07
Padahal baru kemarin malam aku nonton konser Tulus bareng Angga. Siang ini, saat di kantor aku malah dapat benda keramat ini?
Serius deh. Marah banget pasti ini dia gara-gara aku gigit Sabtu kemarin.
“SP satu, Pak?” Tanyaku ke Pak Sello.
Matanya menatapku tajam. “Iya. Gara-gara kamu saya jadi harus nyuruh Brili buat bantu mandiin Dovan. Gara-gara kamu juga saya juga jadi kesusahan buat masakin makanan buat Dovan. Saya mau sikat gigi sendiri aja jadi kesusahan.”
Kenapa gak sekalian dipecat aja sih, Pak?
“Salah Bapak juga, kan nantangin.” Ucapku pelan.
Matanya makin menajam, tangannya tampak meremat bolpoin yang tengah ia genggam.
“Saya juga gak nyangka kalau kamu senekat itu.”
Ya maaf, saya sih bukan ordinary people yang sekali ditantang terus mundur atau diam. Nehi kalau kata Mak Eros, Pak.
“Kira-kira butuh surat peringatan berapa lagi, Pak sampai Bapak mau mecat saya?”
Oke, pertanyaannya nekat. Terbukti karena matanya Pak Sello langsung mendelik murka.
“Kamu mau saya pecat?!”
Aku mengejap. Aslinya sih mau aja, Pak. Cuma ini tabungan saya masih belum cukup buat nikah sama mantan—atau kalau Pak Brili mau juga boleh—atau beli rumah sendiri. Jadi yaaaa...
Aku hanya mengulas senyum tipis, mengangguk kecil dan permisi keluar dari ruangan Pak Sello.
“Eh, Sil.”
Padahal sudah tinggal narik si pintu, tapi terpaksa balik badan lagi. “Iya, Pak?”
“Jam satu nanti kita ke tukang, nanti habis makan siang langsung balik ke kantor.”
Aku tersenyum lagi, mengangguk dan keluar.
“BAH!”
Aku mendelik kaget, baru juga menutup pintu ruangan Pak Sello, tapi sudah dikasih sport jantung begini sama si kerdil.
Siapa hayo?
Iya, anaknya Ansello.
“Kamu ngapain sih?” Kataku, agak ketus.
“Ngagetin Tante.” Jawab Dovan polos.
“Gak kaget.” Ketusku mendengus, kemudian melengos pergi meninggalkan Dovan dan duduk di mejaku.
Oke, dapat surat peringatan begini aku jadi bad mood. Benar-benar bad mood. Suasana hatiku turun sampai ke dasar inti bumi, jauh, dalam dan panas.
“Kamu kenapa, Sil?”
Aku melirik Devi sekilas, kemudian kembali melihat ke layar komputer. “Gak kenapa-kenapa.”
“Terus itu apa?” Dia menunjuk amplop yang baru aku letakkan di atas meja.
“Gajian.”
“Eh? Kan masih pertengahan bulan. Kok udah gajian? Wah, gak adil nih!”
Bodo amat, Dev.
Datanglah Dovan, aku melirik anak kecil itu sekilas, kemudian mulai mengutak-atik file-file kantor di komputerku.
“Tante kenapa? Kok mukanya kusut?”
Aku menghela napas. Di sini yang ngasih SP Bapaknya, Sil, anaknya gak usah ikut diemosiin. Nanti malah beneran dipecat. “Gak opo-opo.”
“Tante diapain sama Papa? Kasih tau Dopan, nanti biar Dopan pukul.”
Aku melirik Dovan. Ini anak kenapa jadi kontra sama bapaknya sih? Kesambet apaan?
“Gak diapa-apain, Dov. Main sana.” Balasku lagi, secara tak langsung mengusir halus bocah yang harusnya sudah TK ini.
“Oh iya, Sil,” Aku menengok ke Devi. “kamu tau gak itu tangannya Pak Sello kenapa bisa diperban gitu?”
“Tak cokot.” (Aku gigit.)
Mulut Devi menganga. “Sing tenan dirimu!” (Yang bener dong kamu!)
“Guyon.” Balasku melengos. (Bercanda.)
Lalu aku mendengar suara roda mendekat, dan Devi sudah berada di sebelahku dengan kursinya yang mepet banget dengan kursiku.
“Kalian habis ngapain sampai kamu bisa gigit tangannya Pak Sello?” Tanyanya berbisik.
“Gak ngapa-ngapain. Aku kan wis bilang bercanda.”
“Tapi kok aku gak percaya ya?”
“Ya itu sih masalahmu.” Aku niatnya mau menyandarkan diri, tapi belakang kepalaku malah berbenturan dengan dahi Devi sampai terdengar suara tengkorak beradu yang lumayan keras.
“Asem, loro, Sil!” (Asem, sakit, Sil!)
“Siraku yo loro!” (Kepalaku juga sakit!)
“Kalian berdua ngapain? Bukannya kerja malah ngegosip.”
Mataku melirik ke arah pintu ruangan Pak Sello, Devi langsung mendorong kursinya kembali ke belakang mejanya. Di sana Pak Sello berdiri, dengan ekspresi dinginnya menatap kami.
Hariku kok rasanya makin kelabu ya? Rasanya sedih, pengin nangis, tapi males. Mau marah, tapi masih di kantor. Mau makan, tapi belum waktunya makan siang.
“Sil, ikut saya.”
Apa lagi ini Ya Allah? Ini aku belum ada sepuluh menit keluar dari sarang dia loh, sekarang dipanggil lagi?
“Dovan di kantor main sama Tante Devi ya?” Katanya ke Dovan dan anak itu mengangguk menurut.
Kemudian matanya pindah ke aku lagi. “Kenapa masih duduk? Ayo ikut saya.” Ketusnya kemudian berjalan pergi terlebih dahulu.
Entah sudah berapa kali aku menghela napas, yang jelas batinku rasanya lelah banget.
— akal bulus —
“Kitaaa... Ngapain ke sini, Pak?” Tanyaku saat pria ini membuatku mengikutinya masuk ke dalam areal pemakaman umum.
“Saya mau kenalin kamu sama seseorang.” Jawabnya, itu di tangannya sekarang sudah ada sebuket bunga mawar tiga warna yang lumayan besar.
Mau kenalin sama siapa? Penjaga kuburan? Apa tukang gali kuburan? Yang bener aja dong ini or—
“Itu, di sana.” Pak Sello menunjuk satu arah dengan menggunakan buket di tangan kanannya. Aku gak tahu dia menunjuk ke apa, yang pasti aku gak melihat ada siapapun di sini kecuali para batu nisan dan pohon kamboja.
Ikutin aja, Sil. Gak usah nyeletuk yang aneh-aneh, entar dipecat lagi. Atau enggak ya malah dikubur hidup-hidup di sini. Nauzubillah.
Dia berhenti di depan satu makam, aku juga ikut berhenti. Pak Sello tersenyum...
Bentar, ini orang ngapain senyum-senyum ke nisan?
“May, maaf aku baru bisa dateng.”
May??
Aku melirik nisan yang tengah Pak Sello pandang.
Maya Ayudia Salim...
Maya...
Kaya familier...
“Dulu sih ya pas awal-awal nikah tuh Bu Maya sering banget pas makan siang ke kantor bawain makan siang buat Pak Sello, tapi cuma beberapa bulan aja sih, habis itu dia gak pernah main lagi tuh ke kantor.” —Devi
Istrinya Pak Sello??
Pak Sello berjongkok di samping makam tersebut, dia taruh buket bunga yang dia bawa di atas tanah yang sudah ditumbuhi rerumputan pendek tersebut.
Pak Sello menengok, mendongak, menatapku, dingin. “Jongkok.” Katanya.
Aku melemparkan tatapan tak sudi. “Rok saya cuma sebawah lutut, Pak.”
“Ya udah, berdiri aja kalau gitu.” Dinginnya kembali memandang si nisan.
Sabar, Sil, jangan misuh, inget, kamu lagi di kuburan.
“May, ini nih orang yang sering diomongin Dovan ke kamu kalau ke sini. Orangnya aslinya nyebelin sih, gak tau malu, gak punya sopan santun..”
Woy, WOY WOY! ITU MAKSUDNYA APAAN HEH GIBAHIN ORANG DI BELAKANGNYA GINI HAH?!
“Pekan lalu aku udah ngajak dia, biar dia nemenin Dovan, tapi orangnya malah pergi nonton konser sama mantannya. Ya jadi liburannya diundur deh.”
Aku biasanya kalau begini suka sedih, ikut berduka, berkabung, tapi rasanya sekarang perasaan semacam itu entah hilang jatuh di mana. Rasa simpatiku ke Pak Sello lenyap setelah dengar omongan dia barusan.
“Menurut kamu aku harus ngajak dia gak sih? Capek juga aku bujukin dia. Nih,” Dia mengangkat sebelah tangannya yang diperban. “lihat deh, gara-gara dia nih tangan aku jadi begini. Aku ke kantor tadi aja sampai harus dianterin sama Brili.”
Dasar cepu.
“Hhh...”
Ngehela napasnya gak usah berlebihan gitu juga kali. Mentang-mentang hidungnya bangir terus lubang hidungnga gede main seenaknya aja hela napas, buang karbondioksida seenak jidat.
“Lelah aku, Dek..”
Saya lebih lelah menghadapi sampiyan, Pak! (Sampiyan : kamu)
— Akal Bulus —
“Sil, kamu pakai parfum bunga ya?”
Dahiku berkerut, mataku melirik. Orang ini kenapa lagi sih? Baru juga selesai ziarah, ini aja masih perjalanan ke gapura makam.
“Saya gak pernah pakai parfum, Pak.”
“Ah, masa? Tapi kamu harum bunga loh.” Dia ngomong, tapi sambil terus lihat ke depan.
Gara-gara omongan dia, aku jadi mengendus-endus aroma tubuhku sendiri. Aku perasaan gak pernah pakai parfum, paling banter ya ini pakaianku pas dicuci aku kasih Downy.
“Enggak, Pak. Hidung Bapak rusak kali.” Celetukku.
Dia berhenti, aku juga jadi ikut berhenti.
Duh, kebiasaan ya, Sil. Mulut gak bisa dikontrol padahal sejam yang lalu baru dapat SP. Gemblong ya kamu. Hmmm...
Dia menyerongkan badan, menatapku lurus dalam diam.
Oke, aku deg-degan, takut dipecat di pemakaman. Elit banget gak tuh?
Mata Pak Sello memincing, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana bahan hitamnya. “Tapi kamu beneran harum bunga loh.”
Yah, sampah. Kok masih bahas yang itu sih?!Kirain mau marah.
“Bunga apaan sih, Pak? Saya tuh gak pakai parfum.”
“Harum bunga kamboja.”
You know what guys?
BODO AMAT YA ANSELLO. DOSA APA SIH AKU SAMPAI HARUS KERJA SAMA MANUSIA KAYA GINI?!
MAU MUKUL TAPI UDAH DIKASIH SP SATU.
MAU JAMBAK TAPI UDAH DIKASIH SP SATU.
MAU GIGIT TAPI UDAH PERNAH.
MAU MISUH TAPI LAGI ADA DI KUBURAN.
Hhhhhh...
Tarik napas....
Buang....
Mari ulaskan senyum, lalu melengos dan jalan duluan keluar makam. Tinggalin aja, Sil, tinggalin aja. Manusia kaya dia gak pantes buat ditungguin.
“Heh! Kok saya ditinggal?!”
— akal bulus —
Dan lima belas menit setelahnya, aku dan Pak Sello masih ada di pemakaman.
“Ini taksol pesenan kamu mana sih? Kaki saya udah kesemutan nih jongkok dari tadi.” Keluh Pak Sello yang sedari tadi berjongkok di depan bangku kayu panjang yang sekarang tengah aku duduki.
“Yang nyuruh Bapak jongkok di situ juga siapa? Ini ada kursi panjang bersih kan bisa didudukin.” Balasku, sekilas mengalihkan perhatianku dari ponsel.
Masih dengan posisi berjongkok dia menengok ke belakang, menatapku. “Kamu ngarep duduk jejer sama saya ya?” Tanyanya dengan muka serius.
Bodo amat, Pak. Kalau emang gak mau duduk ya ya udah. Saya gak rugi ini.
Aku kembali melihat ponselku, melacak di mana keberadaan taksol ketiga yang aku pesan.
Iya, taksol ketiga yang aku pesan dalam lima belas menit ini. Soalnya dari tadi baru dapat langsung di-cancel sama driver-nya. Apa-apaan coba itu?! Ini pada niat kerja gak sih?!
Mataku mendelik, karena tiba-tiba driver ketiga ini juga membatalkan pesananku.
WOY ELAH! AKU MAU BALIK KE KANTOR INI!
Kesal, aku langsung telepon driver ketiga ini.
“Hal—”
“Halo, Mas, jarak Mas udah hampir deket loh ke tempat saya, kok main cancel sih?! Niat kerja apa enggak sih? Saya naik taksol turunnya juga pasti bayar kok. Kooperatif sedikitlah, Mas!”
“Eh, Mbak, duh, bukan gitu, ini.. Soalnya lokasinya Mbak... Ada di pemakaman umum... Takut saya, Mbak..”
“Heh, Mas, ke pemakaman aja kenapa harus takut sih? Rumah masa depan Mas juga ini! Bur—”
Tuuuttt... Tuuuttt... Tuuuttt...
Aku menjauhkan ponselku dari telinga, menatap penuh amarah layar ponselku. “Bajing loncat?” Gemasku.
