Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Kecurigaan Mei

Selamat Membaca?

Jangan lupa follow ya?

"Masa sih? Saya ndak bicara apa-apa. Kamu salah denger kali Ra, orang setengah sadar gitu." Erik mengelak, dengan akting yang sangat bagus, sehingga Tara percaya.

Cceupcceeupp

Bayi Yusuf berdecab, tanda ingin menyusu.

"Sabar ya Le, kakekmu ini sedang nyetir, nanti malah nabrak kalau kamu nenen di sini," ucapnya datar, sambil terus fokus menatap jalanan. Sedangkan Tara sudah terkekeh geli. Pamannya ini sangat cuek, dan gak asik. Bisa-bisanya bicara begitu tanpa ekspresi apapun.

"eeeeekk...eeekkk ...." Bayi Yusuf mulai menangis.

"Ya sudah, kita berhenti di warung makan depan sana. Kamu menyusui di sini, biar paman turun dulu," ucap Erik, lalu menepikan mobilnya.

Mesin mobil masih menyala, Erik turun masuk ke dalam warung makan, sesekali Tara melirik ke arah pamannya. Pamannya tengah asik berbincang dengan orang-orang yang berada disana. Lima belas menit berlalu, akhirnya bayi Yusuf sudah cukup kenyang, matanya terbuka lebar. Sangat tajam, Tara mencium gemas, betapa tampannya lelakiku. Tara bermonolog.

Tara menurunkan kaca mobil sedikit, membunyikan klakson mobil, Erik melihat dan berpamitan pada orang-orang di warung tersebut, sambil tangannya membawa bungkusan makanan dan juga teh hangat.

"Wah, wah ... cucu kakek, matanya terang banget, udah kenyang yaa?" Erik berbicara pada Yusuf.

"Ini minum dulu, habis menyusui pasti laparkan, ada tempe dan tahu goreng, dicemilin aja. Sini Yusuf biar saya gendong, kamu makan dulu." Erik mengambil Yusuf dari pangkuan Tara. Menepuk-nepuk lembut, tubuh bayi tampan itu. Tara makan dengan cepat, perutnya memang sudah sangat lapar.

"Pelan-pelan saja Ra, nanti tersedak." Erik mengingatkan.

Ajaib, Yusuf tidur pulas, dalam timangan Erik. Mulut bayi itu terbuka, sesekali tersenyum dalam tidurnya.

"Persis mamanya kalau lagi tidur, pasti mulutnya nganga."

"Yee ... Paman sok tahu." Tara tak terima.

"Taulah, kamu dari bayi juga saya udah gendong, sampe segede gini aja masih saya gendong," ucapnya datar tanpa melihat ke arah Tara, yang tengah menghabiskan tehnya.

"Coba kemaren saya memotret kamu pas lagi tidur ya, pasti viral." ledeknya lagi.

"Ish ... Paman! " Tara memukul lengan pamannya sebal.

"Ndak sakit tuh." Erik kembali meledek.

Tara semakin gencar memukuli Erik, seperti emosinya tengah ia keluarkan.

"Hadeh, iki malah kayak di elus-elus, tenaga kamu cuma segitu?" Erik menatap sengit keponakannya. Tara menahan tawa, benar-benar pamannya ini pengen dicakar saja rasanya.

"Udah nih, pegang lagi Yusufnya. Biar saya nyetir lagi, bapakmu biar ndak khawatir."

Tara dan Yusuf tertidur sangat pulas, perjalan hampir empat puluh lima menit, ditempuh Erik untuk kembali ke rumahnya. Sesekali Erik melihat Tara dan Yusuf bergantian, ditariknya senyum tipis.

Mencintai dalam diam itu susah- susah gampang. Asal mereka senang, itu sudah cukup buatnya. Tak ada istri dan tak ada penerus, ya ndak masalah. Erik tidak mau menyusahkan orang dengan niatan menikah hanya untuk mengurus dirinya yang semakin berumur. Bukannya tak ada yang menyukainya, jelas-jelas anak pak lurah cinta mati dengan dirinya, namun Erik selalu menolak dengan halus.

Biarlah seperti air mengalir. Lamunan Erik terbang, hingga tak terasa mereka sampai di rumah yang sudah ditunggu beberapa tetangga, menyambut Tara dengan suka cita. Erik memarkirkan mobilnya di depan rumah pak Yunus, tetangganya. Erik kemudian membukakan pintu untuk Tara, sambil menenteng tas jinjing yang cukup besar.

Fia sudah melompat kegirangan, saat mamanya datangndengan dede bayi didalam gendongan.

"Mama...dede...mama..dede!" pekik Fia gembira. Mbok Minah mengambil bayi Yusuf yang tampan dari gendongan Tara.

Tara masuk dengan berjalan pelan, sambil dituntun Erik.

"Aduh..aduh..suami siaga," celetuk pak Yunus, menggoda Erik. Erik menatap pak Yunus sambil melotot, mengacungkan jari tengahnya pada Pak Yunus. Hingga Pak Yunus tertawa cekikikan, begitu juga pak Danu, bapak Tara.

"Pak," sapa Tara sambil melihat bapaknya yang masih duduk lemas di atas dipan. Mencium punggung tangan bapaknya, pak Danu tak sabar ingin melihat cucu lelakinya.

"Walah tampan sekali cucuku ini, mirip bayi artis," puji Pak Danu, dengan air mata menggenang. Mbok Minah duduk dekat pak Danu, biar pak Danu puas melihat wajah cucu lelakinya.

"Tara ke kamar dulu, Pak," pamit Tara yang diantar oleh Erik.

"Awas, ingat jalan keluar lho Rik," goda pak Danu pada adik angkatnya itu. Erik hanya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sedangkan Tara pura-pura cuek saja.

Erik keluar dari kamar Tara, lalu mengambil handuk dan langsung masuk kamar mandi. Tetangga berdatangan satu persatu ke rumah pak Danu, untuk melihat bayi Tara, ada yang membawakan kado, ada yang membawakan beras, sayur mayur, bahkan juga uang. Begitulah tradisi warga kampung Tara, jika ada yang baru saja melahirkan, maka berbondong-bondong menjenguk dengan membawa buah tangan.

Hingga isya, masih saja satu persatu tetangga melihat bayi Yusuf.

"Siapa yang memberi nama?" tanya Pak Danu pada Tara saat mereka baru saja selesai makan malam.

"Aku Mas," jawab Erik.

"Tanda-tanda kalau gitu," sahut Pak Danu cepat. Erik melotot tajam pada Danu. Bapak Tara akhirnya hanya mesem-mesem saja. Tara tahu arah pembicaraan bapaknya akan kemana.

"Sabtu depan, cucu kakek, aqiqah ya." ucap Erik tegas.

"Ah..aku saja ndak mikir buat aqiqah Rik, duitnya belum ada, ga papa kan Ra?"

"Ndak papa, Pak. Nanti-nanti saja." sahut Tara sambil mengusap punggung bapaknya.

"Saya sudah siapkan untuk aqiqah Yuauf, Mas Danu dan Tara tidak perlu khawatir."

"Lho, tabunganmu habis dong Rik, belum tadi bayar rumah sakit"

"Ga papa, Mas. Saya juga duit disimpen banyak-banyak untuk siapa dan untuk apa, biar digunakan untuk Tara dan Yusuf saja."

"Cucu kakek, sabtu depan aqiqah ya, sunnahnya begitu." Erik berdiri dari duduknya, membawa piring kotor ke belakang. Sedang Tara masih menatap punggung pamannya yang menghilang dari balik tembok.

"Bapak yakin, tidak akan salah menjodohkanmu dengan Erik, pikirkanlah Ra." bujuk pak Danu lagi.

"Tara tidak bisa Pak."

"Kamu sudah mencintai ayahnya Yusuf?"

Tara mengangguk. "Dan apa dia mencintaimu?" Tara kemudian menggeleng.

"Percaya Bapak, dicintai itu rasanya lebih bahagia, dari pada mencintai. Pikirkan lagi ya nduk." Pak Danu mengusap kepala Tara yang tertutup hijabnya.

Malam ini dilalui dengan adegan bergadang, bolak balik ke dapur,membuat susu untuk Fia, karena Fia juga sedikit rewel. Mata Yusuf terang benderang, ingin selalu digendong, Tara sudah tak kuat menahan kantuk, sambil duduk di ranjangnya, Tara menimang Yusuf dengan menahan kantuk.

Berpuluh-puluh kali menguap, dulu saat lahir Fia, suaminya Rahman, sigap bergantian bergadang menjaga Fia, namun kini Tara harus kuat menahannya sendiri. Air matanya tiba-tiba merembes. Tara melihat jam di dinding sudah pukul dua pagi.

Tok!

Tok!

"Raaa ..., panggil paman Erik. Tara tersadar, cepat mengambil kerudungnya, lalu membuka pintu, matanya sulit untuk dibuka karena mengantuk.

"Sana tidur, biar saya jaga Yusuf." Erik mengambil Yusuf dari gendongan Tara.

"Saya tidur sebentar ya paman, udah ga kuat," lirih suaranya, lalu menguap lebar.

"Udah sana masuk tidur." Erik mendorong tubuh Tara masuk, lalu menutup pintu kamar Tara.

Erik mengajak bayi Yusuf bicara, dipangkuannya.

"Hayoo anak pinter ga boleh begadang terus."

"Nanti gantengnya luntur lho."

Bayi Yusuf seakan mengerti, senyum-senyum menatap wajah Erik.

"Satu-satu Yusuf sayang mama, Dua-dua juga sayang kakak, tiga-tiga sayang kakek Danu, satu dua tiga sayang kakek Erik."

"Walaah ... ndak cocok liriknya, kita ganti ya."

Terus begitu sampai adzan shubuh. Erik mengajak Yusuf bicara juga bernyanyi, sampai bayi itu kelelahan, dan tidur dipangkuan Erik. Begitu Yusuf tertidur, Erik pun seakan terhipnotis, ikut tidur juga.

Tara yang sayup-sayup mendengar adzan shubuh, bergegas bangun, memakai jilbabnya dan membuka pintu kamar. Tara mengulum senyum saat pamannya tertidur mendekap Yusuf yang tertidur di dadanya.

"Terimakasih Paman," gumamnya, lalu masuk ke kamar mandi.

Pukul lima Erik terbangun dari tidurnya. Yusuf masih dalam dekapannya, tampak Tara baru saja keluar kamar mandi dengan melilitkan handuk di kepala. Memakai piyama panjang, Tara tak menyangka Erik sudah bangun. Erik melirik sekilas, lalu menutup matanya kembali. "Sungguh cantik," pujinya dalam diam. Tara masuk ke kamar lalu mengganti pakaian.

"Raa ..., ini Yusuf haus," ucap Erik dari balik pintu. Tara cepat membuka pintu.

"Terimakasih paman." Tara mengambil Yusuf dari gendongan Erik. Entah kenapa Erik, malah mengusap pucuk kepala Tara dari balik jilbabnya. Tara hanya tersenyum tipis.

"Kalau rambut masih basah jangan ditutup, nanti banyak kutunya," ucap Erik tanpa ekspresi.

Tara tertawa kecil. Menatap wajah pamannya yang menguap berkali-kali pergi meninggalkan Tara dan Yusuf untuk masuk ke kamar mandi.

****

"Ra ... Ra ...," ngigau Zaka shubuh itu, Mei yang sudah lebih dulu terbangun, menatap heran suaminya, "Ra..siapa?" pikirnya keras. "Aah..ga mungkin Mbak Tara." Mei menutup mulutnya tak percaya.

"Tara..." Jerit Zaka, lalu tersentak, Mei juga tak kalah kagetnya.

"Mas, ada apa? Mas menyebut nama Tara terus," ucap Mei tak suka.

Masih setengah sadar, Zaka bergumam.

"Tara menggendong bayi bersama seorang laki-laki, Mas panggil-panggil ga nengok."

Zaka mengusap rambutnya kasar.

"Mas pernah melakukannya dengan Tara?" tanya Mei dengan nada tinggi.

"Gaak Mei, ga pernah," bohongnya. "Tidak mungkin bayi itu anakku!" jerit Zaka dalam hati.

Di saat bersamaan. Bayi Yusuf yang tengah menyusu, tiba-tiba menangis kencang, hingga wajahnya memerah, seperti ada yang melukainya.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel