Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Terlalu Cantik

“Kau sungguh tidak keberatan dengan gaya berpakaianku ini, bukan?” tanya Gabriella sembari meringis. Ia merasa canggung karena semua mata tertuju padanya.

“Percayalah padaku, Gaby. Apa pun baju yang kau kenakan, kau tetap sempurna,” timpal Max seraya membuat satu anggukan tegas.

Sekali lagi, sang wanita melirik ke meja tinggi di sekitarnya. Beberapa orang kini berbisik sambil menyembunyikan tawa.

“Termasuk ini?” tanya Gabriella sebelum memajukan sebelah kaki agar sang suami dapat melihat sepatu karet yang berwarna putih.

“Ya, itu sangat cocok dengan dengan gaunmu. Warna mereka sama,” angguk Max sebelum membelai bayi yang sedang duduk dalam carrier di depan tubuhnya. “Kau setuju dengan Papa, bukan? Mama terlihat sangat cantik.”

“Mamamama ...” sahut Cayden sembari berkedip lambat.

Namun, bukannya terurai, alis sang wanita malah semakin kusut. “Pasti mereka menganggapku aneh karena memadukan gaun cantik ini dengan sneakers,” gumamnya sebelum tertunduk mengikuti beban penyesalan.

“Hei, jangan berkecil hati, Gaby. Orang-orang pasti mengerti alasanmu memilih sepatu ini. Kau rela meninggalkan heels demi bisa menjaga putra kita dengan baik. Mereka seharusnya kagum karena kau lebih mementingkan Pangeran Kecil ketimbang penampilanmu sendiri.”

Seolah mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Max, sang bayi mengangguk-angguk dengan penuh semangat. “Cacacacaca Mama.”

Tak kunjung melihat senyum di wajah Gabriella, Max pun meletakkan gelas nonalcoholic cocktail-nya di atas meja. Sedetik kemudian, ia mengelus punggung wanita yang berdiri di sisinya itu.

“Kau tahu? Menurutku, mereka melihatmu karena kaulah yang paling bersinar di sini,” bisik Max, mencoba mengangkat beban dari hati sang istri.  

Namun, bukannya melengkungkan bibir, Gabriella malah mengangkat alis. “Apakah karena itu mereka terus melihatku? Gaunku memantulkan sinar matahari sehingga mata mereka merasa silau? Ck, aku seharusnya memilih warna gelap saja.”

Mendengar celetukan sang istri, tawa renyah sontak menggetarkan udara. “Bukan itu maksudku, Gaby. Bahkan tanpa matahari pun, kau tetap bersinar. Kecantikanmu terpancar begitu terang. Benar begitu, Pangeran Kecil?”

“Ya ...!” pekik sang bayi sebelum tertawa dan menutup mulut dengan kedua tangan.

Melihat dasi kupu-kupu yang tergantung di depan leher Cayden miring, Gabriella cepat-cepat membetulkannya. “Kenapa kalian kompak sekali menghiburku?” gumamnya dengan bibir mengerucut.

“Bukan menghibur, tapi mengatakan yang sesungguhnya. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan selain kecantikanmu yang berlebihan ini,” tutur Max sebelum mengelus rambut yang tidak ikut terikat di dekat pelipis sang istri.

Tepat ketika Gabriella hendak menimpali, seorang pria berkulit gelap tiba-tiba berhenti di meja mereka dan menyapa, “Assalamualaikum.”

Dalam sekejap, Max menoleh dan mengembangkan senyuman. “Tuan Abdul.” Sedetik kemudian, ia mengulurkan tangan kanan. “Senang akhirnya dapat berjumpa langsung dengan Anda.”

Sambil tertawa ramah, pria bertopi putih itu menjabat tangan kliennya. “Saya lebih senang lagi dengan keberadaan Anda di sini, Tuan Evans,” ujarnya dengan logat yang khas.

Selang satu kedipan, tatapan pria bermata hitam itu beralih pada wajah bulat di bawah dagu Max. Cayden sedang menatapnya tanpa berkedip.

“Dan siapa bayi tampan ini? Apakah Anda Evans kecil?” tanyanya sembari menyejajarkan pandangan.

Selagi Pangeran Kecil memperlihatkan deretan giginya, Max tertawa formal. “Saya harap Anda tidak keberatan dengan keberadaan anak dan istri saya di kapan yang mewah ini,” tuturnya sembari menempatkan sebelah tangan di balik punggung Gabriella.

Mengerti dengan sinyal yang diberikan oleh sang suami, wanita itu pun melangkah maju dan menyunggingkan senyuman. “Senang dapat bertemu Anda, Tuan Abdul,” sapanya disertai anggukan. Gabriella ingat bahwa Waheed pernah bercerita bahwa sebagian laki-laki di negara itu tidak sembarangan menyentuh wanita yang bukan istrinya, termasuk berjabat tangan.

“Senang dapat bertemu Anda, Nyonya Evans,” balas sang klien sembari membuat satu anggukan yang lebih dalam. “Ternyata, kabar yang beredar itu sama sekali tidak melebih-lebihkan.”

Mendengar pernyataan yang tak terduga itu, alis Gabriella spontan terganjal keheranan. “Kabar yang beredar?”

“Ya ..., saat Tuan Evans memesan tiket tambahan, seluruh kru di kapal pesiar ini langsung gempar. Mereka menduga bahwa Andalah yang akan datang,” terang Abdul, mengungkapkan alasan mengapa orang-orang tidak bisa berhenti memandang Gabriella. Akan tetapi, wanita itu masih juga belum mengerti.

“Kenapa gempar? Saya bukanlah istri seorang presiden ataupun aktris terkenal.”

Menyaksikan kerendahan hati sang istri, Max spontan mengulum senyum. Sambil mengelus punggung wanita itu, ia menyimak penjelasan dari kliennya.

“Anda sudah menjadi sosok idola bagi semua penduduk di kepulauan ini, Nyonya. Kisah tentang keberanian Anda menyelamatkan Tuan Evans dari pembunuhan telah menginspirasi banyak orang. Sekarang, setelah berhadapan langsung dengan Anda, saya harus mengakui bahwa Anda memang sosok yang mengagumkan.”

Sedetik kemudian, pria bertopi putih itu menggeser pandangan ke arah Max. Kesan ramah di wajahnya seketika berubah menjadi sopan.

“Tidak hanya cantik, istri Anda juga memancarkan aura positif yang sangat hebat. Hanya dengan melihatnya saja, suasana mendadak berubah menjadi lebih cerah. Anda sangat beruntung memiliki istri seperti ini, Tuan.”

Tak mengira akan mendapat pujian sebesar itu, Gabriella sontak tertawa canggung. “Terima kasih, Tuan Abdul,” ujarnya malu-malu.

Sementara itu, Max tidak mampu lagi membendung rasa bangga dalam hatinya. Sambil menarik pinggang Gabriella untuk merapat padanya, ia menatap wanita itu lekat-lekat. “Ya, saya adalah pria yang paling beruntung karena bisa mendapatkan istri sehebat ini,” ucapnya tulus.

“Mamamama,” celoteh Cayden sambil menggerak-gerakkan tangan, berusaha menggapai ibunya. Ia seolah tak ingin kalah dari sang ayah, menyatakan bahwa dirinya juga bahagia terlahir dari rahim Gabriella.

Dengan berkembangnya kehangatan dalam hati, sang wanita pun kembali percaya diri. Ia tidak lagi memusingkan alasan mengapa semua mata tertuju padanya.

“Jadi, apakah kalian ingin memulai rapat sekarang?” tanya Gabriella sembari membelai kepala sang bayi lalu menaikkan alis di hadapan sang suami. “Biar kuajak Cayden berkeliling agar tidak mengganggu rapat.”

“Ya,” desah Max sambil mulai melepas strap carrier. “Kembalilah ke sini dalam setengah jam. Kurasa waktu itu cukup untuk diskusi pembuka. Benar begitu, Tuan Abdul?”

Tanpa berpikir panjang, pria bermata lebar itu mengangguk tegas. “Ya, tentu. Ajaklah Evans kecil ini ke ruang kemudi. Barangkali, dia akan terinspirasi untuk menjadi nakhoda di kemudian hari,” canda Abdul yang tak bisa melepas pandangan dari wajah lucu Cayden. Dasi bayi mungil itu sudah kembali miring.

“Apakah kami diizinkan masuk ke sana?” tanya Gabriella selagi Max menempatkan Cayden di dekapannya.

“Tentu. Saya sudah memerintahkan kru untuk menyambut kalian di seluruh bagian kapal ini, kecuali kamar mesin. Ruangan itu terlalu berbahaya untuk seorang bayi,” sahut si pemilik kapal pesiar dengan senyum lebar.

Sambil membalas dengan lengkung bibir yang sama, Gabriella berkata, “Terima kasih, Tuan Abdul. Anda sangat baik hati.”

Setelah membiarkan sang suami mengecup keningnya dan Pangeran Kecil, wanita itu melangkah pergi. Ia sudah tidak sabar mendengar decak kagum putranya di setiap bagian kapal.

Tanpa Gabriella sadari, sepasang mata biru tidak bosan mengamati langkahnya. Bahkan ketika orang-orang sudah tidak memandangnya lagi, mata itu masih terus menyoroti punggungnya.

“Siapa wanita itu?” tanya seorang pria berambut pirang dengan pakaian santai kepada kru yang baru saja meletakkan segelas cocktail di hadapannya.

“Itu Gabriella Evans, Tuan ..., istri dari pria yang sedang berbincang dengan Tuan Abdul,” jawab perempuan berseragam itu dengan mata berbinar. “Sepertinya, beliau adalah penumpang tercantik yang pernah disambut oleh kapal ini.”

Mendengar pernyataan semacam itu, si orang asing pun mendengus. “Bukan hanya di kapal ini, melainkan seluruh dunia. Dari semua tempat yang pernah kukunjungi, belum pernah ada wanita yang sanggup membuatku memandangnya lebih dari sepuluh menit.”

Selang satu embusan napas cepat, pria bermata biru itu tiba-tiba menjentikkan jari. “Ambil saja cocktail ini untukmu. Ada hal penting yang harus kulakukan.”

Selagi perempuan yang memegang baki tercengang, si orang asing berjalan menelusuri jejak Gabriella. Senyum misterius telah menggantung di wajahnya. 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel