Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Pencarian Bibit Unggul dan Pria yang Tak Kunjung Unggul

Keesokan harinya, proyek "Kebun Obat Sriwedari" resmi dimulai. Langkah pertama: mencari lahan dan bibit tanaman obat unggul. Bima, dengan antusiasme orang kota yang baru terjun ke alam, sudah menyiapkan clipboard, drone kecil untuk pemetaan, dan aplikasi di tabletnya yang bisa menganalisis pH tanah dari foto.

Pak Kades, sebagai 'penanggung jawab utama', tentu saja tak mau ketinggalan. Dia muncul dengan outfit baru, celana trek hijau neon, sepatu boots hiking yang masih bersih mengkilat, dan sebuah tongkat hiking yang lebih cocok untuk mendaki Alpen daripada berjalan di pematang sawah Sriwedari. Dia juga membawa teropong, untuk... mengawasi burung? Atau mengawasi Juminten? Semua orang bisa menebak.

"Semua siap!" seru Pak Kades, berbicara seolah memimpin pasukan khusus. "Hari ini kita akan menemukan lahan dan bibit terbaik untuk kemajuan desa! Ikuti komandoku!"

Bima hanya mengangguk, menyembunyikan senyum kecut. Juminten, yang mengenakan pakaian yang praktis dan caping lebar, sudah siap dengan sekeranjang alat sederhana: linggis, sabit, dan indra perasanya yang terlatih.

Mereka berangkat. Bima berusaha menerbangkan dronenya. "Ini untuk memetakan area yang paling subur," jelasnya pada Pak Kades yang melihat dengan curiga.

BRRRZZZZZT! Drone itu lepas landas, lalu langsung oleng dan nyangkut di dahan pohon jambu. Bima mengutuk dalam hati.

"Teknologi!" cela Pak Kades, mendengus. "Untuk apa? Mata kita lebih jitu!" Dia mengangkat teropongnya dan malah mengarahkannya ke Juminten yang sedang membungkuk memeriksa tanah. "Hmm... tanah di area itu memang terlihat... subur sekali."

Misi pencarian lahan berjalan dengan... tidak mulus. Setiap kali Bima menunjukkan sebuah area berdasarkan data tabletnya, Pak Kades selalu menolak.

"Tidak bisa! Itu lahan basah! Bisa-bisa kebun kita jadi kolam renang!"

"Tidak! Itu terlalu dekat kuburan. Nanti jamunya berhantu!"

"Ah, itu terlalu jauh. Saya sebagai penanggung jawab harus bisa mengawasi setiap hari. Bagaimana kalau yang dekat rumah saya saja?" ujarnya, sambil melirik ke arah rumah Juminten.

Juminten akhirnya yang mengambil alih. Dengan pengetahuan turun-temurun, dia berjalan, merasakan tanah, mengamati vegetasi. Dia berhenti di sebuah lereng landai yang mendapat sinar matahari cukup dan dekat dengan sumber air.

"Di sini," katanya dengan yakin. "Tanahnya gembur, drainasenya bagus. Dulu nenek saya juga menanam di sekitar sini."

Bima mengambil sampel tanah dan memasukkannya ke dalam alat portabelnya. Tabletnya langsung berdering dengan grafik hijau. "Luar biasa! pHnya sempurna! Kandungan organiknya tinggi! Ibu Juminten, Anda lebih hebat dari sensor saya!"

Pak Kades, cemburu, segera mengambil kesempatan. "Tentu saja! Itu karena saya yang memimpinnya ke sini! Sudah saya duga dari tadi area ini yang terbaik!" ujarnya, padahal tadi dia lebih sibuk mengintip Juminten dengan teropong.

Lahan pun ditetapkan. Sekarang, pencarian bibit unggul.

Mereka menuju ke kebun Mbah Dirjo, seorang petani tua yang dikenal sebagai penyimpan bibit-bibit langka. Mbah Dirjo buta sebelah dan agak tuli.

"MBAAAAH!" teriak Pak Kades. "KAMI BUTUH BIBIT UNGGUL! UNGGUL!"

Mbah Dirjo mengernyit. "Bibit ulet? Ulet ulat? Di kubis saya banyak!"

"BUKAN! BIBIT UNGGUL! UNGGUL!" teriak Bima ikut membantu.

"OH! BIBIT BUNGUUUL! Bunga kenikir? Bunga tapak dara?"

Juminten maju. Dengan suara lembut tapi jelas, dia berkata, "Mbah, kami cari bibit jahe merah, kunyit putih, dan kencur yang bagus."

Mbah Dirjo langsung cerah. "Oh, jahe! Kunyit! Kencur! Ada! Tunggu sebentar!" Dia masuk ke gudang dan kembali dengan beberapa keranjang. "Ini yang terbaik! Kakek buyut saya yang menanamnya pertama kali!"

Bima dengan cekatan mengambil sebuah rimpang kunyit dan mengukurnya dengan jangka sorongnya, lalu memotong sedikit dan menaruhnya di alat analisis portabelnya.

"Kandungan kurkuminnya luar biasa! Ini level farmasi!" serunya takjub.

Pak Kades, tidak mau kalah, mengambil sebuah rimpang jahe besar. "Tentu! Lihat ini! Besarnya! Seperti... seperti...!" Matanya melirik ke arah tertentu di tubuh Juminten, lalu cepat-cepat berkata, "Seperti kekayaan alam kita yang melimpah!"

Dia mengangkat jahe itu tinggi-tinggi, berpose seperti Simba di Lion King. "Inilah calon raja kebun kita! Kita akan beri nama... Jahe Jantan Perkasa!"

Tiba-tiba, dari balik jahe itu, seekor ulat bulu besar dan gemuk merayap keluar dan langsung jatuh ke dalam kemeja Pak Kades.

"AAAAAAAKKKKKKK!!!!!!"

Teriakan Pak Kades memekakkan telinga. Dia berjingkat-jingkat, meronta-ronta, berusaha menggapai ulat yang merayap di punggungnya.

"Tolong! Ada monster! Keluarkan! Keluarkan!"

Bima dan Juminten bingung antara panik dan ingin tertawa. Suto dan yang lain berusaha membantu tetapi justru membuat Pak Kades semakin berputar-putar seperti gasing.

"Arah kiri, Pak!"

"Bukan, di kanan!"

"Wah, sudah sampai ke selangkangan, Pak!"

Akhirnya, dalam kepanikan, Pak Kades menarik kaosnya sendiri dan melepasnya hingga telanjang dada, perutnya yang buncit bergoyang-goyang. Ulat itu berhasil disikat dan jatuh ke tanah. Mbah Dirjo yang tadi hanya melihat dengan satu mata, mengangguk-angguk.

"Wah, ulatnya gendut. Bagus itu untuk umpan memancing."

Pak Kades berdiri terengah-engah, wajahnya merah padam, tubuhnya berkeringat, hanya mengenakan celana trek neon dan sepatu boots. Teropongnya tergantung miring. Wibawanya runtuh berantakan.

Bima berusaha mati-matian menahan tawa, pipinya sudah membesar. Juminten memalingkan muka, pundaknya bergerak-gerak menahan geli.

"Di... dokumentasikan jangan!" gerutu Pak Kades pada Bima yang memegang tablet. "Ini... ini insiden lapangan! Bisa terjadi pada siapa saja!"

Mereka kembali ke desa dengan membawa bibit-bibit unggul. Pak Kades berjalan dengan kepala tertunduk, memakai kembali kaosnya yang kotor dan berdebu. Citra 'penanggung jawab perkasa'nya hancur lebur digerogoti seekor ulat bulu.

Berita tentang "Tarian Telanjang Dada Pak Kades" tentu saja sudah sampai lebih dulu. Mbak Surti, yang mendengarnya, langsung membesarkan hatinya.

"Ha! Itu pertanda! Alam sendiri yang tidak menerima proyek bodoh itu! Ditandai dengan ulat! ULAT!"

Tapi bagi kebanyakan warga, insiden itu justru menjadi hiburan. Mereka mulai melihat Pak Kades bukan sebagai sosok yang menakutkan, tapi sebagai bahan tertawaan. Dan proyek kebun obat, dengan semua kekonyolannya, mulai terasa menyenangkan.

Di warung kopi, mereka tidak membicarakan kandungan kurkumin, tetapi menirukan gaya Pak Kades berjingkat-jingkat diterkam ulat.

"Saya kira itu tarian ritual memanggil hujan," kata seorang bapak sambil tertawa.

"Bukan, itu tarian modern namanya. Ulat-Dance," sahut yang lain.

Malam itu, di rumahnya, Pak Kades merenung. Hari ini adalah hari yang memalukan. Tapi satu hal yang membuatnya terus tersenyum kecut, dia melihat Juminten tersenyum. Bukan senyum sinis, tapi senyum tulus yang tertahan. Itu adalah pertama kalinya dia melihat Juminten hampir tertawa lepas.

Dan itu, baginya, hampir sepadan dengan serangan ulat bulu.

Sementara itu, Bima duduk di kamar hotelnya yang sederhana. Dia melihat foto-foto yang diambilnya hari itu. Foto Juminten yang sedang serius menganalisis tanah. Foto dia tersenyum melihat tingkah Pak Kades. Dia tersenyum. Proyek ini mungkin lebih rumit dari yang dia kira, tetapi juga lebih... hidup.

Dia tidak menyadari bahwa di seberang jalan, seorang perempuan—Mbak Surti—mengintip dari balik jendela, matanya menyala dengan rencana jahat. Kekonyolan hari ini tidak mengurungkan niatnya. Malah membuatnya semakin yakin, proyek ini dan Juminten harus dihentikan. Dengan cara apa pun.
Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel