Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Wanita Malang

***

“Kenapa hari-hariku terasa membosankan saat ini! Setiap hari aku selalu ditemani sama orang yang tak banyak bicara seperti patung!” sindir Sean.

Esme hanya diam saja setiap Sean menyindirnya. Akhir-akhir ini ia memang terpaksa harus menemani Sean di kantor untuk rapat ataupun bertemu klien karena permintaan dari Steve. Steve memintanya untuk mengawasi pergerakan Sean di perusahaan dan melaporkan semuanya pada pria itu. Esme jelas tidak bisa menolak apapun yang Steve minta karena jasa pria itu padanya lah yang membuat Esme berhutang budi.

“Nanti jangan perlihatkan wajahmu yang seperti biasa! Jangan menunduk ataupun berbicara pelan, orang lain bahkan selalu kesal setiap kamu bicara yang seperti bergumam,” pinta Sean.

“Baik, Tuan,” balas Esme.

“Dan nanti kamu jangan terlalu kaku, bantu aku menjelaskannya pada salah satu klien kita,” pinta Sean lagi.

“Baik, Tuan.”

“Satu lagi, nanti pulanglah naik taxi, aku ada urusan dan kamu jangan bilang apapun pada dady! Jika dady tahu kalau kamu pulang sendirian, aku tidak akan memaafkanmu!” ancam Sean.

“Baik, Tuan.”

“Bosan sekali ini telinga mendengar ucapan yang sama berulang-ulang!” sindir Sean.

Esme diam saja, ia sudah biasa mendengar sindiran atau kemarahan Sean yang dilayangkan padanya. Sean memang berubah sangat sinis dan seolah menganggapnya adalah musuh semenjak tahu kalau Steve memperlakukannya dengan baik. Padahal dulu, Esme ingat saat ia dan Sean bertemu saat usia mereka masih kecil, Sean kecil sangat ramah padanya, bahkan saat ia di-bully sebagai anak pembantu, hanya Sean lah yang membelanya. Sikap Sean berubah saat ia dan pria itu bertemu lagi setelah tujuh belas tahun berpisah. Awalnya Esme pikir, sikap Kenzie tetap sama, tapi nyatanya pria itu menatapnya dengan penuh kebencian.

***

Kesekapatan dengan klien akhirnya lancar dan selesai. Kedua belah pihak akan melakukan kerja sama. Salah satu klien pria menatap Esme dari ujung kaki dan ujung rambut dengan tatapan aneh.

“Maaf, Tuan Sean. Ini asisten Anda?”

“Iya. Nona Esme adalah PA saya,” balas Sean. “Ada apa?”

“Tidak apa-apa. Hanya saya baru melihat seorang PA dengan tampilan unik begini.”

“Bukan unik, tapi kampungan, bukan?” timpal Anne sambil terkekeh. Anne adalah salah satu klien yang sudah mengenal Sean.

“Saya nggak bilang, ya. Kamusaja yang berpikir seperti itu.”

“Sudahlah, Roger. Saya paham kok. Daritadi kamu terganggu dengan tampilan dari Nona Esme, kan?” tanya Anne.

“Eh, nggak. Anu, tadi saya… “ Roger tersenyum kikuk.

“Nanti kalau kamu bawa PA jangan yang kayak gini! Maksudnya saya nggak bicara tampilan atau menghina fisik, ya! Tapi namanya seorang Personal Asisten itu kan minimal menarik lah dari segi tampilan dan dia bisa bicara dengan lugas karena mewakili atasannya. Nah, kalau kamu malah dua-duanya nggak ada. Tampilan kamu jujur merusak mataku, padahal saya ini wanita lho. Zaman sekarang nggak usah deh pakai kacamata kuda, kamu bisa ganti dengan kontak lensa dan baju kamu itu kuno sekali dan rambutmu nggak banget. Kamu nggak hidup di zaman batu! Kita hidup di zaman modern, bisa tuh berselancar di internet mengenai make up, baju atau perawatan dirilah, aku yakin gaji di perusaahaan Tuan Sean itu nggak kecil dan kamu masih mampu lah,” tutur Anne.

“Baik, Nona Anne. Terima kasih atas saran dan perhatiannya,” balas Esme.

“Tuh kan ngomong saja kayak anak yang belajar ngomong,” tukas Anne.

Sontak Roger dan rekan lainnya tertawa. Sedangkan Sean, pria itu hanya diam saat Esme dihina dan ditertawakan begitu. Pria itu seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada wanita itu.

Esme hanya tersenyum singkat, baginya hinaan dan tatapan orang-orang yang merendahkannya sudah biasa bagi sosok Esme Jasmine.

***

Esme kembali ke kantor seorang diri. Ia sedikit terkejut melihat rekan-rekan kantornya yang bersikap normal, biasanya ada saja sindiran yang ia dengar. Esme merasa bersyukur karena hari ini suasana kantor sedikit tenang. Ia langsung duduk di tempat duduknya dan tak lama ia merasa aneh karena ada sesuatu yang lengket dan menempel di roknya. Esme berusaha bangkit dan ia sedikit kesulitan karena roknya menempel di atas kursi. Ia melihat ke sekeliling dan benar saja semuanya tertawa seolah mendapatkan hiburan yang menyenangkan. Esme menghela napas pendek, ia sudah menduga kalau mereka lah yang menempelkan lem di kursi kerjanya.

Akhirnya lem bisa terkepas dari roknya, resikonya roknya ada guratan sobek dan Esme memutuskan untuk pergi ke toilet dan menggantinya dengan rok yang selalu ia bekal.

“Awas, ada penjilat!” sindir Selena.

Esme tidak peduli, ia tahu sikap Selena semakin menjadi-jadi karena dirinya yang saat ini sering menemani Sean ke manapun.

***

Setelah mengganti roknya dengan yang baru, Esme membuka pintu toilet, tapi pintu itu tidak bisa terbuka. Esme terus saja memaksa membuka pintu itu tapi tetap tidak bisa dibuka.

“Ada orang di luar? Tolong, bukakan pintu ini! Pintunya terkunci,” ucap Esme setengah berteriak.

Tidak ada jawaban, padahal Esme sudah menggedor pintu berkali-kali. Ia yakin ada orang di luar karena ia mendengar ada langkah sepatu.

BYURR!

Esme terkejut karena dari atas ada air kotor yang mengguyur tubuhnya.

“Selamat menikmati, wanita sok polos. Nikmati malammu di tolet kantor,”

Esme tersenyum sinis, ia tahu kalau itu suara Selena. Kenapa semua orang membenci sosok Esme? Padahal Esme Jasmine tidak pernah mengusik siapapun.

Esme, kamu wanita yang malang.

***

Pintu ruang kerja Sean diketuk dan Lita muncul dari balik pintu dan menghampirinya.

“Ada apa?” tanya Sean, matanya masih fokus di depan laptop.

“Ada yang bisa saya kerjakan, Tuan?”

Sean menggeleng. “Kamu pulang saja, tidak perlu lembur.”

“Saya nggak masalah lembur, Tuan. Saya bisa bantu apa?”

“Tidak perlu. Ini hanya Esme yang bisa ngerjainnya,” balas Sean.

‘Sialan! Wanita buruk rupa itu lagi!’ batin Selena dengan kesal.

“Esme sudah pulang?” tanya Sean.

“Dari tadi juga dia sudah pulang, Tuan,” balas Selena.

“Ya sudah, kamu pulang saja! Jangan menganggu saya!”

DEG!

Selena terkejut karena baru kali ini sikap Sean sedingin itu padanya. “Baik. Saya pulang duluan,” balasnya pamit dan Sean hanya mengangguk tanpa melihatnya.

Tepat Selena ke luar dari pintu, Sean menghela napasnya. “Tumben dia pulang cepat tanpa menunggu perintahku,” gumamnya.

***

Sean tanpa sengaja mendengar suara wanita yang minta tolong. Pria itu mendengarnya karena baru pulang dari toilet pria sebab toilet di ruangannya bermasalah. Awalnya Sean tak mau menggubrisnya, tapi suara minta tolong itu terdengar jelas olehnya. Sean langsung bergegas ke toilet perempuan, ia mengernyitkan keningnya karena membaca toilet itu dalam perbaikan.

“Ada orang di dalam?” tanya Sean.

“S-Sean. T-tolong aku....”

“Esme?” tanya Sean terkejut.

“I-iya.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel