Bagian 9
"Dia tidak tinggal di sini sejak lama," gumam pria paruh baya yang umurnya 45 tahunan. "Dulu, dia seorang peternak sapi yang memiliki sebuah keluarga, tapi sejak kecelakaan yang menimpa keluarganya. Dia pindah."
Veila menatap Corrie yang tampak serius mendengarkan cerita pria paruh baya tersebut. Hatinya mengatakan bahwa ini tidaklah benar.
"Kecelakaan apa kalau boleh kami tahu?" tanya Corrie sambil menyesap minuman yang disediakan.
Pria bernama Michael itu mendesah pelan, "Saat sedang melakukan perjalanan, tiba-tiba saja mobil mereka oleng dan menabrak pohon. Lalu, istri dan anaknya mati, hanya dia yang tersisa." Michael bergerak mengambil sesuatu dari balik laci meja yang ada di ruang tamu rumahnya. "Ini adalah foto lengkap keluarga mereka."
Veila meraih lebih dulu foto tersebut dan melihat beberapa sosok yang ada di dalam sana. Seketika, kepalanya terasa sakit. Seakan orang-orang yang ada di dalam foto itu tertawa dalam pikirannya, memanggilnya serta mengajaknya bermain.
"Nona, apa Anda baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Corrie," balas Veila sambil memegangi kepalanya yang berdenyut. "Boleh saya membawa foto ini?" tanyanya pada sang pemilik rumah.
Michael itu mengangguk. "Silakan. Rumahnya juga tak jauh dari sini yang berpagar sebelah kanan jalan."
"Terima kasih banyak, Pak," Corrie dan Veila meminta izin untuk pergi dari sana.
Keduanya kembali berjalan ke dalam mobil. Corrie menarik napas dan berujar, "Nona, saya curiga kalau yang Anda lihat itu adalah pengecohan."
"Apa maksudmu, Corrie?" tanya Veila tidak mengerti.
Corrie melihat jalanan. "Saya curiga kalau pria itu sudah mengikuti Anda sejak lama, Nona. Dan kebetulan Anda ke Central lalu mengambil fotonya diam-diam walau kenyataannya dia tahu kalau Anda sedang membuntutinya."
Veila terdiam lama sebelum mereka sampai di sebuah rumah yang terlihat berdebu dan lama tidak ditinggali.
"Lihat, Nona... Seperti yang saya duga kalau sebenarnya pria itu tahu bahwa Anda akan mencari tahu tentangnya dengan datang kemari sementara dia tidak tinggal disini dalam waktu yang lama." Corrie menarik pistol dari balik jaketnya untuk bersikap siaga. Memberikan pisau lipat yang ada di sakunya pada Veila. "Ambil ini, sebaiknya kita berjaga-jaga."
Jantung Veila berdetak keras sebelum mereka masuk ke dalam rumah tak berpenghuni tersebut. Debu yang mengendap membuat keduanya terbatuk-batuk ketika membuka pintu. Seluruh perlengkapan rumah itu masih lengkap dan terlihat tua. Keduanya menelusuri dengan hati-hati.
Mata Veila seketika menyipit saat melihat sebuah foto yang lumayan besar ditutupi oleh kain putih. Ia menutup mulut dan hidungnya sebelum melepaskan kain putih tersebut. Matanya melebar terkejut melihat foto keluarga yang memang tidak asing lagi di pikirannya.
Inikah ibunya?
Ia menarik turun foto itu lalu melihat sebuah kunci yang bersembunyi dibaliknya. Mengambil kunci tersebut, Veila mencoba menimang dan memikirkan kunci apa yang ada di tangannya ini?
"Corrie!" panggil Veila namun tak ada jawaban. Veila mengambil kunci dan mengantonginya. Ia kembali meletakkan foto tersebut pada tempatnya sebelum mengikuti Corrie yang lebih dulu ke lantai atas.
Bunyi deritan kayu tua ketika Veila melangkah seakan menambah kengerian rumah tak berpenghuni tersebut. Ia terus naik ke atas hingga menemukan sebuah ruangan kecil yang tampak digunakan untuk bekerja, terdapat juga tungku api disana dan Corrie berjongkok tak jauh darinya.
"Nona, kemarilah," pinta Corrie membuat Veila mendekat. Dilihatnya Corrie sedang meraba sisa pembakaran kayu yang sudah menjadi arang. "Lihat, ini tampak seperti baru digunakan." Mata Corrie melirik sekitar dengan waspada. "Saya yakin memang ada yang menginap di sini semalam. Dan orang itu tahu bahwa Anda mengejarnya sampai kemari."
Veila meraih sesuatu di kantongnya dan bergumam, "Aku menemukan ini, Corrie. Kunci ini kutemukan dari balik bingkai foto."
Foto yang ia yakini adalah keluarganya sendiri...
Hanya saja di dalam foto itu ada seorang anak laki-laki berada dalam gendongan seorang pria tua, Sementara wanita yang diyakini ibunya, berdiri sambil memeluk lengan sang suami yang kemungkinan besar adalah ayahnya.
Jika memang itu benar... Berarti foto buram yang ada di ponselnya adalah sang ayah? Benarkah itu?
"Kunci?" Corrie meraih kunci itu dan melihatnya dengan seksama. "Ini tampak seperti kunci sebuah box, Nona."
Keduanya berdiri dan beranjak mengelilingi ruangan kecil tersebut. "Kita harus mencari kotak itu, Nona. Mungkin disanalah semua rahasia masa kecil Anda."
Veila mengangguk dan menuruti ucapan Corrie. Keduanya mulai mencari kotak yang entah berada dimana dan berharap semua selesai sebelum senja datang.
•••
Bugh!
Suara tendangan itu membuat Keyond yang duduk santai memperhatikan tampak tidak tertarik. Ia bangkit lalu melewati anak buahnya dan melihat seberapa mengenaskan pria ini di tangan bodyguard-nya.
Seketika, ia berdecak. Menarik rambut pria yang seumuran dengannya dan melihat darah yang menetes dari bibir lelaki itu. "Apa kau tidak bisa melawan sama sekali, hm?" tanyanya sebelum menghempaskan kembali kepala laki-laki itu. "Bawa wanita itu masuk!" serunya lalu tak lama dua orang anak buahnya membawa seorang wanita cantik masuk untuk melihat sang kakak yang diperlakukan dengan buruk.
"Tidak... Tidak! Luke..." Gelengan wanita itu membuat Keyond menatapnya datar. "Bajingan! Apa yang kau lakukan pada kakakku, hah?" teriaknya sambil memukul dada bidang Keyond sebelum para bodyguard bertindak siaga mengamankan wanita itu.
"Per-gi," gumam laki-laki itu dengan pelan. "Claire... Pergi...," bisiknya saat tahu reputasi seorang Elgevint dalam memainkan wanita.
Keyond tersenyum sinis sebelum menendang dengan enteng wajah yang dipenuhi lebam tersebut, membuat wanita bernama Claire semakin histeris. Keyond mendekati Claire dan mencengkram rambut panjang wanita itu sambil berujar sarkas pada musuhnya itu, "Lihat dan perhatikan ini!" gumamnya sebelum melumat kasar bibir Claire yang membuat Luke hendak bangkit dan melawan, namun sia-sia.
Claire hendak melawan, namun kedua tangannya segera di tahan oleh para bodyguard membuat Keyond lebih leluasa dalam menciumnya. Tak segan, Claire menggigit kuat bibir Keyond hingga berdarah. Sehingga Keyond melepaskan ciuman mereka dan menampar wanita itu dengan kuat. Membuat sudut bibirnya terkoyak.
"Jan-gan sakiti adik-ku," bisik pria itu lemah, berusaha menggapai sang adik untuk menjauhinya dari Keyond.
Keyond tersenyum sinis, menatap bodyguard-nya dan bertanya pada wanita itu dengan ancaman yang tentu tak bisa ditolak. "Ingin menjadi pelacurku atau pelacur mereka?" tunjuknya pada sosok bodyguard yang bermuka garang dan berbadan besar. Membuat nyali Claire seketika menciut.
"Aku memilih mati!" serunya yang membuat Keyond terkekeh pelan.
"Kau tidak akan mati kecuali aku yang mencabut nyawamu, Sayang," gumamnya sambil mengusap darah dari bibir wanita itu. "Ada waktunya kau akan mati."
Luke menggeleng nyaris menangis. Ia tidak sanggup melihat adiknya menjadi pelacur sang psikopat mengerikan itu. "Tidak, jangan!"
"Lepaskan kakakku!" Claire mencoba bernegosiasi. Asalkan kakaknya bisa bebas. "Bukankah aku yang kau inginkan? Maka lepaskan kakakku!"
"Aku suka kepercayaan dirimu!" Keyond berbisik pelan. "Tapi, jangan menilai dirimu terlalu tinggi, Claire." Keyond menatap anak buahnya sebelum matanya melihat Luke yang mengenaskan. "Aku akan melepaskan kakakmu. Tapi, ingat Claire, sekali kau melenceng maka nyawa kakakmu akan habis ditanganmu sendiri," ancamnya tidak main-main.
Claire segera melepaskan ikatan tangan sang kakak. Saat ini yang ia pedulikan adalah keselamatan sang kakak. Ia tidak peduli apapun yang terjadi kedepannya asalkan kakaknya bisa selamat.
"Maafkan aku, Claire... Maafkan aku...," bisik Luke pelan penuh dengan rasa bersalah.