“Kamu nelpon siapa?”
Aku melirik Pak Sello. “Nelpon driver taksol, dari tadi udah pesen tapi kena cancel terus.”
Pak Sello langsung meloncat berdiri. “Jadi kamu belum dapet taksinya??”
“Ya belum lah, Pak. Kan aku udah bilang tadi kena cancel terus.”
“Kok gak bilang dari tadi? Tau gitu saya suruh Brili jemput ke sini aja.”
Aku mengejap.
Wih...
Pak Brili?
Hehe, kok seneng ya?
Pak Sello mendecak, kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku dalam jasnya.
Gantian aku yang memasukkan ponselku ke dalam tas, menahan senyum. Hehe, Pak Brili dong ih hehe.
“Kamu udah makan?”
“Heh.”
“Ditanya diem aja. Kamu udah makan apa belum?”
“Sil! Saya ngomong sama kamu!”
Aku menggelengkan kepala, menengok pada Pak Sello. “Iya, Pak, kenapa?”
“Kamu saya tanya udah makan apa belom kenapa diem aja?!”
“Yah, saya kirain Bapak lagi ngobrol sama Pak Brili.”
“Nyambung juga bel— eh, Bril.” Pak Sello langsung putar haluan memunggungiku. “Kamu di mana?”
Boleh nguping, gak?
“...”
“Ini, Mas lagi ada di pemakaman Mbak Maya. Kamu ke sini ya, jemput Mas.”
“...”
“Kamu lagi sama Lusi?”
Lusi? Lusi siapa??
“Ditinggal sebentar apa gak bisa? Ini dari tadi si Silvi mesen taksol gak dapet-dapet.”
“...”
“Lagian yang nyuruh kamu pacaran sama Lusi juga siapa?”
Bentar-bentar... Ingus aku kok rasanya mau netes ya? Pak Brili udah punya pacar?? Kok hatiku perih ya? Kemarin Jinan, sekarang Pak Brili... Harapanku kenapa bisa putus begitu aja sih?
Sekarang aku beneran mau nangis aja. Ayah, anakmu hari ini patah hati untuk yang kedua kalinya, Yah!
Aku bangkit dari dudukku, dengan perasaan jengkel aku berjalan pergi dari sini. Daripada nungguin Pak Sello selesai ngobrol sama Pak Brili yang udah punya pacar itu, mending aku balik ke kantor sendiri, aku yakin di dekat sini pasti ada tukang becak motor. Kalau enggak ya aku bisa naik WK (angkot), tapi kalau suasana hati lagi gegana begini sih lebih enak naik bentor.
Tapi sekarang cuacanya panas begini, bukannya tenang malah yang ada aku jadi kesel gara-gara kejemur di teriknya sinar matahari. Udah gak bisa dapetin Pak Brili, terus dapat bonus tanning gratis pula.
Gak ah, mending aku naik WK aja.
GRAB— SRAK—
Hampir aja aku oleng dan jatuh ke belakang gara-gara ada yang sembarangan narik tas yang sekarang tengah bertengger di pundak kananku.
Aku putar balik, mau ngamuk dan nampar siapapun yang dengan lancang narik tasku.
Tapi gak jadi. Yang narik barusan Pak Sello soalnya.
“Kamu mau kemana?” Tanyanya agak membentak.
“Balik kantor lah, Pak.”
“Brili udah perjalanan ke sini, kita tunggu dia.”
Duh, Pak, males. Aku mending balik kantor jalan kaki aja sih, Pak ketimbang ketemu sama pacar orang. Lelah hati Aisyah dipatahkan terus begini.
Tapi pada akhirnya ya aku nurut aja. Sambil nunggu aku menyandarkan diri ke pohon mangga terdekat. Mau sandaran ke Pak Sello nanti malah didorong ke jalan terus kesenggol becak kan gak lucu.
“Kamu ngapain sih nempel-nempel di situ? Digigit semut nanti.”
Udahlah, Pak, apa perduli Bapak sih saya digigit sama semut? Mau saya digigit sama semut atau sakitnya kenyataan juga gak bakalan bikin Bapak rugi.
“Heh, dikasih tau juga bukannya jawab.”
Aku menghela napas. “Di sini adem, Pak.” Jawabku asal.
“Ademan juga nyender ke saya.” Pelan, tapi telingaku masih bisa nangkap omongan Pak Sello.
“Emangnya Bapak kulkas, adem.” Celetukku.
“Kalau saya kulkas, berarti saya hot dong?”
“Ha? Gimana, Pak?”
“Iya, panas di luar, dingin di dalam, hahaha!”
NGOMONG OPO SEH KASMINTO?!