9. Erik Tak Pakai Baju
Zaka sedang menatap ponselnya, mengecek beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Iseng Zaka mencoba menghubungi nomor Tara, namun masih tak tersambung. Mendadak Zaka mules, keringat sebesar biji jagung menari-nari di kening dan lehernya. Mei yang sedang rebahan di samping Zaka, memperhatikan suaminya.
"Mas, kamu kenapa?"tanya Mei khawatir, sigap Mei duduk memeriksa wajah pucat suaminya.
"Mules, Mei." cicitnya sambil meringis.
"Ya udah sana ke kamar mandi, kok malah diem aja, ntar cepirit lho Mas." Mei mencoba sedikit bercanda.
"Suami sakit kok malah dibecandain, ga lucu," ucap Zaka sebal. Mei terdiam, baru kali ini suaminya bersikap seperti ini.
"Maaf, Mas. Mei ambilkan minyak kayu putih ya." Dengan wajah memelas Mei memandang wajah Zaka, Zaka pun tak tega, akhirnya mengangguk. Mei beranjak dari kasur, lalu mengambil minyak kayu putih di dalam laci. Kembali pada suaminya, dan mengolesi di perut suaminya yang terasa dingin. Wajah Mei semakin khawatir.
"Kita ke dokter saja ya, Mas?"
Zaka menggeleng. "Nanti juga sembuh, tolong saya buatkan teh jahe saja."
"Tapi, Mas. Saya masih lemas."
Zaka menarik nafas panjang, iya baru ingat. Istrinya baru saja keluar dari RS. Tentu masih lemah, apalagi untuk ke dapur.
"Ya sudah kamu tidur deh, Mas mau ke kamar mandi aja." dengan sedikit tertatih Zaka berjalan ke kamar mandi. Mei memperhatikan punggung suaminya sampai hilang di balik pintu. Mei pun melanjutkan tidurnya.
Selama hampir setengah jam, Zaka bersemedi di kloset, namun tak ada tanda-tanda pembukaan, perutnya masih melilit. Keringatnya masih mengucur, tatkala keluar kamar mandi, Zaka melihat istrinya terlelap. Beda dengan Tara, beberapa hari menginap disana, Tara selalu tidur, setelah dirinya tidur. Aah..kenapa tiba-tiba aku membandingkan mereka. Kemana sebenarnya Tara, kenapa pergi tanpa kabar. Zaka tertatih berjalan menuju laci, mencari balsaam. Mungkin dengan balsam rasa sakit itu berkurang. Setelah menemukannya, Zaka mengoles balsam cukup banyak di atas perutnya. Terasa panas dan seperti diplintir, namun sekuat tenaga Zaka menahannya. Zaka mencoba memejamkan mata, sambil sesekali meringis. Namun karena memang sudah sangat mengantuk, Zaka akhirnya tertidur.
****
Di suatu rumah sakit. Tampak seorang lelaki dewasa dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan handuk. Berlari menggendong seorang wanita, yang sepertinya setengah sadar. Erik membawa Tara menuju ruang UGD rumah sakit Sejahtera. Petugas disana sigap menolong dan mengecek keadaan Tara. Dokterpun tak lama datang dan memerintahkan kepada perawat untuk menyiapkan ruang operasi.
"Bagaimana Dok?" tanya Erik dengan wajah pucat. Dokter hampir tertawa,melihat penampilan Erik.
"Istri Bapak, harus segera dioperasi ya, berbahaya bagi janinnya, karena jalan lahirnya mengalami masalah." Erik terdiam, bingung harus bagaimana.
"Tapi, bukannya masih tujuh bulan dok, usia kehamilannya?"
"Iya memang tujuh bulan, tapi kondisi parunya sudah oke, bismillah pak, semoga istri dan anak bapak selamat."
"Baik, Dok. Lakukan yang terbaik." Erik memijat kepalanya pening. Kakinya rasa lemas, Erik terduduk di ruang tunggu pasien. Perawat yang hilir mudik, memperhatikan Erik sambil tersenyum.
"Maaf, Pak. Silahkan dipakai dulu, kasian nanti bapak masuk angin," ucap seorang perawat pria, sambil menyodorkan sebuah kaos bersih pada Erik. Ya ampun, Erik baru tersadar, hanya memakai handuk, bahkan sempak pun ia tak pakai, pantesan dari tadi semriwing di bagian bawah. Erik mengangguk malu, mengambil kaos tersebut, dan melesat ke kamar mandi.
Dengan memegang secangkir cup kopi susu dan sebungkus roti coklat, Erik menunggui Tara, dengan harap cemas.
"Rik ...." seru Pak Yunus, suami mbok Minah, datang menyusul Erik.
"Ah..pak Yunus." Erik merasa lega ada teman yang menemaninya.
"Bagaimana Tara?"
"Dioperasi Pak."
"Lho, bukannya belum waktunya?"
"Iya Pak, tahu tuh kata dokternya Tara mengalami masalah di jalan lahir, jadi harus dilahirkan sekarang bayinya." terang Erik.
"Walah, kamu pake baju siapa kekecilan gini, puser bodongmu itu lho keliatan." Pak Yunus tertawa geli, menunjuk puser Erik yang mengintip di balik kaos kekecilannya.
"Baju perawat laki, Pak. Ndak papalah, dari pada tadi saya telanjang dada waktu sampai sini."
"jangan bilang sampean, ndak pakai sempak juga?" tebak pak Yunus, matanya mengarah ke bawah, Erik nyengir kuda. Sedangkan pak Yunus malah tertawa terbahak-bahak.
"Huuussss..maaf bapak-bapak, dilarang tertawa keras ya!" seorang perawat cantik mengingatkan, sambil lewat.
"Suami ibu Tara," panggil perawat yang baru keluar dari ruang operasi. Ragu Erik berdiri.
"Sudah sana, masa iya saya yang kesana," goda Pak Yunus. Erik akhirnya berjalan menghampiri perawat tadi. Berbicara cukup serius, bersama dengan dokter. Nampak raut kelegaan dari wajah Erik.
Tara sudah ditempatkan di kamar perawatan. Ruang perawatan kelas tiga, yang terdiri dari enam bed . Erik dan pak Yunus, masih setia menunggui Tara sadar, tanpa bicara sepatah katapun. Namun tadi pak Yunus sempat menelepon bapak Tara, pak Danu, mengabarkan bahwa Tara dan bayinya baik-baik saja.
"Eeghh.." Tara membuka matanya pelan, sedikit meringis. Erik dan pak Yunus melihat Tara dengan tatapan iba.
"Pamaan." Panggil Tara, melihat samar-samar bayangan tubuh Erik yang sedang menatapnya.
Mata Tara melotot "Paman, bajunya. mmmppp.." Tara menahan tawa, ia tidak boleh tertawa, karena pasti jahitannya akan sangat sakit. Tara menutup mulutnya erat. Sedangkan Erik dengan konyolnya malah menarik-narik bawah baju yang kependekan itu agar perutnya tak terlihat. Percuma, puser itu terus menatap tajam ke arah Tara. Tara tak sanggup lagi menahan tawanya. Hingga air matanya tumpah. Sedangkan pak Yunus malah bingung, ada apa dengan Tara, kenapa menangis melihat baju Erik. Apa ia iba dengan baju yang dipakai pamannya?
"Hahahahaha...., Paman! Bajunya ganti!" akhirnya tawa itu lepas juga. Namun sejurus kemudian. "Sssstt....aaahhh...periihhh." rintih Tara. Erik bingung, bukannya pergi malah mendekati Tara karena khawatir, Tara menepis Erik, ia tak sanggup harus tertawa lagi, pamannya ini benar-benar mengesalkan.
"Paman bisa merobek kembali perut saya jika masih berdiri disitu dengan baju aneh itu." bisik Tara sambil melotot ke arah Erik. Erik akhirnya pamit undur diri, berusaha meminjam baju yang lain di luar sana. Untunglah seorang security rumah sakit meminjamkan seragamnya, hingga akhirnya Erik masuk kembali ke ruang perawatan Tara, memakai baju security bewarna putih dan handuk pink yang melilit manis di pinggangnya.
"Begini ndak papa tho nduk?" tanya Erik pada Tara yang kini berusaha menahan tawa kembali. Tara memutar bola mata malasnya.
"Maaf, suami ibu Tara, silahkan bayinya diadzankan terlebih dahulu." ucap seorang perawat. Paman Erik bergegas keluar, mengikuti perawat tersebut.
Setelah mengadzani, Erik memandangi wajah anak Tara. Tampan. Persis ayahnya. Erik mengulum senyum. Menciumnya dengan hati-hati karena tubuhnya masih sangat kecil. Diusapnya kepala bayi Tara dengan yang telah dipenuhi rambut yang sangat lebat, dengan telunjuknya. Bayi itu kemudian dimasukkan kembali ke dalam inkubator. Erik kembali ke kamar perawatan Tara. Pak Yunus, tidak ada disana.
"Pak Yunus ke mana, Ra?"
"Pulang Paman, tapi nanti mau balik lagi, mau ambil baju salin untuk saya, paman dan bayi saya."
"Bagaimana anak saya Paman?" tanya Tara antusias.
"Sehat dan tampan, wajahnya persis Zaka." ucap Erik jujur. Tara terdiam, miris sekali hidupnya, ayah bayinya pun tak tahu kalau benih yang ia tanam, ternyata berbuah seorang bayi laki-laki.
"Sudah jangan dipikirkan, yang penting kamu dan bayimu sehat. Mau dikasih nama siapa?" Tara tampak berpikir, belum sempat ia memberi nama anaknya.
"Paman punya saran?"
"Mmm...karena wajahnya tampan, bagaiamana kalau kita beri nama Muhammad Yusuf?"
Tara tampak menimbang-nimbang, senyumnya terbit. "Baiklah saya setuju paman. Terimakasih ya paman." Tara mengulurkan tangannya, hendak salim pada Erik. Erik memberikan tangannya, Tara mencium punggung tangan pamannya dengan khidmat. Telapak tangan itu begitu kasar. pamannya ini benar-benar seorang pekerja keras.
"Semuanya sembilan juta tiga ratus ribu rupiah." ucap petugas kasir rumah sakit. Erik yang sudah menebak bakal mengeluarkan duit banyak, sudah terlebih dahulu menggesek tabungannya, melalui atm di rumah sakit. Tak apalah mengeluarkan banyak uang untuk orang yang sangat ia sayangi, melebihi dirinya sendiri. Menghabiskan tabungannya pun ia rela, asal Tara baik-baik saja. Setelah melakukan pembayaran, Erik kembali ke kamar Tara, yang sudah siap menunggunya. Tampak si kecil Yusuf sedang tertidur pulas di dalam bedongan.
"Kita pulang!" ucap Erik sambil tersenyum. Setelah empat hari Tara dan bayinya menginap di rumah sakit. Erik menggendong bayi Tara dengan hati-hati. Tangan sebelahnya lagi memapah Tara keluar dari ruangan. Tas-tas sudah terlebih dahulu ia titip di lobi .
Kini mereka dalam perjalanan pulang. Erik mengendarai mobil dengan tenang dan sangat hati-hati. Sesekali diliriknya Tara yang menimang sayang Yusuf.
"Paman, terimakasih banyak untuk semuanya, saya tidak bisa membalas semua jasa dan pengorbanan paman." ucap Tara terharu.
"Iya, ndak papa nduk, yang penting kamu dan bayimu sehat selamat, itu sudah cukup buat saya." Erik tersenyum manis pada Tara, lalu menyentuh pipi halus Yusuf.
"Paman, saya mau tanya!"
"Iya, tanya saja Ra."
"Waktu saya setengah sadar, saya seperti mendengar paman berkata, selamatkanlah wanita yang aku cintai ini. Begitu. Ucapan itu buat siapa Paman?"