Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

“Maaf Nafla pulang telat, Ma,” gumam Nafla saat ia sampai di rumah setelah maghrib. Takut bahwa ibunya marah besar. “Tadi Nafla—”

Sandra menggeleng pelan, “Nggak pa-pa, Nak. Tadi dosenmu telfon Mama dan menjelaskan alasannya.”

“Dosen Nafla telfon?”

Sandra mengangguk sambil merapikan meja makan. “Memang nggak bilang sama kamu?”

Menggeleng pelan, Nafla menjawab ragu, “Nggak tuh, Ma,” lalu ia duduk di meja makan dan memberikan sebungkus mochi yang diberikan oleh puteri dosennya itu. “Ini dari Caca, Ma. Anak dosenku.”

“Wah, dia bikin sendiri?” tanya Sandra kagum melihat hasil mochi buatan Caca.

Nafla mengangguk antusias dan tersenyum, “Iya, Ma. Anaknya cantik, ramah, dan pintar. Bener-bener deh, Ma, didikan orang tuanya itu best banget. Kalau Nafla nikah nanti, mungkin Nafla mau punya anak kayak Caca.”

Sandra yang mendengarkan ocehan puterinya itu hanya mampu tersenyum simpul. “Memang kamu sudah siap nikah?”

“Kenapa Mama tanya begitu?”

“Umur kamu udah 23. Udah cocok untuk nikah.”

Nafla menggeleng pelan. “Tapi, Nafla mau tamatin kuliah dulu. Jadi guru, terus baru deh nikah.”

“Hush, jodoh itu kalau ada kenapa ditunda. Kenalan dulu, Na. Pendekatan, kalau cocok lanjut kalau nggak ya jangan dipaksa.”

Dahi Nafla seketika mengerut. “Mama niat banget kayaknya aku nikah. Memang sama Mama sudah ada calon?”

“Ada. Kalau kamu mau Mama bisa janjian dengan orang tuanya buat mempertemukan kalian.”

Seketika Nafla mendengus. “Ish, Mama apaan sih. Kan aku bercanda.”

“Mama serius lho, Na. Anaknya nggak banyak ngomong, dia juga sempat dijodohin sama yang lain, tapi pada ditolak. Berasa belum nemu yang cocok,” gumam sang ibu saat memikirkan percakapannya dengan temannya beberapa hari lalu. “Dia bahkan berani nolak langsung sama cewek-cewek itu.”

“Seleranya tinggi kali, Ma. Anak orang aja ditolak, apalagi anak Mama yang belum jelas gini masa depannya.”

Sandra seketika berhenti mengunyah mochi yang Nafla bawa pulang. Ia menatap puterinya seakan ingin mengajak kompromi. “Gini deh, Na. Gimana kalau kalian ketemu dulu. Ntar kalau nggak cocok ya Mama juga nggak bisa buat apa-apa, ‘kan?”

“Ya malu lah Ma kalau ditolak secara langsung gitu.Mukaku taruh dimana entar?”

Kekehan Sandra membuat Nafla mengerucut. “Makanya jangan genit. Yang Mama tahu sih, perempuan yang dijodohin sama anak temen Mama ini rata-rata nggak tahan kalau nggak genit setelah melihat wajahnya.”

“Emang ganteng banget, Ma?”

Sandra mengangguk. “Iya dong. Mapan juga terus paling penting taat beribadah. Kalau kamu mau, malam besok Mama atur tempat pertemuan kalian.”

Menghela napas pelan, Nafla menatap ibunya datar. Tampaknya pembicaraan ini sudah terlalu jauh. “Mama bercanda ‘kan?”

“Siapa bilang Mama bercanda? Dari kemarin juga Mama mau bilang sama kamu, tapi Mama takut ngeganggu kuliah kamu. Terus, pas kamu bilang mau selesai dan kebetulan bahas ini, ya Mama nyambung aja.”

Nafla memutar bola matanya. “Asal Mama senang aja. Tapi, kalau cowok itu tolak aku terang-terangan jangan salahin Nafla kalau nanti maluin Mama.”

“Tenang aja. Mama nggak akan nyalahin kamu.”

●●●

Nafla memakai dress berwarna kopi susu selutut dan flat shoes berwarna senada. Rambut lurusnya di urai sederhana tanpa niat untuk memolesnya menjadi aneh. Nafla yakin pertemuan ini hanya akan berakhir sia-sia karena dipastikan laki-laki itu juga akan menolaknya seperti yang dilakukan pada perempuan lain.

Tujuannya menghadiri pertemuan ini adalah ibunya. Nafla hanya ingin melihat ibunya tersenyum tanpa bisa menatap ibunya yang kecewa. Semenjak ayahnya pergi, Nafla hanya hidup berdua bersama sang ibu. Pekerjaan ibunya sebagai manajer di sebuah perusahaan cukup mampu membiayai Nafla sekolah hingga saat ini.

Ia melirik ponsel dimana ibunya mengirimkan alamat restoran yang dijanjikan sebagai tempat pertemuannya dengan lelaki misterius itu. Untunglah, ia sudah menyelesaikan perbaikan dan hanya tinggal menulis hipotesa di Bab IV sehingga lusa ia bisa kembali konsul kepada dosen pembimbingnya.

Sialnya, Nafla tampaknya harus naik bus karena mobil sedang dipakai oleh ibunya untuk bekerja. Tabungannya akan semakin menipis jika ia membiasakan diri naik taksi. Lagipula, saat ini Nafla tidak boleh memboros uang mengingat untuk skripsinya saja begitu banya sang ibu telah mengeluarkan duit untuknya.

Untungnya, halte bus tidak jauh dari komplek perumahan Nafla. Gadis itu berjalan gontai sambil melirik jam tangannya. Cuaca cukup mendukung karena sedikit mendung membuat Nafla bersemangat seketika. Gadis itu sangat menyukai hujan dan cuaca mendung, membuat ia selalu merasa lebih bersemangat. Dan itu terjadi begitu saja setiap musim hujan datang.

Tanpa Nafla sadari, tiba-tiba saja sebuah mobil sport berhenti disampingnya. Nafla mengernyit seketika seakan tanda mobil ini milik siapa.

Pak Asgaf? Kenapa bisa disini?

Kaca mobil diturunkan, menampilkan di pemilik yang memakai pakaian santai. Kemeja biru elektrik dengan celana bahan hitam.

“Kamu mau kemana?” tanya Asgaf yang membuat Nafla gugup seketika.

“Ke-kesana, Pak,” tunjuknya pada arah utara dengan jantung berdegup kencang. Merasa aneh jika mereka terus dipertemukan seperti ini.

“Ayo naik. Saya antar sekalian karena kita searah.”

“Eh? Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa sendiri kok,” tolak Nafla halus karena memang tidak ingin kembali terjebak dengan lelaki itu. Lagipula, bagaimana kalau dosennya ini tahu jika dia ke restoran untuk dipertemukan dengan laki-laki yang dijodohkan ibunya?

Ya ampun...

Dimana Nafla harus meletakkan wajahnya?

“Sudah naik saja. Sebentar lagi hujan dan saya yakin kamu nggak akan sampai tepat waktu.”

Dahi Nafla seketika mengernyit. Dengan spontan ia bertanya, “Bapak maksa?”

Asgaf tersenyum tipis lalu mengangguk. “Anggap saja begitu. Ayo masuk!”

Menghela napas pelan, Nafla akhirnya masuk ke dalam mobil sport milik Asgaf. Pria itu segera menjalankan mobilnya dengan santai.

“Saya masih merasa bersalah atas kejadian hari minggu,” gumam Asgaf pelan dengan mata fokus ke jalan. “Saya ingin menebusnya.”

“Bapak tidak perlu repot-repot. Saya juga sudah melupakannya.”

“Benarkah?”

Nafla mengangguk pasti. Tidak sepenuhnya melupakan, tapi Nafla maklum. Lagipula, siapa yang tidak salah paham melihat ayah dan anak jalan bersama perempuan lain? Siapa saja yang melihatpun pasti akan mengira bahwa ia memiliki hubungan dengan ayah dan anak itu.

