Bab 6
"Ar....mbolos yuk Ar, ane males kuliah jam setengah satu, isinya Cuma ngantuk ngantuk dan ngaaaaaaaaaaaaaaaaaaantuk...." ajak Rahman ketika kita berjalan meninggalkan kelas.
"Hmm.... Hoaaaaam.... Makan dulu lah sebelum bolos, memang mau bolos dimana kang?" jawabku sambil merenggangkan kedua tanganku.
"Ya gak kemana-mana Ar, Cuma stay di warung aja, gimana menurut ente?" lanjut Rahman.
"Ayo...Markike (Mari Kita Kemon) .... Dah lapar aku kang, tadi pagi Ibu bangun kesianganL jawabku sambil beranjak dari tempat duduk.
Ibu?bangun kesiangan?gara-gara aku membuatnya menangis, melakukan hal bodoh yang seharusnya tidak aku lakukan. Tapi jika mengingat Ibu tadi pagi, Ibu tampak lebih cantik dari tadi malam, tumben-tumbenan Ibu berdandan seperti tadi pagi. Pikiran ini terus bergerak ke otak dan berputar-putar terus terus dan terus sepanjang aku berjalan bersama Rahman menuju warung di seberang kampus.
"Mbok... Nasi rames ayam goreng dua, es jeruk satu, jeruk adem satu, kasih sambel trasinya bu jangan lupa" teriak Rahman ketika memasuki warung. Kami pun memilih bangku yang dekat dengan pintu keluar.
"Ora nganggo suwi Mbok, selak meh modar rasane (tidak pakai lama Mbok, hampir mau mati rasanya)" teriakku setelah Rahman. Kami langganan di warung si mbok, jad ya sudah biasa kalau kita selalu bercanda di warung.
"Koyo-koyo wong sing ora tahu mangan wae to le, yo kosek sedelok (seperti orang yang tidak pernah makan saja to nak, ya tunggu sebentar)" jawab Si Mbok Warung. Tempat kami duduk adalah tempat paling nyaman di warung ini, pojok dekat dengan pintu dan sangat privasi. Ya maksudnya tempatnya mojoklah enak dibuat ngobrol.
"Ssst....ane punya film bagus, ente mau lihat gak?" bisik Rahman.
"Apa kang?" jawabku
"Nih...jangan lupa pake earphone-nya, sebelah aja biar kita tetep bisa ngobrol" dia menyerahkan si KW super Korea selatan kepadaku. Langsung aku pasang satu earphone ke telingaku.
"File-nya apa kang?" tanyaku penasaran dengan film itu.
Rahman kemudian, membukakan file pada smartphonenya yang aku pegang, dan touch....filmpun dimulai. What the fuck?! Its porn film again but i start to love it....uft. Ketika film itu diputar aku melihat ke arah samping kanan, kiri, belakang dan Huft...Aman Jaya Mengudara dan terkendali. Karena dibelakangku adalah tembok, samping kiriku tembok, samping kananku meja makan kosong. Gila kenapa aku sekarang jadi suka sekalii melihat film porno? Ini yang kedua bagiku, yang kedua ini sangat lain karena? sudahlah. Aku tidak merasa aneh, atau jijik, sekarang yang aku rasakan adalah menontonnya, meresapinya dan melupakannya. Mungkin lebih tepatnya hanya untuk kesenangan saja melihat seperti ini.
"Wooi serius amat sich ente.... ntar ane transferin yang banyak ke HP ente.... maaf yo, ane paling suka ngajakin jelek ente ha ha ha ha" kata Raman membuyarkan konsentrasiku.
"Memang masih pun................." ucapku terputus.
"Ki segone karo ngombene, lek dang dipangan tapi eling piring karo gelase ojo dipangan (ini nasi dan minumannya, segera dimakan, tapi ingat piring dan gelasnya jangan dimakan)" tiba-tiba Si Mbok warung meletakan pesanan kami dan memotong perkataanku.
"Emange jaran eblek mangan koco mbok (memangnya kuda lumping makan kaca)" jawab kami serentak yang diikuti gelak tawa si mbok yang berjalan meninggalkan kami.
"Tadi ente mau ngomong apa Ar?" tanya Rahman.
"Memang masih punya banyak Kang Rahman?" tanyaku
"Huwahahahahahahahahahahah..... Ane kira ente alergi sama hal-hal yang berbau busuk Ternyata....."
"Download to Ar Ar, entenya saja yang Bahlul (Bodoh) bin bego bin dedhel, ga pernah manfaatin internet, makanya browsing... berselancar di dunia maya... Hahahahahaha...." jawabnya terbahak bahak.
"Dah makan dulu...." lanjut Rahman.
Aku hentikan kegiatanku nonton film itu, kusantap dan kulahap makan nasi rames ibu warung. Jika piringnya bisa aku makan mungkin akan aku makan sekalian he he he. Ah....lezatnya.....bagaimana tidak, tadi pagi aku tidak 'kemasukan' nasi sama sekali. Perut kosong apalagi pikiranku buyar karena Ibuku.
"Mana HP ente?" kata Rahman memcah konsentrasi makanku.
"Hini mmmmm kangmmmm..." jawbku sambil sambil mengunyah makanan.
Sambil makan kulihat Rahman mengutak-atik smaartphone miliku dan miliknya. Makan makan makan aku ingin kenyang wah ternyata ada lauk cumi osengnya, dipotong-potong kaya cincin. Wadiyah waduh... Cincin? Ah cincin titipan Ibu.... kenapa aku baru ingat, bagaimana ya? Aku harus beli dimana? Kenapa aku bisa lupa. Cepat aku selesaikan makanku, kemudian kurogoh saku celanaku.
"Untung masih ada" kataku tiba-tiba.
"Ni Ar, udah ane transfer, ane simpen di folder yang namanya Semprotku" kata Rahman kepadaku.
"Oia...untung kenapa??" lanjut Rahman kaget aku mendengarnya.
"Apa aku harus cerita ke Rahman soal kejadian semalam? Ah tidak, bisa-bisa aku disangka orang Gila, Tapi aku bisa minta tolong ke rahman untuk cari cincin ini" bathinku.
"Kang, tahu gak cari cincin seperti ini dimana?" sambil aku meyerahkan potongan gambar cincin dari Ibuku
"Hmmmm.... ni di Toko Gajah Emas ada, tapi model kaya gini bisa nyampe 6 gram Ar, harganya kira-kira...kalo disesuaikan dengan harga emas sekarang ya Ar, ya bisa nyampe 3,5 juta-an lebih Ar" jelas Rahman kepadaku
"HAH?! WEIDIAN! (Edan) duit opo godong iku Kang (uang apa daun itu kang)?" teriaku kaget.
"Ha ha ha ha ha emang ente, mau beli? Buat siapa? Pacar ente?" tanya Rahman yang masih tertawa sambil memegang perut
"Kanggo mak'e kang (Buat Ibu kang), dia pengen cincin seperti gambar ini" jawabku pelan
"Owalaaaaaaah.... gampang itu"
"Tenang aja Ar, ane kan pernah punya hutang ama ente, waktu kecelakaan itu ente kan yang bayar uang perawatan di awal ane masuk RS?" tanya Rahman.
"I...iya kang, kok tahu?" jawabku.
"Ya tahulah, punya mulut itu fungsinya buat tanya"
"Sudah tenang aja Ar, nah sekarang giliran ane bantuin ente Ar..... bentar ane transfer ke rekening ente pake i-bangking, nomor rekening ente masih
sama kan?" jelas Rahman
"Eee....enggak usah kang....." jawabku.
"Diem aje ente, ane tahu ente sayang banget ma Ibu ente, sekarang giliran ane yang bantu ente, coba aja waktu itu ente gak lewat mana mungkin ane bisa makan bareng ente sekarang" kata Rahman sambil ngutak-atik telepon cerdasnya.
"Ketemu rekening ente...." guman Rahman mengutak-atik telepon cerdasnya. Ya memang aku dan rahman memang pernah melakukan transfer ke rekening masing-masing, mungkin no.rekeningku masih tersimpan di riwayat transfernya.
"Dah masuk Ar.... semoga ente bisa dapetin tuh cincin, dan bisa bikin seneng Ibu ente" lanjut Rahman
"Makasih kang, bukannya mau ngapa atau gimana lho kang....." baru saja mau ngomong Rahman sudah memotongku perkataanku
"Udah Ar, ente sahabat terbaik ane jadi, well wewe gombel, apa yang ane lakukan ini gak sebanding sama pertolongan ente waktu itu, lagipula sudah kewajiban ane ngebalikin uang itu karena itu adalah uang kamu" jelas Rahman.
"Ato kurang? Perlu ane tambahin Ar? Tenang aja uang tambahan ini gak perlu kamu ganti ini masih kurang ngan bantuan yang ente berikan waktu itu" lanjut Rahman.
"Sudah kang sudah, ini sudah lebih dari cukup..." jawabku.
"Mending sekarang kamu ke Toko Emasnya Ar, dari pada nanti tutup" nasihat Rahman kepadaku.
Setelah perbincangan dengan Rahman di warung itu, kemudian aku bergegas ke pusat kota. Uang yang ditransfer Rahman lumayan banyak 5 juta. Padahal uang yang aku keluarkan untuk biaya rumah sakitnya waktu itu tidak sampai 5 juta. Tapi tak apalah daripada tidak punya uang buat beli cincin. Kuhentikan Revi si bodi montok di ATM pinggir jalan untuk mengambil uang sebesar 4 juta. Kulihat saldo ATM-ku tersisa sekitar 3 juta. Beruntung aku punya sahabat seperti Rahman selalu melewati suka duka bersama.