Bab 15 Menjadi Dokter Pribadinya
Sadar bahwa topik pembicaraan mengarah padanya, Xavier hanya bersedekap dan mengangkat alis tanpa berkata apa-apa.
Revano lah yang berbicara terlebih dulu, "Ya, gampang kalau soal bayaran. Oh ya, sepertinya kita juga memiliki takdir untuk bertemu Nona Daneesa."
Kakek Bram menatap Daneesa dengan sedikit terkejut, lalu tatapannya beralih ke arah mereka.
"Kenapa? Kalian saling kenal?"
Revano tertawa. "Bukankah begitu?"
Dia menyentuh hidungnya dan mulai menjelaskan, "Sebelumnya saat mengendarai mobil dengan Tuan Xavier, kebetulan kami bertemu karena ada sedikit kesalahpahaman dengan Nona Daneesa di jalan karena mobil kami bertabrakan. Aku tidak tahu kalau Nona Daneesa adalah orang hebat."
Saat menyebutkan hal ini, suasana menjadi sedikit canggung.
Revano menoleh ke arah Daneesa, nadanya serius, "Nona Daneesa, mengenai masalah kecelakaan mobil, kami bisa melupakan masalah ini dan tidak meminta biaya kompensasi darimu. Jika bisa, kami berharap Nona bisa menjadi dokter pribadi tuan muda kami. Mengenai gaji, Nona bisa menyebutkan jumlah yang Nona mau."
Xavier tidak mengambil sikap, yang bisa diartikan sebagai persetujuan diam-diam.
Daneesa terdiam, tidak menyangka semuanya akan berjalan sampai sejauh ini.
Ini terlalu mendadak, dia menyangka hal ini akan terjadi. Pikirannya sedikit kacau dan dia tidak tahu harus menjawab apa.
Tanpa sadar dia berkata, "Aku tidak berani dianggap hebat olehmu. Jika aku orang hebat, aku tidak akan menjalani kehidupan yang menyedihkan seperti sekarang ini."
Kata-katanya merendahkan diri sendiri dan mencela diri sendiri.
Dia sendiri sekarang sudah dalam keadaan sangat terpuruk, bagaimana mungkin dia berani menganggap dirinya sebagai orang hebat?
Hanya saja, ketika perkataannya ini terdengar oleh orang lain, ini seperti dia memberikan penolakan secara halus.
"Nona Daneesa tidak setuju, apa ini karena masalah gaji? Tidak perlu sungkan, Nona bisa menyebutkan jumlahnya secara langsung."
Xavier akhirnya mengucapkan kata-kata pertamanya. Ini adalah pertama kalinya Daneesa mendengarnya berbicara.
Suaranya sangat merdu, rendah dan magnetis, seperti bisikan melodi yang menarik siapa pun ke arahnya. Sangat cocok dengan penampilan wajahnya yang begitu rupawan.
Daneesa memperkirakan identitas Xavier di dalam hatinya. Laki-laki ini sepertinya orang kaya atau bangsawan yang memiliki kekayaan tak terhitung.
Jika dia menyetujuinya hanya demi uang dua ratus juta, jika terjadi sesuatu selama pemeriksaan, kompensasi yang akan dia tanggung tidak hanya sekadar dua ratus juta saja.
Hal terbaik yang bisa dia lakukan adalah memberi mereka kompensasi, menarik diri dengan mereka dan menjalani kehidupan kecilnya dengan baik.
Memikirkan hal ini, dia dengan sopan menyatakan penolakannya, "Aku sadar akan kemampuanku dan tidak ada yang istimewa dalam diriku. Jadi, aku tidak akan main-main dan bersikap gegabah."
Setelah menolak dengan sopan dua kali, Kakek Bram juga bisa melihat bahwa dia tidak bersedia melakukan ini.
"Nona, kamu tidak bersedia menyembuhkannya, apa kamu bisa menceritakan apa alasannya?"
Dia masih tidak terpengaruh dan ingin berjuang untuk kesembuhan Xavier.
Seni pengobatan kuno bukanlah seni pengobatan biasa. Jika Daneesa bersedia melakukan perawatan kepada Xavier, tidak peduli apakah dia bisa menyembuhkannya atau tidak, dia pasti bisa memperbaiki kondisi fisik Xavier.
"Aku tidak cukup terampil dalam pengobatan dan menjadi dokter bagi siapa pun."
Di depan mereka, tentu saja dia tidak bisa mengatakan alasannya, hanya memberikan penolakan dengan samar.
Kakek Bram masih ingin mengatakan sesuatu yang lain, tetapi suara dingin Xavier terdengar lebih dulu, "Nona Daneesa, aku tidak akan memaksa jika kamu tidak setuju. Kakek Bram juga tidak perlu memaksanya."
Dia melirik Daneesa, pandangannya dingin dan seakan-akan bisa membekukan orang menjadi es. "Mungkin kali ini Nona Daneesa memang sedang beruntung. Jika Nona Daneesa benar-benar memiliki kemampuan medis yang sangat baik, mana mungkin dia menolak tawaran ini?"
Dia sama sekali tidak menyembunyikan ketidakpercayaan dan sarkasme dalam kata-katanya, bahkan terkesan memprovokasi.
Daneesa mengangkat alis dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba Kakek Bram gelisah dan melangkah maju, menepuk pundak Xavier.
"Apa yang kamu lakukan? Tidak mudah menemukan orang yang bisa menyelamatkan hidupmu. Apa kamu akan menyerah begitu saja, apa kamu mau mati?"
Xavier tidak mengatakan apa-apa dan melangkah ke tempat tidur.
Kakek Bram menoleh ke arah Daneesa, nadanya sedikit melembut, "Seperti kata pepatah, menyelamatkan satu nyawa lebih baik daripada membangun pagoda tujuh tingkat. Tolong bantu aku menyelamatkan anak ini, ya? Pertimbangkanlah demi hubungan bisnis kita yang sudah terjalin selama dua tahun ini."
Hati Daneesa langsung luluh ketika dia mengingat tahun di mana dia mengenal Kakek Bram. Kakek Bram memang memperlakukannya dengan baik.
Dalam berbisnis, dia tidak pernah berhemat, tidak pernah menahan diri untuk membantunya.
Bukankah ini karena Kakek Bram merasa kasihan kepadanya. Tidak mudah untuk menjadi seorang wanita yang membesarkan dua anak sendirian, jadi dia ingin menjaganya?
Jika Daneesa tidak setuju, dia khawatir akan menyinggung perasaan Kakek Bram dan membuat suasana menjadi canggung.
Setelah ini, dia masih harus datang ke mari untuk melakukan bisnis. Konsekuensi dari penolakannya akan sangat merepotkan.
Daneesa sedikit ragu untuk mengatakan ya.
Dia melirik Xavier, yang menunjukkan raut dingin dan tidak melihat siapa pun.
Dia duduk dengan tenang di tempat tidur sambil mengancingkan kancing kemeja hitamnya yang sedikit terbuka.
Hanya dengan pandangan sekilas, Daneesa bisa melihat dadanya. Kulitnya yang pucat berkilauan di bawah sinar matahari.
Tato warna-warni di dada kirinya pun terlihat di mata Daneesa, tampak seperti elang yang bermata tajam.