Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9

“Apa sudah ditentukan tanggal berapa kalian menikah?” tanya Viona pada Nafla saat mereka sedang bersantai di ruang keluarga. Asgaf sendiri memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum nantinya bergabung bersama kedua perempuan itu.

Nafla menggeleng. “Belum tahu, Ma. Keputusannya ada sama Pak Asgaf.”

“Kenapa masih manggil ‘Pak’? Ubah dong, Sayang. Panggil nama aja.”

“Nggak sopan, Ma. Usia kami terpaut jauh,” gumam Nafla tidak enak. Lagipula, tidak sepenuhnya dia setuju untuk menikah tanpa membutuhkan persetujuannya seperti ini.

Viona menepuk paha Nafla yang dilapisi celana jeans. “Kalau kamu ngerasa nggak sopan, ‘kan masih bisa manggil ‘Mas’, Na...”

Aduh, Ibu sama anak sama saja... Desah Nafla dalam hati.

Bahkan, permintaan Asgaf tadi saja dia abaikan, lalu bagaimana permintaan dari orang yang sudah melahirkan dosennya itu?

“Belum biasa, Ma. Lidah Nafla masih kaku.”

“Ya dibiasakan dong, Nak.” Viona berdecak pelan sebelum bertanya, “Na, Mama boleh minta sesuatu sama kamu?”

Dahi Nafla mengernyit seketika. “Minta apa, Ma?”

Viona menatap lurus pada sosok Nafla yang penasaran akan permintaannya. Ia menghela napas pelan dan bergumam, “Mama ingin menceritakan satu hal sebelum kamu menikah dengan Asgaf. Mama nggak ingin ada yang disembunyikan dari kalian berdua. Jadi, Mama minta kamu dengar cerita Mama sampai habis ya?”

Seketika, Nafla merasa ragu. “Memangnya cerita tentang apa, Ma?”

Menarik napas dalam-dalam, Viona tersenyum sendu. Senyum yang terlihat menahan rasa sakit yang amat sangat sebelum berujar hati-hati.

“Tentang mantan istrinya Asgaf, Na.”

●●●

Asgaf meraih kunci mobil dari saku celana tactical pendeknya. Ia baru saja selesai mandi dan berniat mengantar Nafla ke rumahnya mengingat dia membawa Nafla kemari tanpa pemberitahuan kepada calon mertuanya.

Kaki yang dilapisi sepatu sneakers kets warna hitam memperkeren penampilannya. Saat Asgaf menuruni anak tangga terakhir, suara buah hatinya langsung terdengar ceria.

“Papa...,” seru Caca sambil berlari dan memeluk sosok ayahnya.

“Sudah pulang? Gimana sekolah kamu hari ini?”

Caca mengangguk. “Nggak banyak tugas, Pa,” sahutnya sebelum meneliti pakaian ayahnya yang rapi. “Papa mau pergi? Kemana?”

Ia berjongkok lantas mengelus dahi putrinya. “Papa mau antar Kak Nafla.”

“Kak Nafla disini?” Caca bertanya antusias. “Caca ikut, Pa!”

Asgaf tersenyum tipis lalu mengangguk. “Ya sudah, ganti pakaianmu cepat. Papa tunggu di mobil.”

“Siap, Papa.” Caca segera mengecup pipi Ayahnya. “Caca nggak akan lama,” serunya sambil berlari ke arah kamarnya untuk mengganti baju.

Asgaf menggelengkan kepalanya pelan kala melihat betapa cerianya Caca. Ia bersyukur akan hal itu, namun, Asgaf masih akan terus memantau Caca untuk tidak lagi bertemu dengan mantan istrinya. Mengabaikan pemikirannya, pria itu kembali melangkahkan kakinya untuk mencari Nafla yang dipastikan berada di taman belakang bersama ibunya.

Ia tersenyum saat dugaannya benar bahwa Nafla disana bersama dengan ibunya tampak berbicara serius. Wajah gadis itu bahkan tidak bisa dikatakan santai, melainkan tegang. Dahi Asgaf mengerut seketika.

Apa yang sedang mereka bicarakan?

Melihat dari reaksi Nafla saat ini, pasti ibunya telah menceritakan sesuatu tentang masa lalunya. Memejamkan matanya erat, Asgaf melangkah lebar mendekati dua perempuan beda usia tersebut.

“Ma,” tegur Asgaf dengan nada bicaranya yang tidak ramah. “Apa yang Mama bicarakan sama Nafla?”

Nafla tersentak kaget saat merasakan cekalan di tangannya. Asgaf menariknya lalu membiarkannya berdiri di belakang lelaki itu seolah membentenginya dari hal yang tidak seharusnya Nafla ketahui.

“Mama ingin Nafla tahu semua masa lalu kamu, Gaf. Dia—”

“Mama tidak berhak menceritakan masa lalu aku sama Nafla!” tukasnya cepat. Menatap tajam sang ibu.

Mendengar nada putranya yang tinggi, Viona memilih berdiri dan menengadah saat melihat wajah Asgaf, “Tapi, dia calon istri kamu, Asgaf! Dia berhak tahu semuanya.”

“Tapi bukan Mama yang pantas menceritakannya! Aku, Ma. Aku yang pantas menceritakan semua masa lalu aku sama Nafla karena aku calon suaminya.”

Viona terdiam. Ia menunduk seketika. Merasa bersalah karena sudah membeberkan apa yang seharusnya tidak dibicarakan olehnya. Asgaf benar, seharusnya Viona mempercayakan putranya untuk menceritakan segala hal.

“Maafin Mama, Gaf,” gumam Viona merasa sedih.

Nafla yang melihat itu hendak melangkah dan memeluk Viona yang terlihat begitu rapuh, namun Asgaf lebih dulu melakukannya. Ia memeluk ibunya dan bergumam maaf berulang kali karena tanpa sengaja, ia sudah menyakiti hati sang ibu.

“Kak Nafla,” panggilan Caca membuyarkan semua kelakuan mereka. Gadis kecil itu mendekati Nafla dan bergumam, “Aku ikut Papa antar Kakak, ya? Aku mau tau rumah Kakak.”

Nafla mengangguk. “Iya, boleh kok.”

“Yeay...,” serunya girang kemudian menatap neneknya yang tampak menghapus air matanya. “Oma, Caca pergi antar Kak Nafla dulu ya? Oma nggak pa-pa Caca tinggal sendiri?”

Viona tersenyum lalu mendekati Caca setelah Asgaf melepaskan pelukannya. “Nggak pa-pa, Sayang. Hati-hati ya?”

“Siap, Oma!” Mata Caca kini menatap ayahnya sambil tersenyum lebar. “Ayo, Pa, kita pergi sekarang!”

Asgaf mengangguk dan menatap Nafla sejenak. “Ayo, Na. Kita bicarakan ini nanti saja.”

“Hm,” jawab Nafla singkat sebelum pamit pada Viona. “Ma, aku pulang dulu.”

“Hati-hati, Nak.”

Nafla mengangguk dan tersenyum simpul sebelum mengikuti langkah Asgaf dan juga Caca yang lebih dulu keluar.

●●●

“Ma, tolong ajak Caca ke belakang. Aku perlu bicara sama Nafla,” pinta Asgaf setelah melihat putrinya yang tampak riang saat melihat rumah Nafla karena ini pertama kalinya Caca menghampiri rumah dari mahasiswi ayahnya itu.

Sandra yang mengerti segera mengangguk, ia membawa Caca ke dapur dan membiarkan gadis kecil itu bereksperimen dengan bahan-bahan yang tersedia karena Sandra tahu bahwa Caca sangat suka memasak dari cerita putrinya.

