Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Aku melirik jam di pergelangan tangannya. Jarumnya sudah menunjuk pukul 6 sore, lebih dari 2 jam dari waktu pulang kantor. Ekor mata menangkap bayangan Zach Abraham yang masih betah memelototi laptop di ruang bertuliskan Dirut: Annisa Handoko.

Aku jadi gamang, antara meninggalkan si Zach dan berangkat sendiri ke rumah sakit atau masuk ke dalam dan mengajaknya bangkit dari kursi kebesaran itu. Pasalnya si Zach tak keluar dari ruangannya sama sekali. Pria itu pasti sama lelahnya dengan diriku. Tapi kalau disamperi entar mukanya yang arogan bikin hati jengkel lagi.

Aku mengetuk pintu sebentar, tanpa menunggu jawaban akupun masuk untuk menghampiri Zach. Aku mengalah pada ego, biar bagaimanapun si Zach adalah bossku sekarang.

"Mari Mas, kita ke rumah sakit, atau Mas Zach masih mau disini dulu?" tanya ku sopan, melupakan fakta bahwa tadi siang dirinya bersikap cuek kepada pria gagah itu.

"Oke" Zach tak merasa perlu mengangkat wajahnya untuk menatap ku. Gaya songongnya nampak dari bahasa tubuhnya.

"Kita langsung kerumah sakit" Zach berdiri lalu meraih ponselnya hendak menghubungi seseorang sepertinya. Langkah kakinya ia bawa keluar dari ruangan ini. Otomatis Bella mengikuti dari belakang.

"Hallo Ma, mau dibawakan apa?!"

Perhatian sekali ternyata si Zach.

"..."

" Ini aku mau keluar dari kantor."

"...."

"Ya" Zach melirikku.

Aku pura-pura tak paham. Padahal tentu saja wanita tua yang nggak mau disebut tua itu sedang memerintahku, lewat putranya agar aku segera ke rumah sakit. Aku meraih tas dari atas meja saat kami melaluinya. Zach masih berada dalam saluran telponnya. Langkah kakinya yang panjang membuatku sedikit tertinggal dibelakang.

"Mama minta pulang." Keluh si Zachy, aku sudah menjajari langkahnya kembali. Aku benar-benar tidak kaget sama sekali. Seorang Annisa Handoko yang biasanya menghabiskan sebagian besar hidupnya demi pekerjaan, sekarang harus terbaring saja di ranjang rawat inap. Aku memutar bola mata jengah memikirkannya, tentu Bu bos tidak akan betah. aku yakin, dirinya pasti akan memintaku mengurus kepulangannya. Kami terus berjalan menuju lift yang akan membawa ke lantai dasar.

"Mas." panggilku ragu, kami sudah berada di lift, berdua saja. Semua pegawai sudah nampak pulang ke rumah masing-masing.

Aku menimbang apakah yang akan aku sampaikan ini tidak melebihi kapasitasku sebagai pegawai.

"Hm?" dia berdehem singkat. Menaikkan sebelah alisnya dan menatap kearahku. Jadi sungkan kan akhirnya, ku sampaikan apa nggak uneg-uneg hatiku.

Aku salah tingkah, saat bibir ini justru bungkam sementara Zach menunggu aku melanjutkan.

"Bella." panggilnya terdengar merdu, seperti memperingatkan kenapa aku malah diam. Aku menatap ragu dan merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan elangnya.

"Emm, Mas Zach mau berapa kali sebulan jengukin kantor ini. Aku nggak yakin bakalan bisa sendiri." akhirnya berani juga mulut ini melanjutkan. aku masih kepikiran keputusan pria ini saat ibunya memutuskan pensiun kemarin siang.

Zach Abraham justru mengeluarkan smirk andalanya. Tampang menyebalkan itu terbit di wajahnya. Dan aku sebagai pegawai yang tertindas hanya mampu terdiam, berbesar hati dengan semua perlakuan majikan, sial.

"Bukannya kamu karyawan terbaik mama" jawabnya, nadanya itu loh benar-benar bikin stok sabar menipis. Aku melengos meninggalkan langkah Zach yang terhenti karena keluhanku.

Zach terkekeh, "Ngambekan, kamu." katanya, tangan besarnya mengacak rambutku. Kalian tahu apa yang ku rasakan?! Tentu saja hatiku deg-degan. Doble shitt. Calm down Bella, dia ini setan tampan yang selalu marah-marah sama kamu. Ini pasti salah satu caranya buat mempermalukan kamu, suaraku dalam hati.

"Sekarang sudah canggih kan, bisa videocall, streaming, skype. nomor hapeku masih berada di speed dial no.1 kan?!" imbuhnya, masih dengan gaya yang congkak. Tuh kan, kok dia tau. Aku memberengut dan menatap kesal kearahnya.

Sebenarnya aku nggak niat nomor hapenya berada di speed dial pertama. tapi itu karena speed dial pertama kosong akibat penghuninya yang adalah nomer hape mantanku telah ku hapus. 2-9 sudah terisi dengan orang-orang sering aku hubungi lainnya.

"Sok tahu, siapa juga yang niat naruh nomer situ di speed dial pertama." aku berusaha membela diriku.

Dia tak menghiraukan sanggahanku, justru meraih kunci mobil yang bertengger manis di tanganku, lalu memencet tombol unlock dari sana. Zach bergerak membuka pintu penumpang, matanya yang setajam elang bergerak memerintah kepadaku agar aku masuk.

