamar pacarnya. Tidak jarang pula anak muda yang akan menyatakan perasaan cintanya.

Ritual yang selalu Geraldine lakukan setiap pagi adalah menyiram bunga. Berbagai macam bunga dari anggrek, mawar, bunga kertas hingga bunga matahari sengaja ia tanam untuk mempercantik dua taman kecil. Letaknya ada di sisi kiri dan kanan halaman rumah milik eyangnya. Geraldine menyukai bunga sejak dulu. Ada rasa bahagia yang selalu bisa membuatnya tenang hanya dengan melihat warna-warna cantik itu bermekaran pada musimnya. Apalagi halaman rumah milik eyangnya ini sangat luas, jadi rasanya sangat sayang jika dibiarkan kosong begitu saja.

Setelah selesai dengan urusan bunga, gadis itu segera beranjak dari halaman rumah eyang yang sudah ia tinggali beberapa tahun belakangan ini. Tepatnya semenjak ia memutuskan untuk kuliah di Jogja. Nyatanya ia terlanjur betah dan memutuskan untuk menetap di sini.

Tentu saja keputusannya untuk menetap di Jogja tidak berjalan mudah. Mamanya sempat menentang, karena kini tidak ada lagi eyang yang bisa menjaganya. Yah, eyangnya memang sudah berpulang ke sisi Tuhan semenjak satu tahun lalu. Tepat satu hari setelah Geraldine merayakan wisuda. Ada rasa sedih untuk sesaat. Tapi jika teringat kembali perjuangan eyangnya untuk melawan struk yang diderita selama hampir tiga tahun, Geraldine rasa, Tuhan memilihkan cara yang tepat untuk menghentikan sakit yang eyangnya rasakan. Ya, eyang putrinya pasti sudah tenang di atas sana. Bertemu dengan pasangan sehidup sematinya, mbah kakung yang sudah berpulang terlebih dulu semenjak Geraldine masih kecil.

Gadis yang baru saja menginjak usia 24 tahun itu segera masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap. Namun langkahnya terhenti untuk sekedar menoleh ke belakang. Pada gerbang tinggi yang melindungi rumah dengan bangunan kuno milik eyang ini. Entah mengapa Geraldine belum bisa menghentikan ritual yang selalu ia jalankan saat masih berada di Jakarta dulu. Harapan jika sewaktu-waktu ayahnya akan muncul masih ada di sisi hatinya.

Rindu untuk sosok cinta pertamanya itu juga kian bercokol hebat. Apalagi jika malam datang dan membawa sepi. Diam-diam Geraldine masih menangis sembari memeluk foto ayahnya. Ia hanya berharap, ayahnya akan kembali pulang suatu saat nanti. Meski tim sar sudah memastikan jika kemungkinan besar untuk ayahnya selamat itu hanya satu persen. Tapi selama mayat ayahnya belum ditemukan, Geraldine masih meyakini jika kemungkinan ayahnya hidup itu masih ada. Meski sangat kecil. Harapan itu akan terus ia tanam.

*

Geraldine tidak tinggal sendiri di rumah yang masih mempertahankan gaya lama dengan banyak tiang di setiap sudut rumah ini. Ada Mbok Yem, asisten rumah tangga yang sudah ikut eyang semenjak masih remaja. Mbok Yem tidak memiliki kerabat di Jogja. Bahkan anak semata wayangnya meninggal karena kecelakaan. Dan semenjak suaminya juga meninggal beberapa tahun silam, wanita berusia lima puluh tahunan itu tinggal di rumah eyang. Tidak lagi diperlakukan seperti pembantu, karena bagi eyangnya, Mbok Yem adalah keluarga. Walaupun eyangnya sudah meninggal, Geraldine tetap akan menganggap Mbok Yem bagian dari keluarga juga.

“Cah Ayu! Makan dulu, Nduk.”

Geraldine yang baru saja selesai berganti baju pun keluar dari kamar. Aroma gudeg yang menguar dari meja makan menggugah rasa laparnya muncul ke permukaan. Dulu dia tidak terlalu suka dengan masakan khas Jogja ini. Karena Geraldine memang tidak terlalu menyukai masakan manis. Tapi khusus untuk gudeg buatan Mbok Yem, Geraldine akui rasanya sangat enak. Dan sangat susah untuk dilewatkan.

“Mbok tidak makan?” tanya Geraldine saat Mbok Yem malah melipir ke belakang. Biasanya memang mereka makan bersama. Jujur saja Geraldine tidak terlalu suka makan di meja makan sendiri.

“Mbok mau ambil pesanan ayam di Pak Dahri dulu. Kamu makan saja dulu ndak usah nunggu, Mbok, ya?”

Geraldine hanya bisa mengangguk sembari melahap makanannya. Enak, seperti biasa, tapi pasti akan lebih enak saat ia bisa menikmati ini dengan orang lain.

Baru saja Geraldine menyelesaikan sarapannya, suara ponselnya berdering menandakan telepon masuk. Itu dari mamanya. Wanita yang melahirkannya itu memang tidak pernah absen untuk menghubunginya setiap hari. Minimal dua kali dalam sehari. Kalau tidak diprotes, mungkin mamanya akan menelpon setiap satu jam sekali. Bukan mungkin, tapi itu memang yang terjadi beberapa waktu lalu. Tepatnya setelah eyangnya meninggal. Hal wajar sebenarnya, Geraldine tahu jika mamanya khawatir. Hanya saja, ia tidak suka dengan sikap berlebihan seperti itu. Geraldine merasa sudah dewasa dan bisa menjaga diri.

“Iya, Ma?” tanya gadis itu sembari menyandang tas selempangnya ke atas bahu. “Jadi ke sini?”

Minggu lalu memang mamanya mengatakan jika akan berkunjung. Geraldine tidak masalah, yang terpenting mamanya datang sendiri. Jangan dengan orang itu. Laki-laki yang kini menjadi suami mamanya. Orang yang masih sangat enggan Geraldine panggil ayah. Bahkan dia juga alasan gadis ini melarikan diri hingga ke Jogja.

“Mau dijemput?” Terdengar kekehan dari seberang. Menertawakan dirinya yang menawarkan jemputan, padahal tidak ada mobil di rumah ini. Dan misal ada pun siapa yang mau mengendarai. Sebenarnya Geraldine diam-diam sudah pernah ikut kursus menyetir. Yah, walaupun belum terlalu jago, tapi untuk area Jogja masih okelah. Tapi, memang mamanya belum mengetahui fakta itu.

“Mama. Ini tahun berapa? 2020, Ma. Taksi online banyak di mana-mana,” ujar Geraldine untuk membalas ejekan mamanya soal tidak adanya keberadaan mobil. “Ya sudah, hati-hati,” ujar gadis itu pada akhirnya saat mamanya berkata akan naik taksi online sendiri saja dari bandara.

Setelah panggilan tertutup, gadis itu pun segera keluar dan mengunci pintu. Mbok Yem menyimpan kunci cadangan, jadi Geraldine tidak perlu menunggunya.

Scoopy merah sudah terparkir cantik di halaman rumah. Siap mengantarkannya ke toko bunga yang sebenarnya letaknya tidak terlalu jauh. Ada di sekitaran Malioboro, dan hanya butuh waktu tidak lebih dari sepuluh menit untuk sampai di sana. Tentu saja dengan kecepatan siput, karena Geraldine masih trauma setelah mengalami kecelakaan akibat mengebut beberapa bulan yang lalu.

Gadis itu sudah duduk di atas motor maticnya dan siap menyalakan mesin. Namun, ia mendongak saat merasa ada yang memperhatikannya. Tepatnya dari kamar di lantai dua rumah sebelah. Katanya ada penghuni baru setelah rumah itu kosong bertahun-tahun. Tapi sampai detik ini Geraldine belum pernah bertemu dengan pemiliknya.

Geraldine hanya menggedikkan bahu saat tidak mendapati apa pun. Hanya tirai yang bergoyang seperti ditutup secara mendadak. Lalu ia pun segera meluncur pergi dengan kendaraan roda dua itu.

*

Labelle, nama toko bunga yang kini ia kelola bersama sahabatnya, Tatiana. Sebenarnya toko bunga ini dulunya milik eyang. Yang terpaksa tutup sejak eyangnya sakit. Dan karena Geraldine sangat menyukai bunga, juga merasa tidak cocok untuk bekerja di perkantoran atau apa pun itu yang dibayang-bayangi oleh sosok bos. Maka gadis itu memutuskan untuk menghidupkan kembali toko bunga ini. Ia mengajak Tatiana, karena gadis itu juga kesulitan mencari pekerjaan. Yah, walaupun memiliki tittle sarjana, tidak menjamin akan mudah untuk mencari pekerjaan. Misalkan dapat pun, gajinya belum tentu sesuai dengan tittle yang dimiliki. Setidaknya, itulah yang dialami Tatiana selama ini. Sementara di toko bunga ini, Geraldine menerapkan system bagi hasil. Karena yang berjuang untuk menghidupkan kembali labelle, bukan hanya dirinya. Tatiana juga memiliki andil yang cukup besar. Jadi, tidak ada atasan ataupun bawahan di sini. Mereka memiliki toko ini untuk berdua.

“Jadi, tadi orang itu mengawasimu lagi dari lantai dua?” tanya Tatiana, gadis yang memiliki rambut sebatas punggung itu sedang memilah bunga yang layu untuk dibuang.

“Yep! Dan lagi-lagi dia menghilang tepat waktu.”

Tatiana terkekeh kecil, sesungguhnya dia juga penasaran dengan tetangga Geraldine yang senang sekali mengamati sahabatnya dari kejauhan, tapi tidak pernah menampakan diri.

“Dia penggemar kamu sepertinya.”

Geraldine hanya membuang napas sembari menggelengkan kepala. Tidak mau membahas lebih jauh. Dia sedang tidak ingin membahas hal sepele semacam itu. Lebih baik fokus mengembangkan Labelle. Harapannya, toko bunga ini bisa melebihi kesuksesan saat masih dikelola eyangnya dulu. Dengan begitu, eyang pasti akan bangga dengan cucu semata wayangnya ini.

*

Geraldine memutuskan untuk pulang lebih awal karena mamanya mengabarkan jika sudah sampai di rumah eyang. Awalnya ia tidak enak meninggalkan Tatiana sendiri. Tapi sahabatnya itu sangat mengerti dan meyakinkan Geraldine jika tidak apa-apa menjaga toko bunga sendiri. Ini memang sudah sekitar lima bulan dari kunjungan terakhir mamanya, dan ya ... walaupun kadang susah untuk mengakuinya, Geraldine memang merindukan wanita itu.

Namun yang terjadi saat gadis itu sampai di rumah bukanlah hal yang ia inginkan. Karena Geraldine tidak pernah menemukan keberadaan mamanya di rumah eyang. Melainkan satu sosok bernama Amran, yang masih enggan ia lihat sosoknya hingga detik ini. Dan sekarang, UNTUK APA IA BERADA DI SINI!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel