Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
Suasana pagi ini di Ibu Kota masih sama seperti biasa. Meski matahari belum sepenuhnya muncul di atas langit, namun panasnya sudah menjalar ke arah bumi. Bahkan pohon mangga yang tumbuh rimbun di depan rumah dengan bangunan dua lantai itu pun, tidak cukup menyejukkan suasana. Namun hal tersebut tidak mengurungkan niat gadis dengan rambut sebahu itu untuk melakukan ritual paginya. Satu hal yang tidak pernah absen ia lakukan selama sepuluh tahun belakangan ini.
Sepuluh tahun? Ck! Bahkan ia enggan menghitung waktu yang telah ternyata berlalu begitu cepat.
Dulu, dia masih anak ingusan yang belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Dan saat mendengar kabar jika ayahnya menghilang, bersamaan dengan gempa yang terjadi di Sumatera tahun 2009 silam, ia hanya mengerjabkan mata bingung. Dan selanjutnya, ia terus menangis dan tidak berhenti memanggil ayahnya yang tidak juga pulang. Padahal satu minggu sebelumnya, ayahnya berjanji akan pulang dengan sebuah hadiah kejutan. Karena hari itu akan bertepatan dengan ulang tahun gadis itu yang ke delapan. Tapi nyatanya, ayahnya tidak juga muncul. Padahal dia sudah berjanji pada Tuhan, tidak akan marah jika pada akhirnya nanti ayahnya pulang tanpa hadiah. Bahkan ia juga berjanji, akan menuruti perkataan ayahnya. Akan menjadi anak baik, dan selalu berusaha mendapat peringkat satu di kelasnya. Dan seandainya, ayahnya memintanya untuk berhenti memakan es krim strawberry kesukaannya pun, ia akan menurutinya. Yang terpenting hanya satu, ayahnya pulang dengan senyuman lembut seperti biasa.
Tapi mungkin Tuhan sedang marah padanya atau, mungkin dia melakukan kesalahan. Hingga satu-satunya doa yang ia panjatkan tidak terkabul. Dan waktupun berlalu begitu saja. Membeberkan satu fakta pahit yang keluar dari bibir mamanya hari itu.
“Andin dengerin Mama bicara, ya?” Gadis itu hanya mengangguk, membiarkan mamanya mengelus rambutnya yang saat itu jatuh lurus sampai ke punggung. Ia tidak lagi memakai seragam merah putih, tapi sejak dua hari ini seragamnya sudah berganti putih biru. Hal yang ingin ia banggakan pada ayahnya, karena ia berhasil lulus dengan nilai terbaik. Dan sekarang, ia berhasil masuk ke sekolah negeri favorit. Lihatlah, dia sudah menjalankan janjinya untuk menjadi anak baik dan pintar. Tapi, kenapa ayahnya tidak juga muncul?
“Andin.” Suara itu menyentakkan gadis itu dari lamunan panjang. Arah pandangnya yang selalu menatap lurus ke arah pintu gerbang pun sedikit terusik. Harapan untuk melihat ayahnya tiba-tiba muncul di pintu itu pun ia simpan sejenak. Gadis itu menoleh ke arah sang mama yang kini duduk di sampingnya. Ia mengangkat alis sebagai isyarat tanya.
“Andin sekarang udah besar, kan?”
Gadis itu tidak menjawab, karena merasa itu bukanlah pertanyaan yang harus ia jawab. Malah kalau boleh, ia ingin kembali ke masa kecil. Di mana masih ada ayah yang selalu memanjakannya seperti dulu.
“Mama harap, Andin bisa mengerti apa yang akan Mama bicarakan.”
Gadis itu hanya mengerjab, sesekali menoleh ke arah pintu gerbang. Takut kehilangan momen berharga jika ayahnya tiba-tiba muncul. Ia ingin menjadi yang pertama menyambut hal, yang semakin lama terasa seperti angan konsong itu. Tapi ia tidak mau berhenti berharap. Hingga kalimat lanjutan yang mamanya katakan, seperti sebuah petir yang menyambar tanpa ada hujan. Tidak hanya mengejutkan, tapi juga membuat seluruh tubuh gadis itu seolah menggigil ketakutan.
“Ayah menjadi korban tragedi gempa yang terjadi di Sumatera waktu itu. Andin masih ingat beritanya?”
Gadis itu ingin mengangguk, tapi kepalanya seolah tidak bisa bergerak. Ia membiarkan mamanya melanjutkan kalimat, yang sebenarnya pernah terucap beberapa tahun lalu namun selalu dia abaikan.
“Hanya ada 30 korban selamat, dan ayah tidak termasuk di dalamnya.”
Gadis itu kembali mengerjab, namun suaranya seolah hilang untuk sekedar bertanya. Jadi, apa maksud dari kalimat yang baru saja mamanya katakan? Sesungguhnya dia mengerti, hanya saja ia tidak ingin menyakiti hatinya. Jadi, dia pura-pura tidak mengerti. Membohongi diri sendiri adalah hal yang sedang ia lakukan.
“Kemungkinan besar, ayah sudah meninggal, Sayang.”
Satu kalimat yang tidak pernah ingin ia dengar itu akhirnya meluncur. Bersamaan dengan bulir bening yang ikut merembes dari kedua netra hitamnya. Hingga bulir-bulir lain saling bersusulan, menciptakan isak lirih dan berlanjut dengan raungan. Perasaan hancur dan kehilangan yang selama ini ia sembunyikan akhirnya luruh. Menjadi satu bukti jika tidak ada gunanya membohongi diri sendiri. Karena satu fakta tidak akan berubah hanya dengan cara seperti itu.
Hingga saat ini, sesak itu masih terasa nyata, dan meski kalimat yang mamanya pernah katakan dulu itu masih terngiang, namun sepertinya ia masih enggan berhenti berharap.
Bukankah mamanya berkata jika kemungkinan besar ayahnya sudah meninggal? Jadi, masih ada kemungkinan kecil, bukan? Kemungkinan kecil yang bisa saja menyatakan jika ayahnya menjadi korban selamat, dan akan segera pulang. Iya, kan?
Gadis itu menarik napas lembut. Ia sadar, jika kini, ia masih hidup dalam sebuah harapan yang mungkin saja bisa menjadi semu.
“Andin.” Gadis itu mendongak, dan menggeser tubuhnya sedikit agar sang mama bisa duduk bersamanya. Keduanya menatap jalanan lengang di depan sana. Gadis itu merasa dilempar pada momen beberapa tahun silam. Saat mamanya mengabarkan jika ayahnya sudah meninggal. Dan kali ini, sepertinya mamanya juga ingin mengatakan satu hal penting. Semoga bukan hal buruk.
“Sayang ....”
“Kenapa, Ma?” tanya gadis itu saat mamanya tidak juga bersuara. Terlihat salah tingkah malah. Dari tadi, wanita yang telah melahirkannya ini malah membenahi hijab yang sudah mamanya kenakan semenjak satu tahun belakangan ini. Mamanya terlihat sangat cantik dengan busana tertutup seperti itu. Ia yakin, ayahnya pasti akan senang jika melihat ini.
“Sudah berapa lama ayah kamu pergi?”
Kening gadis itu mengerut, tidak mengerti kenapa mamanya harus menanyakan hal semacam itu. Ia bahkan enggan mengingat waktu.
“Kamu ngerasa tidak, kalau ada kekosongan yang selama ini tercipta?”
Gadis itu berdecak saat merasa mamanya sedang berbelit-belit. “To the point aja, Ma. Ada apa?”
Lagi, mamanya terlihat salah tingkah. Bahkan seperti berat untuk mengatakan apa pun kalimat yang sudah berada di ujung lidah.
“Ma.” Rasanya ia gemas sendiri dengan sikap mamanya.
“Kamu, keberatan kalau punya ayah baru?”
Mata gadis itu melebar saat itu juga. Di tempat yang sama, namun di waktu yang berbeda, mamanya kembali memberinya kabar buruk. Kali ini rasanya ia ingin berteriak marah dan melarang mamanya menanyakan hal itu. Karena jawabannya tentu saja, TIDAK!
*
Akan tetapi, percuma juga ia menolak. Karena mamanya tetap melangsungkan pernikahan tanpa menunggu persetujuannya. Yang mamanya lakukan saat itu bukan sedang menanyakan pendapatnya. Tapi sedang mengabarkan, jika mamanya telah mempunyai pengganti. Pengganti posisi ayahnya yang tidak akan rela ia terima begitu saja.
Rasanya hari itu adalah hari kehancuran kedua yang ia alami. Bahkan kali ini rasanya lebih menyakitkan, karena ia tidak memiliki siapa pun sebagai pelindung. Bahkan tempat untuk sekedar berkeluh kesah pun tidak ada.
Gadis itu terus mengunci diri di kamar. Enggan menyaksikan mamanya mengkhianati ayahnya dengan menikah lagi. Bahkan sampai kapan pun, ia tidak mau menganggap laki-laki itu sebagai ayah. Ayahnya hanya satu, dan tidak akan pernah tergeser apalagi tergantikan.
Hari-hari yang gadis itu lalui rasanya menyesakkan. Udara yang berada di rumah ini bahkan seperti tersita saat ada orang lain yang tidak ia inginkan turut hadir.
Senyum yang selalu laki-laki itu lemparkan untuknya terlihat seperti ejekan. Seolah sedang berteriak, dan bersorak girang karena telah berhasil mengalahkannya.
Belum lagi bayangan ayahnya yang tengah bersedih, terus menghantui ke mana pun ia pergi. Dan akhirnya, untuk menyelamatkan hati dan otaknya agar tetap dalam kewarasan, gadis itu memutuskan untuk menjauh.
“Ma, Andin mau kuliah di Jogja.”
Ia tahu mamanya akan melarang dengan berbagai alasan, yang juga sudah gadis itu persiapkan jawabannya.
“Andin bakalan tinggal sama eyang.”
“Tapi kenapa harus jauh-jauh ke Jogja? Di sini kan banyak universitas?”
Gadis itu hanya menghela napas, enggan menjawab. Tekadnya sudah bulat, dan jika mamanya tidak memberi izin, ia akan tetap nekad.
“Tidak bisa dipertimbangkan lagi?” tanya mamanya pada akhirnya. Karena gadis itu hanya diam tanpa mengatakan apapun.
“Tapi, Jogja itu jauh.”
Rasanya ia ingin tertawa mendengar itu. Jauh apanya? Berapa jam naik pesawat?
“Benar, tidak mau kamu pertimbangkan lagi?”
Gadis itu mantap menggeleng, dan merasa lega saat akhirnya, meski dengan berat hati, mamanya memberinya izin. Ia seperti baru saja lepas dari sebuah lingkaran hitam yang membuatnya sulit untuk sekedar bernapas. Entah apa yang akan terjadi pada hidupnya nanti. Tapi yang pasti, dengan lari ia rasa semuanya akan kembali membaik. Terutama kondisi hatinya.