
Ringkasan
Aku—Badri, sangat, sangat, dan sangat menyesal setelah membelikan sebuah gawai untuk istriku. Di mana sekarang aku terabaikan, makan, yang di lihat gawai, tidur, yang di pantengin gawai, bahkan ke kamar mandi pun terkadang gawai yang di bawa. Bukan aku? Sungguh gawai telah mengambil hati istriku. Apakah aku cemburu pada gawainya? Oh, tidak. Tapi aku yakin ada seseorang di gawainya. Aku selalu dan selalu berdoa supaya gawai istriku rusak, tapi tidak semudah itu karena dia selalu menjaganya dengan baik. Bagaimana caraku memisahkan istriku dengan gawai itu? Apakah aku bisa lebih sabar untuk menghadapi istriku yang jarak usia kami sepuluh tahun? Oh, Tuhan, bantu aku.
Bab 01
Aku tak tahu harus menyesal atau bahagia ketika aku berhasil memberi hadiah istriku sebuah handphone yang dia impikan seperti teman-temannya. Sejak kami menikah, hanya handphone kecil tanpa kamera yang kami miliki. Setelah kami berhasil menabung, akhirnya kami bisa membeli satu handphone android. Karena tuntutan kerja, istriku mengatas namakan handphone itu milikku. Ya, android, zaman sekarang kalau bukan android mana paten, zaman sekarang kalau bukan android mana keren, zaman sekarang kalau bukan android mana gaul.
Karena kata-kata itu istriku selalu merengek minta android, setelah aku berhasil memberinya apa hasilnya? Malah aku sering di abaikan dan selalu di cuekin. Di tambah lagi selalu merepet kalau handphonenya hilang entah ke mana. Ops! Bukan hilang, tapi dia sendiri yang lupa di mana terakhir kalinya dia letakkan, adaaa saja yang salah dariku. Astaga, hidup macam apa ini.
"Badri!"
Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara Anton memanggilku. Aku menoleh ke belakang dengan rasa malas sambil menghela nafas.
"Ada apa?"
"Mancing, yuk," ajaknya dengan wajah ceria dengan penuh keyakinan.
"Mancing? Mancing keributan?" Ucapku kesal. Aku memutarkan kepala lagi menghadap ke depan.
Aku melanjutkan langkahku menuju kantor yang tidak jauh lagi, tampak Anton berlari kecil mengejarku. Karena Anton bertubuh pendek, maka sangat sulit dia mengejarku tampak harus berlari kecil.
"Serius. Ada pemancingan yang keren, nyaman tempatnya," ucapnya sambil terus mengejarku.
"Mau senyaman apapun tempatnya, pasti rasanya enggak nyaman. Pasti Elena bakal hubungi aku terus," sahutku sewot sambil terus berjalan.
"Coba aja lagi, Bad, siapa tahu sekarang enggak. Elena kan sekarang pakainya android, beda sama dulu," ucapnya dengan nafas mulai tersengal.
Aku menghentikan langkah lalu membalik badan dengan cepat, wajahnya tepat di bagian leherku. Anton seperti terhenyak saat itu dengan memandangku sambil menelan ludah.
"Kan—"
"Dari mana kamu tahu istriku sekarang punya handphone android?" Tanyaku menatap matanya dengan tatapan tajam berharap pengakuan darinya.
"Ta-Tapi kamu sendiri yang minggu lalu kebingungan mencari uang dua ratus ribu rupiah untuk tambahan beli handphone. Terus dari mana itu dapat kurangannya? Lupa aku," tanyanya sambil membalas tatapan mataku. Wajahnya kini lebih kesal dariku, tatapan matanya kini lebih sinis dari tatapan mataku.
Aku meringis sambil menggaruk tengguk leher bagian belakang yang tidak gatal karena menahan malu. Ya, kurangan waktu itu aku pinjam dari Anton dan sampai sekarang belum aku kembalikan. Untung janjinya gajian balikinnya.
Aku dan Anton tertawa lepas, Anton mengusap-usap pundak sebelah kananku.
"Aku enggak nagih loh, hanya mengingatkan saja," ucap Anton dengan rasa tak enak hati.
* * *
Seperti biasa, jam mengajar telah usai. Aku mengendarai motor Vespa zaman old, pemberian dari bapak. Walaupun di rumah ada yang model baru, aku tetap mengendarai ini karena sudah melekat di hati.
"Sayang, sayang," panggilku setelah aku membuka pintu rumah. Tidak ada jawaban. Aku menyusuri berbagai ruangan. Kamar, dapur, bahkan kamar mandi. Tapi istriku tetap tidak ada.
Aku menghempaskan tubuhku di sofa sambil menumpahkan segala lelahku di sana, menyandarkan tubuhku sambil sekilas meregangkan otot-otot tangan yang terasa kaku.
Lima belas menit sudah aku duduk di sini namun Elena tak kunjung datang. Kurebahkan tubuh yang lelah ini sampai tak sadar mataku terpejam.
"Maaas, maass," suara istriku itu terdengar sayu di telinga. Perlahan aku membuka mata dengan berharap istriku lah yang tengah membangunkan ku.
Aku tersenyum setelah memandang wajah istriku, senyum yang lebar serta wajah yang cerah membuat hatiku sejuk. Aku memegang kepala bagian belakangnya lalu ku usap-usap sambil tersenyum.
"Kok tidur di sini, sayang?" Tanyanya dengan nada lembut, "Ini juga sudah sore loh, enggak baik untuk tidur," lanjutnya. Tangan kirinya mengusap-usap keningku karena tangan kanannya tengah memegang sesuatu.
Elena beranjak lalu melangkah ke dapur setelah memanjakan ku dengan kasih sayangnya. Aku membuntutinya dari belakang karena aku masih rindu dengan nya.
"Dari pasar, ya, Dek?" Tanyaku.
"Iya, Mas. Soalnya stok di kulkas sudah mulai habis," jawabnya sambil mengeluarkan beberapa jenis sayuran dari dalam plastik ke atas meja.
"Kenapa enggak nunggu, Mas pulang?" Tanyaku.
"Kan sekarang aku jadi istri mandiri, Mas. Enggak seperti dulu yang selalu manja," ucapnya. Dari wajah cerianya itu malah membuat aku penasaran.
Hening ...
"Siapa yang ajarkan?" Tanyaku sambil memandangnya dengan tatapan heran.
Elena menatap mataku, "Mbah Google."
Aku dan Istriku tertawa lepas. Takku sangka ternyata ada juga pelajaran baik yang di ambil oleh istriku dari handphone itu.
Tapi aku tidak bisa diam begitu saja setelah istriku menyebut nama mbah google, aku harus tetap waspada.
Dreett ...
Dreett ...
Handphone Elena berdering.
"Tasya. Sebentar, ya, Mas," ucap Elena dan berlalu ke dalam kamar. Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Setelah Elena berada di kamar, aku berdiri dari dudukku.
"Bentar, ya, Mas. Emang bisa sebentar?" Celotehku.
Aku sudah hafal dengan istriku, dia bilang sebentar? Apa bisa kalau sudah ngerumpi itu hanya sebentar? Hmm dasar istriku, selalu begitu.
Aku membuka tudung saji, ternyata Elena belum masak sama sekali. Aku membuka kulkas ternyata benar, tidak ada satupun sayur yang biasanya aku makan. Yang ada hanya sayur kesukaan Elena tetapi aku kurang menyukainya.
Aku meregangkan otot-otot yang terasa kaku lalu menarik ujung baju bagian lengan hingga ke siku. Sayuran yang baru saja di beli Elena ku susun di sana. Dengan sigap aku membersihkan ikan segar lalu menggoreng nya, sambil memotong-motong sayur bayam.
Tidak menunggu waktu lama semua selesai sudah, dari sayur dan lauk sudah tersusun rapi di atas meja.
"Maaass, mas masak? Ya Allah sayang, aku kelamaan, ya? Maaf," ucapnya sambil memelukku.
"Enggak apa-apa, Sayang, kan cuma sebentar," sahutku.
Elena tersenyum sambil mencubit pinggangku. Aku merangkulnya lalu berjalan ke arah meja makan.
"Mas, kasihan Tasya," ucap istriku di sela-sela kami makan.
"Kenapa dia?"
"Suaminya, selingkuh," ucap istriku sambil mengunyah.
"Oohhh ..."
"Kok oh doang sih mas?" Ucap istriku kesal.
"Terus?"
"Kaget sedikit kenapa," ucap Elena dengan wajah cemberut.
Aku tertawa lepas melihat pipi chubby nya masih terlihat mbul. Sebenarnya kabar itu aku sudah dengar dari Anton beberapa hari yang lalu, hanya saja aku tidak cerita dengan Elena.
Rustam memang memiliki peran pengganti istri di tempat dia bekerja. Tapi biarlah, itu urusan mereka.
"Terus apa rencana Tasya?" Tanyaku.
"Ya, pisahlah. Soalnya memang sudah terbukti Rustam itu tidur dengan perempuan itu," sahutnya.
"Emang enggak bisa di maafkan apa? Sayang loh pernikahan sudah puluhan tahun gitu, tambah lagi anaknya banyak," ucapku.
"Siapa yang mau kalau sudah seperti itu, Mas," ucap Elena kesal.
"Namanya khilaf, Dek, suruh aja Tasya maafkan," ujarku.
"Maksa banget sih mas! Memangnya kalau aku yang melakukan seperti Rustam itu kamu bisa maafkan aku? Mentang-mentang temannya terus di belain sampai ke akar," ucap Elena sambil meletakkan sendok ke atas piringnya.
"Sayang, ya, enggak gitu juga sih, maksud mas itu—"
"Sudahlah," ucap Elena sambil berlalu.
Ya ampun, nasinya baru di makan setengah, masih ada lagi setengah sisanya. Emang lah, ya, mau apapun yang di bahas pasti berujung kegelutan. Astaga.
* * *
"Sayang, masih marah?" Tanyaku.
"Aku mau selingkuh," ucapnya ketus.
"Hah? Apa?" Ucapku sambil tertawa lepas. Aku memeluknya dengan erat bak anak kecil memeluk ibunya, "Emang ada yang mau sama kamu?" Lanjutku sambil tertawa.
"Ih, sepele," ucap Elena sambil tertawa dan mencoba membuka pelukanku.
Dreet ...
Dreet ...
Handphone Elena kembali berdering.
"Ya ampun, kapan handphone ku berdering?" Ucapku sambil menepuk jidat.
Elena tertawa sampai puas sebelum menjawab panggilan. "Makanya, jadi orang penting sedikit."
"Oohh, tunggu aja," ucapku sambil memeluk guling dengan wajah cemberut. Istriku berbicara dengan orang yang ada di seberang dengan tangan kanan mengusap-usap keningku.
"Apa? Iya ya sudah aku ke sana." Elena terkejut. Seketika tangannya terlepas dari keningku.
"Ada apa, Dek? Siapa yang nelpon?" Tanyaku.
"Mas, di rumah saja, ya, aku sebentar," ujar Elena sambil menyambar kunci motor. Secepat kilat istriku sudah mengenakan jaket tebal dan juga helm miliknya.
"Eh, enggak, enggak, Mas ikut," ucapku sambil beranjak.
"Jangan, Mas," ujar Elena sambil menutup pintu kamar sedangkan aku masih ada di dalamnya.
"Ikut," ucapku sambil menyambar jaket kulit yang tercantol di gantungan. Lalu melompat dari ranjang lalu membuka pintu.
"Jangan! Aku bilang jangan, ya, jangan!" Teriak Elena.
Aku terhenyak, 'alamak, kenapa dia?' batinku.
Aku hanya bisa memandang istriku mengendarai motor sendirian malam-malam begini, tidak ada penjelasan dan kejelasan kemana dan dengan siapa.
Tapi itulah Elena, setiap langkah yang dia ambil selalu menyakitiku. Tapi sebenarnya dia berada di jalan yang benar. Eh tapi itu dulu, iya dulu, sekarang?