"Duh, manisnya si bapak. Anaknya siapa sich?" godaku berusaha tak terpancing hingga hatiku goyah dengan perlakuan sweetnya.

"Kapan aku kawin sama bapakmu?" Tuh kan jawabnya si bapak bikin aku mencebik.

"Mas Zach atau Zach saja." katanya memberi pilihan.

"Iya bapak" jawabku bandel, aku menahan senyumku. Tangan besar pria disampingku ini malah mengacak poniku kembali. Haduh hati, sabar ya....jangan sampai kamu tertipu perlakuan baik Zach. Bagaimanapun Zach adalah cowok yang suka tengil sama kamu Bella, racauku dalam hati.

"Makan dulu, sekalian bawain mama." Zach mulai mengarahkan mobilku ke jalanan yang ramai lalu lalang kendaraan. Aku tak merespon, perhatianku teralihkan pada ponselku yang berkedip.

"Bell, Pak Salman ngajakin kamu ketemu sekalian diner lagi. Ada apa? Bukannya kamu bilang masalah dengan Pak Salman sudah beres?! Saya nggak mau, sakit saya bikin kamu jadi banyak alasan ya Bell!"

Itu pesan WA yang dikirim bu boss. Aku menghela nafas, lelah sekali rasanya setelah berkutat dengan pekerjaan di tanggal tua, eh si boss justru menyangka pekerjaan kita nggak becus.

"Ibu, panjang ceritanya. Tapi jual beli resort itu sudah beres. Tadi pagi-pagi sekali saya sudah bertemu dengan utusan pak Salman." balasku kemudian. beberapa detik ku tunggu, tidak ada balasan. Ku masukkan kembali hapeku ke dalam tas.

Zach memakirkan mobil di depan restoran italy. Dasar bule, coba aku yang bawa mobil tadi, bakalan makan lalapan kan. Padahal udah ngebayangin sejak sore tadi makan lalapan pedas level 10.

"Selamat malam mas, mbak...." sapa seorang pelayan di pintu masuk. Dan jangan lupakan tatapan memuja para wanita di restoran ini saat menatap cakepnya pria setengah bule anak bossku ini.

Zach yang dingin tak terganggu sama sekali. Atau sudah biasa kali dia jadi pusat perhatian. Dia menunggu langkah kecilku dan membimbingku menuju kursi ditengah restoran tang kosong. Lalu dengan sigap menarikkan kursi untukku, aduh so sweet banget sih nih orang. Jangan-jangan dia selalu manis begini kepada setiap perempuan.

"Mau apa?!" iritnya suara bass si Zach.

"Aku ngikut kamu dech mas" seperti biasa Zach hanya berekspresi datar. aku mengalihkan kondisi hatiku yang mulai memberontak karena debaran tak tentu akibat perlakuan Zach. Ponsel adalah senjata yang pas.

Kebetulan sekali, hapeku tiba-tiba menyala.

Pak Salman Calling.....

"Selamat malam bapak..., ada yang bisa saya bantu?" tanyaku ramah. Ngapain lagi bandot tua ini.

"Malam dear." terdengar orang tua itu berdehem sebentar.

"Saya minta maaf soal kemarin dek Bella, saya bakal ganti dinner kita dengan dinner romantis." Tua bangka itu berucap sungguh manis. Lupa kali ya sama ancaman istrinya kemarin. Dasar ini orang.

"Mohon maaf ya pak, saya sedang sibuk. Selamat malam." Ku tekan tombol merah dengan kesal. Membayangkan aku tengah menutup mulut si Salman dengan kepalan kertas, sangking gemesnya aku.

"Dek Bella cocok pakai warna merah." lanjutnya. apa? Kan telponnya sudah ku tutup. Sontak aku menoleh mencari-cari itu tua bangka mesum.

Pria tua itu mengangguk kecil saat aku menemukan wajahnya diantara para pria berdasi di sudut restoran. Berjarak 3 meja dari tempat kami. Aku membalas anggukannya dengan anggukan yang sama disertai senyum sopan. Itu tak luput dari perhatian Zach Abraham yang bermata elang.

"Itu seleramu?" Zach mulai sinis lagi dech. senyumnya kentara melecehkan, matanya menyipit ke arahku lalu ke arah si Salman.

"Gak level!" suaraku meninggi dan memelan dengan sendirinya saat seorang waitres mengantarkan minuman kami.

"Cemburu, mas?" Jelaslah aku sedang menggoda pria bule ini.

Aku tersenyum manis, tapi mataku menyipit kearahnya.

Si Zach justru balik menyipitkan matanya mendengar aku yang menyebutnya cemburu. Senyum smirknya mulai menghiasi wajah rupawannya.

"Ga usah cemburu, Itu klien kita." jawabku sarkas saat pelayan telah berlalu dari meja kami.

Drrrt..... Ponselku kembali berkelap-kelip. Angel berada diujung sambungan. Dia mengadukan beberapa hal mengenai kelancaran jadwal bu Annisa yang seharusnya normal itu kalau beliau tidak sakit.

Pelayan datang membawa makanan kami. Stick yang dihidangkan membuat perutku berdemo.

Aku berusaha memotong stick itu dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegangi ponsel untuk terus berbicara dengan Angel. Tapi Zach meraih piringku dan memotongnya kecil-kecil, memudahkan aku menyantapnya.

Aku tertegun, suara Angel tiba-tiba terdengar memelan dan hilang.  Yang ada hanya Zach yang tengah bersikap hangat padaku.

Apa aku kena serangan jantung ya sekarang, kok jantungku berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang? Eh aku nyanyi....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel