Empat Sekawan
Setelah jam kerja selesai Vero dan Max menuju ke Cafe milik sahabatnya yaitu Evan Emilio. Mereka juga telah janjian bersama dengan sahabatnya yang satu lagi yaitu Aiden Leon yang berprofesi sebagai Dokter. Sekaligus dokter pribadi Vero saat ini.
Saat ini mereka berempat telah duduk di lantai atas cafe itu. Suasana yang sangat bagus untuk melepas kepenatan akibat kerja yang berlebihan. Dari atas sana mereka dapat melihat siapa yang masuk dan siapa yang keluar dari cafe tersebut.
"Aiden, bisakah kau memeriksaku? Sepertinya jantungku bermasalah," ucap Vero datar sambil memegang dadanya.
"Hah? Aku lihat kau sehat-sehat saja." Aiden memicingkan matanya melihat Vero. Max dan Evan pun melakukan hal yang sama.
"Kau sebenarnya kenapa? Dari tadi di kantor kau juga tidak fokus. Apa ada masalah di rumah?" tanya Max. Vero menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada. Hanya saja semalam waktu aku mengantar two V itu ke mall aku melihat dua anak kecil, entah kenapa jantungku langsung berdetak cepat. Aku merasa seperti sesak nafas melihat mereka," ucap Vero tanpa melihat para sahabatnya. Ia lebih memilih memandang ke arah jalanan.
Ke tiga sahabatnya itu saling pandang. Tumben mellow?
"Hah, atau jangan-jangan itu anakmu lagi dari wanita yang malam itu?" Tiba-tiba saja Evan heboh sendiri. Max menabok kepala pria berkulit eksotis itu.
"Kalau ngomong jangan ngawur. Kalau ntuh cewek hamil, pasti dia udah cari Vero. Kau itu!" ucap kesal Max. Kenapa si Monyet ini malah mengingatkan wanita itu, tambah mellow kan suasannya.
"Yah bisa saja dia tidak menemuinya karena dia sama sekali tak punya petunjuk," ucap Evan membela diri. Dia sama sekali tak menyadari situasi yang terjadi karena ucapannya.
"Benar juga sih. Kalau wanita itu beneran hamil waktu itu, kemungkinan anak aku udah seperti anak yang ku lihat tadi malam. Aakkhh semakin kalut aja pikiranku," batin Vero.
"Sudah, sudah. Kalian jangan ngelantur. Mending sekarang kita pesan makanan, aku lapar. Kebetulan tadi belum makan siang gara-gara pasien kecelakaan membludak," ucap Aiden membaringkan kepalanya di meja.
"Elee ... elee ... kasian Pak Dokter. Capek yah?" ucap Evan dengan nada mengejeknya sembari mengelus surai kecoklatan milik sahabatnya itu.
"Hmmm." Aiden hanya membiarkan sahabatnya yang sengklek itu melakukan semaunya, ia tak punya tenaga lagi untuk berdebat. "Bisa sekalian nggak pijit tuh kepalaku," sambungnya dengan kekehan kecil.
Evan pun melakukan apa yang di inginkan sahabatnya. "Tumben dia mau? Ada maunya nih pasti."
"Pasti ada maunya!" timpal Vero dan Max berasamaan. Sedangkan orang yang sekarang menerima tatapan tajam dari ketiganya hanya nyengir kuda.
"Tau aja sih. Hmmm, aku mau ... mau minta obat penggugur kandugan Den." Evan sudah bersiap siap untuk mengambil langkah seribu.
"Evan!" bentak ke tiganya. Semuanya melempar tatapan horor kepada sahabatnya tersebut. Hampir saja asbak di dekat tangan Max melayang, seandainya ia tak ingat bahwa asbak itu barang pecah.
Evan sendiri sudah berlari turun sebelum dapat hadiah dari ketiga sahabatnya. Padahal dia hanya mencoba mencairkan suasana namun sepertinya berlebihan. Hahaha
Meski Evan terkenal sebagai playboy tapi ia tak pernah melakukan hal di luar dari batas. Dan sahabatnya tau akan hal itu.
Lantunan musik dari Anneth Dellicia yang berjudul Mungkin Hari Ini Esok atau Nanti menemani mereka di sore itu. Seakan semuanya mendukung suasana yang mellow.
Evan datang dengan membawa dua jenis cemilan untuk menemani mereka sebelum makan berat yang mereka pesan datang.
Dia meletakkan nampan itu buru-buru lalu berjalan ke arah pembatas transparan, dia ingin melihat seorang wanita yang baru saja menarik perhatiannya.
"Kau kenapa?" tanya Max yang melihat Evan buru-buru.
"Di bawah tadi aku melihat wanita cantik. Senyumnya itu, aduuh ... meleleh Abang Dek! Dia mirip banget sama artis Thailand idolaku. Sebentar lagi dia keluar," ujarnyabersemangat.
"Oh ya? cantik banget dong," tanya Max kembali. Sedangkan Vero dan Aiden juga sudah melihat ke arah jalan keluar cafe itu.
"Nah itu, itu, itu orangnya," ucap heboh Edgar menunjuk ke arah dua wanita cantik yang keluar dari cafenya tersebut. Sayangnya semuanya hanya bisa melihat dari samping. Tapi dari samping aja udah cantik, gie mana kalau lihat dari depan. Max memicingkan matanya. Dia sudah sangat kenal dengan perawakan wanita yang berbaju hitam tersebut.
"Itukan Margaret yang pake baju hitam. Tapi dia sama siapa?" Semua mata mengarah kepada Max.
"Kau kenal?" tanya Evan. "Tapi yang menarik perhatianku tadi yang baju warna putih. Dia cantik banget," sambung Evan sambil membayangkan kembali wajah wanita tersebut.
"Iya. Dia wanita yang aku bilang. Yang senyumnya sudah mengalihkan duniaku. Hehehe," jawabnya terkekeh.
"Karyawan baru itu?" timpal Vero, dan di angguki oleh Max.
"Bukannya kau pernah bilang kalau dia punya anak?" tanya Evan kembali. Sedangkan sang dokter sedang asyik sendiri memakan camilan yang di bawa oleh sahabatnya. Dokter itu benar sedang kelaparan. Hahahhaa
"Hem ... tapi waktu itu dia bersama seorang wanita sih. Kayaknya yang tadi itu dhe yang dia temani. Mungkin saja anak wanita itu, karena aku lihat di CVnya dia statusnya masih lajang."
Vero terus memperhatikan kedua wanita itu hingga keduanya masuk mobil dan meninggalkan cafe tersebut.
"Siapa tau janda?" timpal sang Dokter.
"Terseralah, mau dia lajang atau janda, yang penting aku suka sama dia. Titik!" ucap Max dengan tegas.
"Kalau dia punya suami?" goda Evan.
"Kalau perlu suaminya aku bunuh, terus mayatnya aku buang ke laut. Jandahnya aku nikahin deh. Selesai!" sahut Max bersungguh sungguh.
"Uuuhhh ... mimpi!" ucap Edgar dan Aiden bersamaan lalu tertawa. Max pun ikut tertawa melihat tatapan sahabatnya. Mereka semua pun tertawa bersama sambil melempari batu kecil yang ada di vas bunga ke arah Max. Vero hanya menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya.
"Oh ya Den. Dapat salam tuh sama Adikku. Sepertinya dia betul tergila-gila padamu. Dia selalu merengek agar aku mengundang kalian makan malam di rumah," ucap Vero menghela nafas kasar saat mengingat bagaimana adiknya bertingkah mengesalkan kepadanya tadi malam. Sebelumnya si bungsu selalu menyuruh kakaknya menyampaikan salamnya tapi Vero tak pernah menggubrisnya.
"Yang mana? Adikmu kan ada dua. Valerie atau Vanessa?" tanya Aiden. Dokter itu sepertinya penasaran.
"Si bungsu Vanessa. Dia terus merengek agar bisa bertemu denganmu." Vero menggelengkan kepalanya mengingat adiknya itu. Tapi ia juga tak mau menghalangi adiknya. Kalau memang adiknya menyukai sahabatnya itu biarkanlah dia berusaha. Karena ia tau kalau sahabatnya Aiden sekaligus Dokter pribadinya itu adalah pria yang sulit untuk di dekati.
"Oh yang masih SMA itukan?" tanya Aiden.
"Hmmm. Aku hanya menyampaikan saja. Kau suka atau tidak, itu terserah padamu. Yang penting kau kasi kepastian padanya. Suka ya bilang suka. Tidak ya tidak.!" ucap Vero lalu menyeruput kopi hangat yang ada di depannya.
"Hmm ... kau tidak akan membunuhku kan kalau aku menolaknya?" tanya Si dokter was-was.
"Tergantung!" jawab Vero santai.
Max dan Edgar tertawa terbahak-bahak saat melihat wajah lesu sang Dokter.
"Masa iya, aku sama anak SMA?" batin Aiden dengan hati menangis.
Follow IG : @mommyagam77