Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7

“Yang aku dengar sih begitu, tapi kurang tau juga kebenarannya,”gumam Gea sambil melirik ponselnya. “Lagian kenapa juga sampai sekarang Pak Asgaf nggak nikah kalau bukan gay.”

“Gibahin orang itu dosa. Apalagi gibahin Pak Asgaf.” Nafla memilih mengulum permen tanpa rasa bersalah dan duduk disebelah teman-temannya yang sibuk bergosip.

Raya menaikkan sebelah alisnya, “Biasa juga kamu yang paling semangat, Na. Udah taubat?”

Nafla mengangguk mantap. “Aku taubat karena takut sidangku nanti nggak lancar kayak Putri. Dia aja gagap ngejawab di depan Pak Asgaf gara-gara sering ngegosip.”

Mendengar namanya disebut, Putri dengan cepat menoyor kepala Nafla membuat Nafla meringis seketika. “Dasar kamu! Salahin juga Bapak itu kenapa mesti sangar?” sungutnya sebelum kembali bertanya. “Kamu konsul sama dia nggak kapok, Na?”

“Kenapa harus kapok?” tanya Nafla kembali. “Konsul sama Pak Asgaf itu kita dibikin sampai ngerti sama isi skripsi kita sendiri! Bimbingannya bagus kok. Kamu pikir deh, berapa banyak mahasiswa yang nggak lulus sidang di bawah bimbingan Pak Asgaf?” tanya Nafla sambil menatap satu persatu temannya. “Nggak ada ‘kan? Beliau malah ngebantu kita lagi pas sidang kalau misal kita nggak bisa jawab pertanyaan dari penguji lain.”

“Tapi, beliau justru menyusahkan mahasiswa yang dibimbing oleh dosen lain ketika jadi penguji,” ketus Putri yang trauma akan hasil sidangnya kemarin.

“Nah, itu dia. Intinya, beliau itu nggak mau sampai malu kalau bimbingannya sendiri nggak bisa ngejawab apapun pertanyaan yang diajukan. Soalnya, Pak Asgaf setiap jadi penguji bakal bener-bener di uji dan diserang hingga mahasiswa itu mengerti dengan skripsi yang mahasiswa itu tulis sendiri.” Nafla menjelaskan dengan mantap tentang pandangannya pada Pak Asgaf. Diluar konteks masalah pribadinya, ia akui memang selama ini Pak Asgaf membimbingnya tanpa kekurangan suatu apapun. Setiap babnya akan dijelaskan secara rinci dan sumber-sumber yang diperoleh harus diketahui asalnya. Referensi yang didapat juga harus dicantumkan sehingga mudah untuk mencari kembali jika menemukan titik ganjal.

“Kamu kesurupan setan apa Na kok bisa ngebela Pak Asgaf sejauh ini? Biasanya juga kamu bakalan jadi orang nomor satu yang ngejelekin dia?” tanya Gea seraya meraba dahi Nafla.

Nafla menepis tangan Gea pelan. “Itu dia masalahnya, kekurangannya cuma satu paling susah untuk ditemui! Disaat Pak Rizal udah ngasih lampu hijau untuk lanjut eh, dianya malah nunda. Alasan inilah itulah. Sampai aku lebih sering nemuin dia dirumah.”

“Kamu ke rumahnya?” Raya, Gea, dan Putri menatapnya tertarik.

Nafla kembali menghisap permen tangkainya dan mengangguk. “Bahkan, aku udah akrab sama Caca.”

“Caca?”

“Sorry... Maksud aku anaknya.”

Seketika Gea, Raya, dan juga Putri melirik satu sama lain sebelum ketiganya tersenyum seakan menggoda Nafla dengan siulan mereka.

“Anak, eh?” goda Putri sambil menyenggol lengan Nafla. “Gercep juga kamu, Na,” kekehnya pelan yang membuat Gea dan juga Raya turut tersenyum.

“Sial!”

“Tapi, serius lho, Na. Kayaknya Pak Asgaf tertarik sama kamu,” gumam Raya sambil menatap Nafla menyelidik sebelum tersenyum lebar. “Tapi, kayaknya kamu harus bersaing dengan Miss Diana. Denger-denger Miss Diana itu cinta sampai mati sama Pak Asgaf.”

“Apaan sih,” Nafla memilih berdiri. Tujuannya ke kampus adalah ingin konsul dengan Pak Rizal, namun ternyata Pak Rizal sedang berada diluar kota. “Udah ah, aku pulang.”

“Memang nggak jadi konsul?” tanya Gea sambil mengerling.

Membuang tangkai permennya, Nafla menjawab singkat. “Pak Rizal ke luar kota.”

“Kan masih ada Pak Asgaf... Haha—” Ketiganya tertawa lebar membuat Nafla mendengus kemudian pergi meninggalkan teman gilanya.

Berjalan menuju parkiran dan duduk disebuah tempat yang terlihat seperti taman, Nafla mengeluarkan ponselnya. Ia memilih menelepon Pak Sardi untuk meminta jemputan.

“Hall—”

Seketika ponselnya berpindah tangan membuat Nafla menoleh cepat untuk melihat siapa yang telah berani merebut ponselnya itu secara tiba-tiba.

“Kamu nggak konsul?” tanya si pemilik mata legam yang membuat Nafla seketika menelan salivanya.

Kenapa dia harus bertemu Pak Asgaf disini?

“P-Pak Rizal ke luar kota. Jadi, mungkin saya akan konsul lusa.”

Asgaf seketika duduk di sebelah Nafla membuat gadis itu menggeser tubuhnya lebih jauh.

“Mana skripsi kamu? Biar saya lihat.”

“Eh, tapi kan saya harus konsul dengan pembimbing dua dulu baru Bapak,” serunya menolak permintaan lelaki itu.

Alis Asgaf terangkat sebelah. “Tidak apa-apa. Berikan skripsimu biar saya periksa. Bukankah lebih cepat tamat lebih baik?” tanyanya sebelum mengambil paksa skripsi Nafla yang berada di kedua tangannya. “Dengan begitu lebih cepat pula kamu belajar untuk mengurus rumah tangga.”

Lagi-lagi ini menyangkut pernikahan mereka.

Nafla mendesah pelan, ia membiarkan Pak Asgaf memeriksa skripsinya dan membenarkan grammar yang ada. Lalu, mencoret di beberapa bagian sebelum menatap Nafla yang tampak diam.

“Kamu nggak suka saya bilang begitu?”

“Eh?” tanya Nafla grogi. “B-bukan begitu, Pak. Saya hanya berpikir kalau sebenarnya umur kita terpaut jauh. Apa Bapak yakin menikah dengan saya? Seharusnya Bapak mencari wanita seperti Miss Diana.” Karena wanita itu jauh lebih cocok untuk menjadi pendamping Pak Asgaf daripada dirinya. Miss Diana adalah perempuan dengan tubuh indah dan penampilan yang modis. Jangan lupakan wajah cantiknya yang terlihat begitu ayu.

Asgaf meletakkan pulpennya sambil menatap lekat sosok gadis yang kini menunduk. “Saya bahkan dijodohkan dengan yang lebih muda dari kamu, Nafla! Jadi, tidak ada alasan apalagi sampai membawa Diana ke dalam urusan kita. Saya sudah memilih kamu untuk menjadi istri saya! Paham?”

“Tapi, saya belum siap, Pak.”

“Menunggu kamu sampai siap tidak akan ada waktunya! Mau tidak mau atau siap tidak siap kamu tetap harus siap. Kamu akan belajar bagaimana cara mengurus rumah tangga. Mendidik anak-anakmu dengan benar dan—”

Nafla kembali merasa gugup saat tatapan Asgaf menajam. Lelaki itu mendekatkan wajahnya lantas berbisik pelan,

“Melayaniku dengan baik.” Asgaf kembali menjauhkan wajahnya. Ia memerika skripsi Nafla yang sempat terbengkalai. Membiarkan gadis itu berpikir matang.

Nafla memejamkan matanya. Ia benar-benar tidak sanggup jika harus menikah dengan lelaki yang cara berpikirnya saja sudah jauh berbeda dengan Nafla. “Saya bahkan tidak bisa masak dengan benar, Pak.”

“Apa kamu tidak malu berkata seperti itu?” sela Asgaf cepat membuat Nafla terdiam. “Kamu seorang perempuan. Belajar dari kedua Mama kita. Kamu pasti bisa jika memang benar-benar memiliki niat untuk bisa.”

Bolehkah Nafla berteriak? Dia benar-benar tidak tahu harus menjawab dengan alasan apalagi supaya Pak Asgaf membatalkan pernikahan mereka.

“Setelah menikah, saya serahkan urusan masak sama kamu. Saya akan menyewa pembantu untuk membersihkan rumah tapi, ingat Nafla! Saya tidak suka jika baju saya disentuh oleh orang lain selain istri saya sendiri. Usahakan kamu yang menggosok pakaian saya. Tapi, terserah untuk pakaian anak-anak kita. Kamu boleh membiarkan pembantu yang melakukannya.”

Bahkan sebelum nikah saja Nafla sudah mendapatkan tugas menggosok dan memasak.

Ia benci ini!

Kenapa dia tidak mendapatkan suami yang membiarkan pembantu melakukan semua pekerjaan rumah tangga mereka?

“Pak, kalau alasan Bapak menikahi saya karena untuk membuktikan bahwa Bapak tidak homo, saya percaya kok. Jadi, bisakah kita membatalkan pernikahan ini?” tanyanya ragu tanpa berani menatap lelaki tua yang terpaut dua belas tahun dengannya.

“Tidak bisa. Saya benci orang plin-plan, Nafla. Keputusan saya sudah bulat dan apapun yang terjadi kamu harus tetap menjadi istri saya.” Asgaf menutup skripsi Bab IV milik calon istrinya itu. “Ingat, saya orang yang konsisten pada satu keputusan.”

Ya, Nafla tahu itu. Bibirnya kembali mengerucut. Ia mengambil asal skripsi yang sudah diperiksa karena merasa kesal. Hidupnya kenapa sesial ini?

“Kamu bisa langsung mengurus berkas sidang. Setelah Pak Rizal balik dari luar kota, konsulkanBab IV sekalian dengan kesimpulannya. Lalu, berikan form sidang kamu untuk saya tanda tangani.”

Nafla hanya bisa mengangguk. Bahkan, sidangnya saja membuat dia tak lagi bersemangat. “Kalau begitu saya permisi, Pak.”

“Tidak. Kita pulang bersama,” tukasnya cepat sambil mengeluarkan kunci mobil dan berjalan ke arah mobilnya yang terparkir rapi. Membuat Nafla kembali memaki dalam hati.

Tampaknya ia akan terjebak selamanya dengan pria penuh aturan itu!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel