Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

/tu•juh/

Asha memperhatikan secara detail seluruh lekuk tubuhnya. Bukan karena mengenakan baju indah, hanya saja ia tengah memutuskan untuk langsung menuju ruangan si guru baru nya itu dengan baju olahraga, atau lebih baik mengganti dengan seragam putih abu-abu terlebih dahulu.

Ketika kemageran yang hakiki menguasai diri, membawa kaki Ashlesha beralih menuruni tangga. Berjalan menuju tujuan awalnya, tanpa lagi mempertimbangkan soal pakaian.

Tanpa ia sadari, ia bahkan sempat mengedarkan pandangan untuk memastikan jika tidak ada yang melihatnya menuju ruangan si guru baru. Ia hanya tidak mau menjadi bahan pembicaraan. Masalahnya, sudah berkali-kali ia keluar masuk ruangan ini.

Niatnya untuk langsung mengucapkan permisi, terinterupsi suara pembicaraan dari dalam ruangan. Samar-samar terdengar suara perempuan yang tengah bercengkrama dengan Aksa.

Saat mendengar ucapan terimakasih dari dalam sana, Ashlesha mundur beberapa langkah. Niatnya menguping gagal karena belum apa-apa, mereka menyudahi obrolannya.

Decihan spontan keluar dari mulut Ashlesha ketika beradu pandang dengan Aura yang ternyata menjadi lawan bicara Aksa tadi. "Pak Virgo udah puas sama gw, nggak usah nyoba-nyoba." sinisnya mencoba menyombongkan diri, yang hanya mengundang sorot keprihatinan dari Ashlesha.

Cewek gila.

Memilih tak membuang-buang waktunya hanya untuk menghadapi cewek ambisius namun bodoh seperti Aura, Ashlesha memasuki ruangan.

Ia hanya memperhatikan cuek Aksa yang membereskan mejanya dengan lengan kemeja yang terlipat. Pemandangan yang secara tak langsung membuatnya bersyukur karena melihatnya.

"Kemari." ujar Aksa pada akhirnya karena gadisnya tak kunjung mendekat.

Tanpa minat, Asha melangkahkan kakinya mendekati meja. Jarinya bermain-main menciptakan suara ketika kukunya bertubrukan dengan kaca.

Sedangkan Aksa yang beralih ke meja di sudut lain ruangan berlagak tengah membereskan berkas. Walaupun ia memang benar membereskan, tetapi sebenarnya ia lebih berusaha mengalihkan perhatiannya dari Asha. Dengan terbalut pakaian olahraga, lebih mengekspos bentuk tubuhnya.

Pakaiannya memang tidak ketat, tapi pas menunjukkan perubahan bentuk tubuh gadis itu, terlebih sejak pertemuan terakhir mereka tiga tahun lalu. Gadis itu nampak lebih dewasa.

Tidak-tidak, Aksa bukan ingin berpikir mesum. Ia mana mungkin membiarkan dirinya bersikap kurang ajar pada gadisnya.

Aksa kembali duduk di kursinya. Berhadapan dengan Asha yang masih menunggunya mengeluarkan mandat sebab telah memanggilnya.

"Kok nggak ganti baju? Jam OR udah lewat dari tadi kan?"

Asha mengedikkan bahunya, "Gapapa, males aja."

Menangkap sorot cuek dan mungkin sedikit sedang tak berada dalam mood nya, membuat Aksa memilih langsung mengeluarkan sekotak makanan yang baru dipesannya. "Kamu belum makan kan?"

Asha menatap kotak makan itu ragu, "Saya udah makan, bekal dari Mama."

"Tapi itu kan tadi pagi, ini sudah jam dua."

Gadis keras kepala itu memundurkan tubuhnya, bersandar pada kursi sambil melipat tangan. "Saya tetep udah makan."

"Terus makanan ini mau diapakan?"

Asha menghela napas kalah. Untungnya ia sendiri tak sedang kenyang ataupun lapar, setidaknya masih cukup perutnya untuk menerima suapan lagi.

Gadis itu mulai memakan makanannya dalam diam. Tak berminat membuka obrolan. Entah kenapa mood hari nya seketika berubah setelah bertemu Aura.

Aksa memperhatikan gadisnya yang menyuratkan mode kesalnya dengan hanya memainkan makanannya. Entah apa alasannya, namun Aksa sendiri tak yakin menanyakannya.

"Kamu ken-"

"Tadi ngapain sama Aura?" tanya Asha blak-blakan.

Aksa tertawa dalam hati, tak berani menampakkan tawa nya daripada gadisnya makin betah dalam mode ngambeknya.

"Nggak mood nya karena tadi Aura ke ruangan saya?"

"Ih, siapa bilang saya nggak mood? Alasannya kayak gitu lagi."

Elakan dari Asha membuat Aksa makin gemas. Ingin ia mencubit pipi di wajah yang tengah tertekuk itu.

Dan lagi, kenyataan jika gadisnya kesal karena ia sempat bersama perempuan lain, berhasil menerbitkan senyuman di bibir Aksa. Jika seperti itu, dapat disimpulkan jika gadisnya masih memperhatikannya kan? Entah bisa langsung disimpulkan soal perasaannya atau lebih baik masih ditunda. Intinya Aksa senang kini gadisnya marah.

"Iya deh. Tadi Aura minta tambahan belajar sama saya. Berhubung di sekolah saya sibuk, jadi bisanya di luar jam sekolah. Aura sih mintanya gitu."

Asha langsung meletakkan sendoknya. "Dan Bapak nyanggupin?"

"Kamu maunya saya nyanggupin atau enggak?" pancingnya lagi.

Aksa memperhatikan gadisnya lekat-lekat. Apalagi pemandangan Asha yang salah tingkah setelah pertanyaan yang ia lemparkan.

Asha memainkan sendoknya dan melemparkan tatapan hanya pada makanannya. "Ya terserah Bapak. Kan yang ngajar juga Bapak."

Lagi-lagi, melihat sikap sok cuek Asha hanya memancing keisengan dari pria di hadapannya. "Boleh juga kayaknya."

Tanggapan persetujuan yang samasekali tak diharapkan Asha menarik kepalanya untuk kembali menatap sang lawan bicara. "Hm.. dari sekolah ada peraturan nya loh. Nggak boleh ngadain pelajaran tambahan kecuali dengan izin sekolah." ujarnya cepat, tak sadar kelakukannya menunjukkan betapa risau ia akan tanggapan selanjutnya.

"Kalau begitu saya minta izin sekolah."

"Tapi minta izinnya nggak gampang."

"Nggak ada salahnya dicoba."

Tatapan penuh harap Asha padam sudah. Bahunya turun, menandakan harapannya yang juga pupus.

"Yaudah terserah Bapak."

Aksa tertawa, "Saya bercanda, Sha." ucap Aksa pada akhirnya sambil mengangkat dagu gadisnya agar tatapan itu jatuh padanya.

"Jangan ngambek."

"Ih, siapa yang ngambek." dalihnya.

Kalimat itu sebenarnya cukup menarik untuk dijadikan bumerang balik bagi gadis manis itu. Namun Aksa memilih mengurungkan niatnya daripada mengambil resiko.

"Yaudah lanjutin makannya. Wortelnya dimakan, Sha, jangan cuma diliatin."

Asha malah menyuapkan nasi ke mulutnya, seolah menutup akses benda oranye yang disebut wortel tadi untuk memasuki mulutnya.

Aksa kini mengambil wortel itu dengan sendoknya. Menjaganya tepat di depan mulut gadis bandel itu agar memakannya.

Selepas mengunyah nasi nya, Asha mundur agar benda oranye itu tak berhasil menyentuh mulutnya. "Nanti, abisin nasi nya dulu."

"Nanti kamu alasan kenyang. Makan wortelnya."

Asha lagi-lagi menggeleng, setia pada pendiriannya.

Ia bukannya tidak suka sayur, hanya aja kali ini wortel itu tidak diolah lebih lanjut. Hanya dipotong dan direbus.

"Atau besok saya bikin kamu makan wortel seharian."

Dan hal itu pun bukan pilihan yang bagus. Ia tak mau mengambil resiko kebanyakan mengonsumsi wortel yang akhirnya mengakibatkan ia berubah oranye. Ia belum berminat menjadi Garfield.

Asha membuka mulutnya pasrah, menerima suapan dari Aksa yang setelahnya dengan iseng mengetuk hidung gadis itu dengan sendok kotor.

Keberuntungan tengah berpihak pada Asha sepertinya karena wortel itu tak terlalu lembek ataupun keras sehingga bisa diterima mulut manja nya. "Enak?"

Tak ada jawaban berarti yang diberikannya. Hanya kedikkan bahu sepintas yang dilemparkan.

"Pulang sekolah kesini ya."

Asha berdecak, "Merintah mulu."

"Saya belum selesai ngomong, saya kan mau minta tolong kamu." balas Aksa lagi.

Sebenarnya mau Aksa sekedar memerintah ataupun memang dengan tulus meminta, alam bawah sadar Asha telah dirancang untuk seketika menyetujuinya. Jadi kini Asha hanya menggumam, menandakan kesanggupannya. Tak peduli akan diminta apa. Ia tau ataupun tidak, samasekali tak berpengaruh.

Suapan terakhir memenuhi mulutnya. Kegiatan Asha membereskan peralatan makannya, menegaskan jika ia ingin segera beralih dari sana jika sudah tidak ada apa-apa lagi. "Udah kan? Mama perintahnya ini doang?"

Aksa mengernyit, "Kamu pikir saya ngelakuin ini hanya karena perintah Mama kamu?"

"Ya memang saya harus mikir apa? Saya harus berharap lebih gitu? Saya bukan siapa-siapa dan nggak punya hak apa-apa."

"Apa belum jelas alasan utama saya jauh-jauh kembali dari London setelah sekian lama?" Asha terdiam, lebih memilih bungkam daripada terlalu membuka hati yang ujungnya pada tersakiti.

"Kamu jelas sudah menjadi siapa-siapa saya, Sha." Ucapan hangat berserta tatapan teduh, berhasil meluluhlantakkan kedamaian yang akhir-akhir ini memang sering buyar di hatinya.

Siapa yang kuat menghadapi untaian aksara kelewat romantis dari seorang Angkasa coba?!

Mungkin ada, tapi Asha bukan salah satunya!

"Engh... Ya-yaudah... Udah bel, saya ke kelas. Permisi." pamitnya terbata-bata. Tak menunggu jawaban iya, Asha segera mengenyahkan diri dari kondisi yang membahayakan keselamatan jantungnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel