Pertengkaran
Disebuah kamar berwarna biru, terdapat seorang perempuan dewasa yang tengah berbaring, meratapi nasibnya. Siapa lagi kalau bukan Arabella, yang biasa di panggil Ara. Ia merebahkan tubuhnya terlentang sambil menatap keatas, langit-langit kamarnya. Ada perasaan gelisah sekaligus khawatir dengan masa depannya. Bagaimana tidak, sang mami terus mengotot untuk menikahkannya dengan anak temannya itu.
Beberapa kali Ara menolak permintaan maminya, tetapi gagal. Keputusan maminya sudah bulat dan tidak bisa di ganggu gugat. Diumur Ara yang baru menginjak 20 tahun ini, dirinya masih belum siap untuk menjalani hubungan serius dengan orang lain. Apalagi lelaki yang akan maminya jodohkan ini sama sekali tidak pernah ia kenal, dia hanyalah lelaki asing yang akan menjadi suaminya.
"Bagaimana caranya agar mami tidak melanjutkan perjodohan ini ya?" Gumam Ara sambil menatap langit-langit. Seketika Ara teringat perdebatannya dengan mami di bawah tadi.
Flashback on.
"Ara tidak mau menikah muda mi! Lagian Ara punya pacar, kalau Ara menikah terus pacar Ara bagaimana?" Tanya Ara dengan menaikan nada berbicaranya.
"Mami tidak peduli Ara! Mau sampai kapan kamu pacaran dengan pria yang tidak jelas keseriusannya. Memangnya pacar kamu akan serius menikahi kamu?"
"Beri Ara kesempatan untuk berbicara dengannya, Ara akan minta dia untuk menikahi Ara mi. Ara yakin dia pasti mau menikahi Ara," jawab Ara menggebu-gebu.
Wanita itu tersenyum sinis sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Ck. Mau sampai kapan? Mami nggak yakin kalau dia mau menikahi kamu, kalau dia serius pasti tidak akan membuatmu menunggu hingga lima tahun Ara!"
Ara hanya bisa diam.
Flashback off.
Ara menghela nafasnya setelah mengingat percakapannya dengan maminya beberapa jam yang lalu. Pertengkaran hebat yang ia lakukan dengan maminya membuat Ara berfikir untuk beberapa kali lagi.
Ucapan maminya ada benarnya, karena memang selama ini Ara berpacaran dengan Edward sudah hampir lima tahun. Tetapi tidak ada kepastian, setiap kali Ara membahas tentang pernikahan Edward pasti selalu menghindar. Percuma menjalin hubungan lama tetapi tidak ada kepastian untuk menikahi. Dari sini Ara mempertimbangkan lagi hubungannya dengan Edward.
Tetapi mau bagaimana juga Edward adalah lelaki pilihannya yang sangat ia sayangi. Sangat sulit jika melepaskan Edward begitu saja, karena lima tahun bukanlah waktu yang pendek dalam menjalin hubungan. Ditambah lagi mereka sudah sangat dekat, Edward juga sudah sering main kerumahnya.
"Aku sadar hubunganku dengan Edward memang sudah tidak di restui dari awal. Bodohnya aku masih bertahan dengannya hingga sekarang."
"Aku kira mami akan mau menerima Edward seiring berjalannya waktu, namun ternyata tidak. Oh tuhan bagaimana ini nasib hubunganku dengan Edward?" Gumam Ara sambil meraup wajahnya secara kasar.
Antara bingung, sedih, marah bercampur menjadi satu. Hubungan Ara sangat di tentang oleh mamahnya karena memang mereka tidak akan bisa bersatu, dengan alasan perbedaan agama. Pernah sekali Ara bertanya kepada maminya tentang pendapatnya kepada Edward, dan maminya sendiri mengatakan bahwa Edward anak baik, tetapi semua itu kalah dengan yang serius.
Ara bangkit dari tidurnya. Kemudian dia berjalan kearah balkon kamarnya. Ara berdiri disana sambil menatap langit yang tampak gelap, tidak ada bintang ataupun sinar rembulan malam disana.
Kenangannya dengan Edward selama lima tahun ini kembali berputar di kepalanya. Kenangan dimana dirinya dan Edward tengah duduk berdua di taman sambil menatap bintang di langit. Hari itu Ara sangat bahagia bisa berduaan dengan Edward. Tetapi malam itu juga menjadi petaka bagi Ara karena ia pulang dalam keadaan kehujanan, pagi harinya ia pun tumbang. Hal itu membuat sang mami sangat marah kepadanya. Hampir satu bulan Ara tidak diperbolehkan keluar dengan Edward di malam hari, karena maminya takut jika hal itu terulang kembali.
Ara tersenyum samar, namun beberapa detik kemudian ia menggelengkan kepalanya pelan.
"No! Ini tidak bisa terjadi, aku tidak mau berpisah dengan Edward. Terlalu banyak kenanganku saat bersamanya, aku tidak mau memulai perkenalan lagi dengan orang baru." Gumam Ara sambil menatap sendu.
Beberapa detik kemudian, Zikri kakak kandung Ara tiba-tiba muncul dari belakangnya. Entah sejak kapan kakaknya itu berada dibelakangnya, mungkin saja kakaknya sudah mendengarkan semua keluh kesahnya.
"Ara,"
Ara membalikkan badannya menatap kakaknya terkejut.
"Ada apa kak?"
"Kamu it's okay?"
Ara tersenyum samar, kemudian ia pun tersenyum kearah kakaknya.
"Aku okay! Kakak ada keperluan apa datang kemari?"
Bukannya menjawab Zikri malah berjalan kearahnya sambil memegang gagang besi pembatas di balkonnya. Ara pun mengikuti kemana arah kakaknya berdiri, hingga ia pun ikut menatap kakaknya dari samping.
Dilihatnya wajah tampan kakaknya yang terlihat seperti menyembunyikan sesuatu yang Ara sama sekali tidak mengetahui itu.
Zikri menghela nafasnya pelan,kemudian ia kembali menghembuskannya.
"Kamu tahu kenapa minyak dan air tidak dapat bersatu?" Tanya Zikri secara tiba-tiba.
Hal itu membuat Ara mengernyitkan dahinya tidak tahu maksut dari ucapan kakaknya itu.
"Apa kak?"
"Karena memang takdirnya seperti itu. Begitu juga kamu, kenapa kamu tidak dapat bersatu dengan Edward? Karena kamu dan dia beda."
"Kamu bisa saja bersatu dengannya, asalkan dia mau mengalah untuk berpindah agama seperti kamu." Ujarnya lagi.
Ara diam. Kalau sudah membahas tentang keyakinan, Ara akan diam. Karena pada kenyataannya memang sudah sangat jelas bahwa Edward tidak mau berpindah agama demi menikah dengannya, dan bodohnya Ara lagi-lagi dirinya mau saja menjalani hubungan yang sudah jelas bahwa mereka tidak akan bisa bersatu karena Edward tidak mau berpindah agama.
"Ini pertama dan terakhirnya kakak ikut campur dengan urusan kamu. Kakak hanya ingin kamu menuruti permintaan mami!" Ujar kakaknya serius sambil menatap wajah imut adiknya.
"Ridho allah ada pada ridho orang tua, murkanya allah adalah murka orang tua. Percayalah, pilihan mami ini yang terbaik buat kamu dek," Ujar kakaknya serius.
Ara menatap sendu kearah kakaknya, dirinya tahu kalau kakaknya sudah menasehatinya panjang lebar pasti memiliki alasan yang kuat.
Ara menghela nafasnya berat. "Kakak tahu dari mana kalau pilihan mami yang terbaik? Sedangkan mami bukan tuhan yang tahu segalanya."
Zikri menarik kedua tangan adiknya, kemudian menggenggam dengan sangat erat.
"Kakak sudah bertemu dengan lelaki itu, dia tampan, dia baik, yang paling penting dia faham agama."
"Apakah cukup menikah cuma dengan modal faham agama dan tampan?"
"Kalau masalah financial kamu tidak perlu khawatir, dia kaya, punya usaha, dia juga sedang kuliah saat ini." Jelas kakaknya meyakinkan adiknya sekali lagi.
Ara sudah tidak bisa menjawab ucapan kakaknya lagi, karena Ara sudah tidak memiliki alasan lagi untuk mengelak perjodohan ini. Semua orang seakan menguak fakta kebaikan lelaki itu, yang hingga saat ini Ara belum tertarik mencari tahu tentang lelaki itu.
Ara melepaskan genggaman tangan kakaknya, kemudian Ara menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menatap kearah langit malam.
"Kakak tahu, menjalin hubungan lima tahun tidaklah mudah. Ara tidak mau hanya karena perjodohan tidak jelas ini Ara berpaling darinya. Sampai kapan pun Ara tidak akan pernah meninggalkannya, ataupun membuka hati Ara untuk orang baru. Tidak akan!" Ujar Ara sambil menatap galak kearah kakaknya.
"ARA..!!"
Beberapa detik kemudian Ara langsung masuk kedalam kamarnya, tanpa mempedulikan panggilan kakaknya. Ara berjalan kebawah, dengan Zikri yang masih mengejarnya dari belakang. Sesampainya dibawah Ara bertemu dengan maminya tidak sengaja berpapasan di bawah tangga, tetapi Ara hanya melirik maminya sekilas tanpa menyapa, kemudian ia pun pergi keluar meninggalkan rumah dengan melajukan mobilnya.
Ara melajukan mobilnya sangat kencang hingga ia benar-benar jauh dari rumahnya. Setelah ia rasa sudah jauh, Ara pun mulai menormalkan kecepatan mengemudinya.
Didalam mobil, Ara menangis karena tidak tahan dengan keadaan yang memaksanya untuk tegar, ditengah cobaan menimpanya. Ara meminggirkan mobilnya di tepi jalan raya, kemudian ia meraup wajahnya secara kasar.
"Hiks! Kenapa nggak ada yang ngertiin aku? Semuanya egois, hiks!"
"Arrghhtt..!!!" Pekik Ara sambil memukul stang mobil secara kasar.
Ara mengusap air mata yang sudah tidak bisa di bendung lagi, kemudian ia mengambil ponselnya yang berada di saku baju tidur sejak tadi. Jari jemari lentik nan cantik itu mulai memencet tombol hijau, untuk menghubungi seseorang.
"Hallo, aku butuh kamu sekarang. Kamu bisa temui aku di tempat biasa?"
(..)
"Aku tunggu disana."
Klip..
Panggilan Berakhir, Ara pun mulai melajukan mobilnya lagi, menuju tempatnya janjian dengan seseorang yang berada pada panggilan telfon tersebut.
Bersambung....