Ringkasan
Warning! Cerita ini mengandung unsur 21 dan berlatar belakang luar negeri. Harap bijak dalam memilih bacaan. Ini adalah sekuel ketiga dari novel Wanita Sang Presdir. Agar dapat mengikuti alur cerita novel ini disarankan membaca terlebih dahulu sekuel pertama dan kedua. Sinopsis: Setelah bersusah payah memaafkan dan memutuskan membuka hati untuk Austin setelah dikecewakan karena gagalnya acara pernikahan akibat aksi bunuh diri sang mantan kekasih Austin, ternyata Alma kembali mengalami kekecewaan. Salah paham yang terjadi karena kedatangan sang mantan kekasih membuat Alma mantap ingin bercerai. Namun, Austin yang merupakan seorang Presdir kaya dan orang berkuasa menolak bercerai karena telah memiliki perasaan terhadap Alma—wanita yang dinikahinya dengan sebuah perjanjian. Akankah Austin berhasil mempertahankan pernikahannya dengan Alma dan mendapatkan hatinya kembali? Sementara Alma bersikukuh ingin bercerai dan pihak keluarga yang selalu melindungi Alma mendukung perceraian mereka karena Austin dianggap tidak bisa membahagiakan Alma dan mulai memberi jalan kepada Damian—teman masa kecil Alma yang sudah mencintainya sejak lama. Juga Gwen sang mantan kekasih Austin yang tidak pernah menyerah untuk mendapatkan Austin kembali dan merebut posisi Nyonya Austin dari Alma. Akankah Austin dan Alma keduanya berhasil mengungkapkan perasaannya dan membuat segala kesalahpahaman kembali lurus sehingga pada akhirnya kehidupan pernikahan mereka bahagia? Ataukah sebaliknya? Baca kelanjutan kisah Alma-Austin hingga ending di sekuel ini.
Bab 1. KITA BERCERAI SAJA
"Apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Austin sambil menatap Alma dengan serius, tatapannya pun tampak memanas.
Alma sama sekali tidak takut dengan tatapan membara Austin itu, bahkan dia masih bisa menerbitkan senyuman di wajahnya. "Apakah telinga Bos Austin bermasalah? Aku bilang ... kita bercerai saja."
Alma dapat merasakan, ketika dia mengatakan kata "bercerai", kekuatan tangan Austin yang sedang memegang pergelangan tangannya bertambah.
Alma sedikit tidak bisa menahan sakit yang dirasakannya, dia pun menghela nafas. Namun, meski begitu Alma tetap tidak menunjukkan kelemahannya.
"Sebaiknya kamu menarik kembali kata itu!" Kalimat tersebut diucapkan oleh Austin dengan menahan emosi.
"Apa Bos Austin tidak pernah mendengar satu pepatah, kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik kembali?" Alma mengangkat bibir merahnya, tetap tersenyum cerah.
Austin masih menganggap Alma sedang merajuk jadi di saat seperti ini Austin berpikir mungkin dengan dia sedikit mengalah maka Alma tidak akan seperti marah lagi. Oleh karena itu, Austin menarik nafas, menelan semua emosinya.
Kemudian, mulai menjelaskan kejadian tadi kepada Alma. "Tadi dia memelukku, tapi aku menolaknya. Seharusnya kamu melihatnya."
Alma tertawa dalam hati. "Haha. Dia selalu saja ada alasan. Apa dia kira cukup dengan memberikan penjelasan seperti itu semuanya akan membaik?
Kenapa dia tidak menjelaskan, dari mana mantannya itu tahu kalau dia tidak bekerja hari ini dan berdiam di rumah? Lalu bagaimana mereka berdua kebetulan bisa terjerat di sini?"
Setiap kali selalu saja begini, selalu ala kadarnya saat menjelaskan membuat Alma merasa Austin menganggapnya sebagai orang bodoh. Namun, sekarang Alma sudah tidak ingin lagi mempermasalahkan hal seperti itu.
Teringat kembali ketidakrelaan dan kekhawatirannya, semuanya seperti lelucon. Dia memang sangat bodoh. Austin sedikit saja memberikan perhatian baik kepadanya, dia langsung seperti kulit lupa rasa sakit, dia lupa rasa sakit dan deritanya yang selama ini terus menghantuinya.
Baru saja semalam dia berkata, jika dia mengalami kekecewaan sekali lagi, maka selanjutnya tidak akan memercayainya lagi. Tidak disangka, kekecewaan kedua kali datang begitu cepat. Mungkin mereka berdua memang tidak cocok, jika tidak mengapa bisa begini?
Setiap kali, selalu disebabkan oleh orang yang sama. Sangat tidak ada tantangan. Mungkin, seharusnya dia menegaskan pikirannya sejak awal memutuskan menikah. Lagipula sekarang dia sudah mendapatkan barang yang dia inginkan.
"Kamu tidak perlu menjelaskan apapun kepadaku." Setelah diam beberapa saat, akhirnya Alma membuka mulutnya. Dia terlihat tenang, seperti tidak tertarik dengan masalah ini.
Setelah selesai mengeluarkan beberapa kata tadi, dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya lagi. "Walaupun tidak ada kejadian ini, aku tetap akan bercerai denganmu."
Ekspresi Austin memang sudah jelek, setelah mendengar perkataan Alma eskpresinya menjadi semakin jelek.
Austin menggertakkan giginya, rahangnya mengetat, tatapannya menjadi tajam dan urat-urat di dahi juga di tangannya mulai menonjol. Kini batas kesabarannya sudah habis.
Saat seperti ini, tiba-tiba muncul suara Alma saat berkata kepada Irina "aku sudah mau bebas" di otaknya.
"Aaa ... jadi kebebasan yang dimaksud olehnya adalah bercerai dengannya," batin Austin.
Selama ini, Austin selalu bersabar meskipun Alma selalu membuatnya emosi setiap harinya, melakukan masalah, tapi dia selalu bersabar.
Alma tidak ingin satu kamar dengannya, dia menerima dengan sabar.
Alma keluar bermain dengan Damian, dia juga sabar. Bahkan, dia diam-diam bertemu dengan Ethan, di juga masih bisa sabar dan tidak mengungkitnya.
Dia sungguh sudah tulus bermain hati dengannya, jadi dia sangat bersabar dengan sepenuh hati.
Sebelum menyerahkan surat permohonan perceraiannya, Austin sudah memikirkan banyak hal. Padahal dia bisa menggunakan surat itu untuk menuntutnya, tetapi dia bisa tidak berbuat begitu.
Austin merasa dia bisa menggunakan hati yang tulus untuk menahannya. Menurutnya, seharusnya Alma bisa merasakan kebaikan yang selama ini dia berikan, tapi sayangnya Alma tidak merasakan apapun.
Tadinya Austin menganggap perceraian yang dia ungkit barusan hanya karena dia sedang marah karena melihat dirinya bersama dengan Gwen. Namun, tidak terpikir ternyata Alma membantahnya.
"Walaupun tidak ada kejadian hari ini, tetap akan bercerai dengannya."
Austin diam tidak berkata, sedangkan Alma mengumpulkan semua tenaganya untuk mengeluarkan semua kata yang ingin dia katakan.
Dari awal dia tidak pernah sekalipun takut dengan Austin. Alma menatap matanya, berucap dengan sangat tenang dan terbuka.
"Harusnya kamu tahu, sejak awal aku mendekatimu dengan maksud tertentu. Memang hanya ada petukaran diantara kita berdua. Aku mengorbankan tubuhku, kamu membantuku mengambil kembali milikku."
"Tidak peduli rumah ataupun perusahaan, sama saja," kata Alma. "Harusnya kamu tahu, keinginan terbesarku adalah mengambil kembali saham keluarga Lawson dan sekarang sudah terealisasi. Kita sudah bersama kurang lebih satu tahun, mempunyai tubuh yang bagus pun pasti akan bosan suatu saat nanti, iya 'kan? Lagipula barang yang kuinginkan sudah kudapatkan, aku juga tidak ingin membuat pertukaran apa-apa lagi."
Austin terus memperhatikan pergerakan bibir Alma yang berbicara begitu banyak, dia merasa sedikit gelisah dan membuatnya terpikirkan hal-hal yang lain. Namun, saat ini yang sangat ingin dia lakukan hanya satu yaitu mencekiknya. Betul, mencekiknya!
Alma menggunakan kata "pergantian" dan "pertukaran benda" untuk mendeskripsikan hubungan mereka. Itu cukup untuk membuktikan bahwa dia tidak menggunakan sedikit pun perasaan di hubungan mereka.
Tapi dia?
Dia masih mengira bahwa Alma masih cukup perhatian dengannya, hanya karena perhatian yang diberikan Alma tadi pagi, tetapi sekarang dilihat sepertinya semua hanya omong kosong.
Memikirkan tentang itu, Austin sungguh sangat marah, emosi yang selama ini ditahan olehnya seketika meledak.
Dengan satu kali tangkapan tangan Austin mencekik kerah Alma, sudah hampir mengangkatnya dari lantai.
Austin sangat jarang sekali melakukan tindakan kasar seperti itu, tapi kali ini Alma telah benar-benar telah membuat dia marah.
Ketika sedang dicekik oleh Austin, hati Alma berdebar dengan sangat kencang. Jujur, sebenarnya dia takut, tetapi dia tidak menunjukkannya.
Alma memaksa diri sendiri untuk tenang kembali, tetap menggunakan tatapan seperti sebelumnya saat menatap Austin.
"Apakah Bos Austin akan memukul orang?"
Bahkan saat mengeluarkan kata terakhirnya masih terdengar suara tertawa pelan dari mulutnya.
"Wanita yang pantas mati!" geram Austin sambil giginya saling menggemertak.
Austin merasa emosi dalam dirinya telah meledak, terpancing oleh suara tawa Alma. Dia mendorong Alma sampai membentur ke lemari sepatu sambil dengan kejam mencekik dagunya.
"Menyeberang sungai bongkar jembatan? Kamu menganggapku sebagai apa, ha?"
"Tuan emas." Dengan santai Alma mengeluarkan dua kata itu. "Bukankah hubungan kita sudah sangat jelas dari awal, kamu berikan apa yang aku mau, aku memberikan apa yang kamu mau."
"Apakah kamu benar-benar tahu apa yang aku mau?!" Austin sangat marah dengan Alma.
Alma menjilat bibirnya, tangannya bergerak memegang tubuh bagian bawah Austin, memerasnya dengan pelan. Aksi yang ringan, penuh perasaan.
"Bukankah ini yang Bos Austin inginkan?"