Melihat calon mertuanya berhasil membawa putrinya, Asgaf duduk di sofa lalu menyuruh Nafla untuk duduk di depannya. Menilai wajah gadis itu yang datar tanpa ekspresi namun matanya tak bisa berbohong bahwa Nafla merasa tertekan.

“Apa yang dikatakan Mama, semuanya benar.” Asgaf tidak pandai berbasa-basi sehingga ia berbicara langsung pada intinya. “Dan saya rasa kamu sudah mengerti kenapa saya memilih cerai dengan istri saya.”

Nafla mengangguk pelan tanpa berkata apapun.

“Nafla,” panggil Asgaf dengan nada otoriter. “Apa kamu keberatan menikah dengan saya karena masa lalu saya?”

Mata Nafla melebar seketika mendengar pertanyaan bernada sarkas itu. Ia keberatan menikah bukan karena masa lalunya. Namun, lebih karena ia belum siap. “S-saya...”

“Saya berikan kamu satu kesempatan untuk menolak perjodohan ini.”

Jantung Nafla seketika berdegup kencang. Perasaannya justru tidak menentu. Jauh di dalam hatinya, ia tidak rela jika perjodohan ini dibatalkan. Lagipula, di dalam sana ada ibunya yang berharap penuh akan perjodohan ini. Tapi...

Apakah Nafla bisa melewati pernikahan ini disaat masa lalu pria itu masih berkeliaran diluar sana?

Bagaimana jika suatu saat wanita itu kembali dan meminta maaf? Apakah Asgaf akan menerimanya?

“Dan jika kamu tidak menggunakan kesempatan ini untuk lolos dari saya, maka tidak ada lagi kesempatan untukmu, Nafla,” lanjutnya kemudian sambil menatap Nafla serius. “Kamu akan menyerahkan semua hidupmu hanya untuk saya.”

Nafla semakin bingung. Ia bahkan tidak tahu harus menjawab bagaimana karena kini Nafla membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya. “Beri saya waktu, Pak,” gumamnya pelan.

“Lima menit.”

Dalam hati Nafla berdecak jengkel. Selalu seperti itu! Dasar laki-laki tidak sabaran.

Asgaf menyandarkan punggung kokohnya di sofa dengan mata tak putus menatap Nafla yang terlihat gelisah.

“Apa yang memberatkanmu, Nafla?” tanyanya saat tak kunjung gadis itu membuka suara.

Nafla menggigit bibir bawahnya dan bertanya ragu, “B-bagaimana jika masa lalu Bapak kembali? Saya tidak—”

“Kamu masih tidak percaya sama saya?” tanya Asgaf balik. “Masa lalu tetap masa lalu walau keadaan dimana Caca masih putri kandung Rena tidak bisa di ubah. Tapi, hati saya tidak lagi bisa menerima seorang pengkhianat.”

“Bagaimana jika dia meminta maaf dan kembali memohon untuk bersama?”

Bibir Asgaf tersungging tipis. “Apa kamu cemburu, Na?” tanyanya menggoda yang membuat wajah Nafla merona seketika. Menghela napas pelan, Asgaf kembali berujar, “Dia bahkan sudah memintanya setahun yang lalu dan saya terus mengabaikannya. Saya yakin dengan kepercayaan yang saya miliki, Nafla. Saya bersumpah setia pada satu orang wanita, dan wanita itu adalah wanita yang mampu menjaga hati serta matanya hanya untuk saya.”

Nafla menarik napas dalam-dalam. Merasa sedikit tenang walau tidak sepenuhnya ia merasa aman.

“Waktumu habis, Nafla. Silakan katakan keputusanmu!”

Nafla memejamkan matanya sejenak, sebelum kembali memperlihatkan mata beningnya dan menatap lurus sosok pria yang kini menunggu jawabannya. Mengucapkan basmallah sebelum menjawab, “InsyaAllah, saya siap.” Semoga saja keputusannya ini adalah keputusan yang benar.

Ya, semoga saja...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel