Ringkasan
Ketika seorang Jenderal menjadikan wanita itu sebagai tahanan di dalam pernikahannya sendiri!"Menolak menikah denganku, kau akan mati sekarang juga!"
BAB 1
"Target arah pukul 3. Dalam radius 100 meter. Mengenakan jaket biru muda," bisiknya pada bluetooth transparan yang terpasang di telinga si wanita tersebut.
"Copy, A," balas suara seberang.
Perempuan itu segera mematikan bluetoothnya dan memantau apa yang akan dilakukan oleh teman sekelompoknya. "Game is on, guys," gumamnya pelan sambil tersenyum miring dan terus menatap di pria berbaju biru. "Three, two, one-" Dor.
"Got you!" Anthea segera melompati jendela dan berlari keluar dari tempat persembunyiannya. Menuju ke jalanan dimana pria tadi tertembak.
Orang-orang berlari berhamburan tak tentu arah, takut karena tembakan yang baru saja terjadi membunuh seseorang di tempat. Anthea sendiri berjalan santai dimana pria tadi sudah berbaring tak bernyawa. Wajahnya tertutup silikon hingga saat ini ia mengenakan wajah palsu. Menatap nanar pada pria berjaket biru sebelum menggeledah pakaiannya.
Di dalam kantong jaket, Anthea menemukan sesuatu yang diincarnya, yakni berkas rahasia milik seorang yang selama ini mereka incar. Hanya saja, orang itu terlalu pandai bersembunyi dan tiba-tiba sambungan bluetooth milik Anthea berbunyi.
"Menjauh dari sana, A. Pria itu memiliki bom di dalam otaknya dan akan meledak dalam waktu 40 detik lagi!"
"Sial!" makinya pelan dan segera menghindar. Bahkan Anthea tidak sempat menyuruh warga sipil untuk menyingkir dari sana. "Terima kasih untuk pemberitahuanmu yang telat, G."
"Sama-sama, beibh."
DUAR!
Seperti yang di duga ledakan itu terjadi membuat beberapa manusia disana terpekik kaget bahkan ada yang pingsan ditempat.
***
Wanita bersurai kelam itu meregangkan urat leher kepalanya. Nyawanya nyaris terancam jika saja rekannya tidak mengatakan apapun. Namun, hal ini bukan apa-apa dengan latihan keras yang sudah Anthea dan rekan-rekannya jalani. Disini, Anthea bukanlah ketua team melainkan dirinya hanya seorang Sleepers yang sedang menyamar di negara orang untuk mendapatkan sebuah informasi. Dan kini, informasi itu di dapatkannya. Tugasnya sudah selesai. Selama tiga tahun dirinya berpura-pura menjalani hidup sebagai rakyat di negara asing dan kini, Anthea sudah bisa kembali ke negaranya, British.
"Akhirnya kita bisa kembali," gumam seorang ketua mereka yang cerewet namun baik hati bernama Jeslyn. "Tidakkah kau senang, hm?" Menatap Anthea yang sedang melepaskan pakaiannya hingga menyisakan tanktop berwarna putih. Lalu, duduk di hadapan Jeslyn.
Anthea mengangguk. "Senang," jawabnya datar dan memijit pelipisnya pelan karena pusing menderanya tiba-tiba.
"Tidak ada orang senang menjawab datar sepertimu, A. Kau sama sekali tidak terlihat senang. Ada apa?"
"Tidak ada."
Menghela napasnya lega setelah misi mereka akhirnya tercapai, Jeslyn kembali bergumam. "Aku sudah menghubungi komandan. Dia ingin bertemu dan meminta laporan kita selama disini. Kau tahu, betapa excited-nya aku mengingat akan bertemu dengannya lagi."
"Aku tidak tahu," sahut Anthea singkat membuat Jeslyn mengumpat kesal karena gadis itu tidak bisa di ajak curhat sama sekali. Berbeda dengan G dan D yang dewasa di antara kelima dari mereka dan satu lagi S. Yang sedang sibuk dengan komputernya.
Anthea kembali bergumam. "Aku akan beristirahat. Dan ya, jika G sudah sampai, katakan padanya untuk segera mengambil kertasnya padaku."
"Hey, disini aku ketua bukan kau."
Anthea hanya mengangkat bahu dan berlalu begitu saja meninggalkan Jeslyn yang menggerutu karena kelakuan Anthea yang selalu bertindak seenaknya.
***
Jeslyn, Samantha, Genny, Debby dan Anthea menatap takjub pada negara kelahiran mereka. Tidak banyak yang berubah, hanya saja beberapa bangunan yang di tambah ataupun dirobohkan dan di ganti dengan bangunan baru lainnya.
Disana, terlihat seorang pria tinggi berwajah tampan tersenyum pada kelimanya. Samantha lebih dulu berteriak dan memeluk pria tersebut.
"Regan! God, aku merindukanmu..."
Pria itu terkekeh dan mengelus rambut gelombang berwarna merah milik Samantha. "Aku juga merindukanmu, adik kecil." Ya, Samantha memang paling muda di antara semuanya. Apalagi dengan kebiasaannya yang mengulum permen disaat sedang bertugas mengotak-atik komputernya membuat dirinya semakin terlihat lebih muda dan kekanakan.
"Hay, guys."
Jeslyn, Debby dan Genny membalas sapaan Regan, sedangkan Anthea memilih tersenyum saja karena dia memang irit bicara.
"Dia tidak berubah?" Rega bertanya pada Jeslyn sambil menunjuk Anthea dengan dagunya.
Jeslyn menghela napas dan menggeleng pasrah. "Tidak sama sekali."
"Ya sudah, ayo kita pulang. Markas kalian sudah disiapkan. Kalian bisa tinggal disana sementara untuk mencari tempat tinggal baru."
Kelima wanita cantik itu memilih menurut dan akan mencari apartemen baru untuk tempat tinggal mereka kelak. Walau markas mereka mewah, tapi mereka tidak akan bisa selamanya tinggal disana. Mereka juga butuh lingkungan seperti manusia biasa lainnya disaat mereka sedang free time.
"Ayo, kita berangkat." Samantha menggandeng lengan kokoh Regan dan mengajak pria itu ke parkiran dimana mobil limousine terparkir rapi.
"Bagaimana kabar kalian?" Regan membuka suaranya sambil menuangkan wine ke dalam gelas berkaki pendek. Menatap satu persatu wanita itu. "Tugas kalian lumayan lama daripada tugas Vanya. Dia hanya butuh waktu 2 tahun dan kalian 3 tahun."
"Bagaimana kabar wanita satu itu? Ku dengar dia sudah menikah.." Jeslyn menatap Regan penuh rasa ingin tahu.
Regan mengangguk. "Ya, dia memang sudah menikah. Sekarang, dia sedang mengandung tujuh bulan."
"Tujuh bulan? Wow! Aku bahkan belum menikah.." Jeslyn bergumam sedih, mengasihani dirinya sendiri. "Awas saja dia nanti. Dia bahkan tidak mengundangku sama sekali ke pesta pernikahannya."
Jeslyn dan Selvanya merupakan sama-sama ketua agen rahasia. Mereka memang sering bertemu, hanya saja dikarenakan Jeslyn dipindah tugaskan ke negara lain, keduanya hilang komunikasi. Vanya memang di tugaskan di negara British untuk mencari tahu tentang 'The Wolf Clan'. Organisasi yang sempat terkenal dua tahun lalu bahkan mungkin sampai setahun lalu. Jeslyn tidak terlalu mengerti hanya saja, yang dirinya tahu bahwa ternyata ketua pemimpin tersebut adalah suami Vanya sendiri.
Benar-benar kisah yang rumit..
"Apa dia masih bekerja?" Kali ini Debby membuka suaranya.
Regan menggeleng. "Tidak. Dia memilih berhenti walau sesekali aku melihatnya sering mampir ke markas. Mungkin suaminya melarangnya bekerja. Lagipula, pekerjaan mereka bertolak-belakang. Mustahil jika keduanya bersatu, apalagi jika presiden sampai tahu."
Keempat wanita itu tampak mengangguk membenarkan. Komandan tertinggi atau dengan nama lain presiden yang memiliki derajat paling tinggi diantara semua komandan maupun jenderal bukanlah orang yang memiliki hati. Presiden atau dengan nama lain Yohannes Carls Leambergh merupakan pria paruh baya yang sangat dikenal oleh sedikit orang. Bahkan namanya saja hanya dikenal oleh beberapa orang Jenderal yang memang cukup sering berkomunikasi dengannya. Pria paruh baya itu dikenal dengan julukan berdarah dingin.
"Bertemu dengan Jenderal Athran saja hampir membuat bulu kudukku melayang, apalagi dengan presiden. Tidak akan dan jangan sampai." Jeslyn bergidik ngeri membayangkannya.
Regan terkekeh sebelum bergumam. "Kita sampai. Debby, Genny, Anthea, dan Sam kalian bisa beristirahat. Dan kau, Jeslyn, Jenderal ingin bertemu denganmu mengenai laporan kalian. Dia sudah tidak sabar. Ingat, jangan memancing kemarahannya karena yang ku lihat dia sedang tidak dalam keadaan mood yang bagus."
Bulu kuduknya langsung meremang mendengar perkataan Regan. Namun, sebagai ketua dia tidak boleh mundur. Lagipula, jika bukan dirinya siapa lagi?
Tidak ada yang pernah bertemu dengan Jenderal Athran selain dari pada pimpinan agen. Mereka hanya mendengar desas-desus bahwa Jenderal memiliki tempramen yang buruk. Anthea sendiri lebih memilih untuk berkutat dengan senjatanya daripada harus berhadapan dengan sang Jenderal yang mengerikan dan berharap bahwa itu tidak pernah terjadi. Tidak, kecuali Jenderal yang menginginkannya.