“Saya justru tidak enak jika Bapak merasa bersalah seperti ini. Saya harap Bapak tidak membebani diri sendiri lagi karena rasa bersalah itu.”

Asgaf lagi-lagi terdiam. Melirik penampilan Nafla yang tampak beda dari biasanya. Karena gadis itu lebih sering memakai jeans dan kemeja. Bahkan, Nafla tidak pernah memakai gaun seperti ini.

“Kamu ada acara, Na?”

Nafla menggigit bibir bawahnya gugup. Apakah ia harus jujur?

“Iya, Pak. Penampilan saya aneh ya?”

Asgaf melipat bibirnya ke dalam dan berdeham pelan. “Nggak kok. Kamu cocok sama gaun itu.”

Entah kenapa Nafla merasa kecewa. Memikirkan dirinya akan dibilang cantik, tapi nyatanya tidak. Siapapun pasti akan mengakui bahwa ia adalah gadis bar-bar dengan kelebihan IQ yang lumayan. Selebihnya, tidak ada. Dia tidak cantik seperti Ifa yang selalu di puja oleh para laki-laki di kampusnya. Tidak juga dipandang sebelah mata karena Nafla termasuk perempuan yang biasa-biasa saja.

Lalu, kapan ada laki-laki yang mengatakan bahwa ia cantik?

Rasanya mustahil...

Nafla menjadi semakin penasaran dengan sikap laki-laki yang akan ditemuinya kali ini. Jangan-jangan setelah melihatnya, laki-laki itu akan langsung lari meninggalkannya atau justru menganggapnya tidak kenal?

“Ada yang salah sama ucapan saya?” tegur Asgaf melihat Nafla yang terdiam di tempatnya.

“Nggak kok, Pak,” jawabnya pelan sebelum melirik restoran yang dijadikan tempat pertemuannya dengan laki-laki itu. “Pak, saya berhenti disini.”

Mata Asgaf seketika menyipit melihat nama restoran tersebut. Ia memarkirkan mobilnya dengan rapi lalu mengikuti Nafla yang sudah turun lebih dulu. Keduanya masuk bersamaan yang mendapatkan pelayanan ramah dari para waitress.

“Bapak ngapain ngikutin saya?”

“Ingin memastikan sesuatu,” jawab Asgaf ragu sebelum melihat Nafla yang melirik ponselnya dimana terdapat pesan ibunya yang mengatakan nomor bangku dirinya. “Na, kamu janjian sama siapa?”

Nafla mengendikkan bahunya acuh. “Saya juga kurang tahu, Pak. Ibu saya yang ngerencanain ini.”

“Ibu kamu? Boleh saya lihat isi pesannya?”

Nafla refleks memberikan ponsel pintarnya pada Asgaf. Membiarkan laki-laki itu membaca isi pesan ibunya. Ia juga jelas melihat reaksi Asgaf yang terlihat kaget.

“Jadi, perempuan itu kamu?”

“M-maksud Bapak apa ya?” tanya Nafla bingung.

Asgaf menarik tangan Nafla dan segera memesan tempat yang lebih pribadi daripada tempat yang sebelumnya di booking oleh orang tua mereka. Karena kini yang kembali dijodohkannya bukanlah sembarang wanita, tapi seorang gadis yang begitu disukai oleh puterinya. Gadis yang juga mahasiswinya.

●●●

Keduanya sama-sama terdiam lama setelah Nafla mampu mencerna situasi yang ada. Bagaimana ia harus bersikap jika lelaki yang dijodohkan dengannya adalah dosen yang selalu menahan skripsinya? Dosen yang selalu ia katakan seorang duda? Dan juga dosen yang memiliki riwayat penyakit gay?

“Jadi...”

“Kita batalkan saja, Pak,” sela Nafla cepat karena takut bahwa ia kembali ditolak seperti yang diceritakan ibunya. Apalagi setelah mendengar cerita ibunya, Nafla semakin yakin bahwasanya pria didepannya ini adalah seorang gay. “Saya tahu Bapak pasti ingin menolak saya seperti yang sudah-sudah. Saya tahu Bapak tidak menyukai perempuan, jadi lebih baik kita batalkan saja dan mengatakan kepada orang tua masing-masing kalau kita memang tidak cocok.”

Asgaf mengerutkan dahinya tidak suka, ia bertanya dengan nada rendah. “Apa maksud kamu kalau saya tidak menyukai perempuan?”

Tidak mungkin bukan jika dia harus mengatakan secara terang-terangan?

“Saya tahu cerita dari Mama saya kalau Bapak akan selalu menolak perempuan yang dijodohkan dengan Bapak,” gumamnya ragu sambil memilin kedua tangannya gugup di bawah meja. “Jadi, saya akan tetap menjaga rahasia Bapak dan membatalkan acara perjodohan tidak masuk akal ini.”

Bibir Asgaf tersungging tertarik. Seketika ia menopang dagu dengan kedua tangannya dan menatap gadis di depannya dengan intens. “Rahasia? Rahasia apa Nafla Khinsa Adlina? Sepertinya kamu tahu banyak hal tentang saya.”

Menggaruk pelipisnya pelan, Nafla semakin ragu. Ia mendekatkan wajahnya dengan wajah lelaki itu sebelum berbisik, “Saya akan menjaga rahasia kalau Bapak adalah seorang gay.”

Asgaf langsung terbatuk batuk mendengar ucapan frontal dari mahasiswinya itu. Kabar angin apa yang selama ini meliputi dirinya dikampus itu sehingga ada yang mengejeknya sebagai seorang gay.

“Pak, maafin saya... Saya tidak bermaksud—” Nafla menghentikan ucapannya saat melihat dosennya mengangkat telunjuknya sebagai tanda menyuruhnya untuk diam. Seketika, ia merasa takut dan menyesal karena sudah berbicara selantang itu dengan dosen pembimbingnya ini.

Bagaimana jika skripsinya diperlambat? Ya ampun... Kenapa Nafla bisa sebodoh ini? Kenapa pula dia harus mengatakannya secara terang-terangan?

“Kamu bilang saya gay?” tanya Asgaf dengan mata menajam. Bangkit dari kursinya lalu memajukan tubuhnya untuk meraih dagu Nafla, membiarkan gadis itu menatap matanya yang hitam legam dan tenggelam disana. “Saya akan membuktikan sama kamu kalau saya tidak homo,” lanjutnya sebelum bibirnya meraih bibir Nafla dan mencumbunya dengan lembut.

Seketika cumbuan itu menjadi nafsu tersendiri bagi Asgaf yang telah lama memendam gairahnya. Merasakan sengatan listrik yang hebat kala bibirnya bertemu dengan bibir lawan jenisnya. Begitu manis dan memabukkan untuknya. Asgaf mulai melumatnya dan menekan lembut rahang Nafla agar terbuka supaya ia dapat mengeksplorasi lebih.

Nafla yang lebih dulu sadar segera mendorong dada bidang yang keras itu. Ia menghela napas terengah dan merasa tidak percaya apa yang baru saja dilakukan oleh dosennya ini.

Melihat kemampuan berciumnya yang pengalaman jelas saja bahwa Pak Asgaf adalah laki-laki macho dan maskulin. Oh sialan! Bagaimana ia harus menghadapi Pak Asgaf setelah ini? Tiba-tiba saja pipinya memerah karena malu telah menuduh yang bukan-bukan. Dan pun, pria itu telah mencuri ciuman pertamanya!

Sial! Sial! Sial!

“Masih ingin mengatakan saya homo, Nafla?” suara maskulin itu membuat Nafla menengadah dan menggeleng pelan. Ia kembali menunduk karena rasa malunya yang besar. Ingin rasanya ia kabur dan mengurung dirinya di kamar lalu menjerit sekerasnya. Namun, itu tidak mungkin. Tampaknya laki-laki ini tidak akan melepaskannya dengan mudah.

“Maafin saya, Pak,” gumamnya pelan. P“Tapi Bapak juga harus minta maaf sama saya karena sudah mencium saya sembarangan.”

Asgaf menaikkan sebelah alisnya tanpa menjawab. Ia meraih ponselnya lantas menelepon seseorang. Dan ketika panggilannya terjawab, Asgaf bergumam pelan,

“Aku menerima perjodohan ini, Ma.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel