Bab 1 Malam Bahagia
Bab 1 Malam Bahagia
Dira menggandeng erat lengan suaminya sambil melambai pada keluarga yang mengantar dirinya dan Berto. Kedua anaknya ingin mengikutinya tetapi ditahan oleh ibu kandung Dira.
Mereka akan bertolak ke luar kota yang hanya bisa ditempuh dengan jalur udara karena Berto punya tempat rekreasi favorit di sana. Sementara Dira hanya mengikuti saja keinginan suaminya.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Berto saat mereka sudah duduk di ruang tunggu bandara.
“Terima kasih karena sudah mau menikahiku,” balas Dira mempererat pelukannya pada lengan suaminya.
Dira, seorang wanita dengan pendidikan terakhir hanya di tingkat sekolah menengah atas. Ia sangat sederhana, hidup apa adanya bersama orang tuanya dan dua orang anaknya. Anak perempuan yang sulung dan anak laki-laki bungsu. Ia amat bahagia bisa bertemu dengan Berto, seorang duda tanpa anak. Dengan status Dira yang tak bersuami dengan dua orang anak, kehadiran Berto bagaikan oase di tengah gurun pasir.
Bunyi panggilan kalau sudah waktunya untuk mereka naik ke pesawat, membuat pasangan baru menikah itu harus berpindah tempat. Dengan sabar Dira menunggu Berto berdiri baru memegang tangannya untuk mereka mengantri di jalur masuk menuju pesawat.
Dari jauh orang akan melihat kalau ada perbedaan umur yang menyolok antara Dira dan suaminya. Memang ada jarak usia di antara mereka karena Dira baru menginjak dua puluh tujuh tahun sementara suaminya sudah di usia empat puluh enam tahun. Untunglah hanya beberapa lembar rambut yang terlihat mulai putih namun secara fisik, Berto masih gagah. Dengan mengatur cara berbusana saja, maka bisa menyamarkan usia Berto yang sebenarnya.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka lalu menempati tempat yang sudah ditentukan di tiket pesawat.
Dira tidak melepaskan diri dari suaminya. Dira memang senang bermanja-manja. Sebuah kelemahan yang membuat dirinya cepat tergoda dengan pria yang lembut dan memahami perasaan wanita. Dira apalagi akan cepat bekerja sama dengan pria yang suka membisikkan kata-kata lembut. Untunglah sekarang sudah ada Berto yang akan mendampinginya.
Mereka harus berada sekitar seratus dua puluh menit di atas udara. Mereka akan tiba di kota tujuan menjelang pukul setengah tujuh malam.
Perjalanan yang cukup panjang. Selama di pesawat Berto tertidur. Dira sendiri tidak bisa tertidur dengan postur tubuh duduk membuat ibu dua anak itu akhirnya melamun.
Dira mengingat kembali awal pertama ia berjumpa dengan Berto. Saat itu ia sedang dalam perjalanan untuk membeli nasi kuning untuk keluarganya sekitar pukul tujuh pagi. Tapi Dira tidak beruntung karena ban motornya pecah. Dira harus mendorong kendaraan beroda dua itu untuk mencari bengkel terdekat. Saat itulah Berto menghampirinya dengan mobil merahnya. Dengan penuh pengertian Berto menawarkan pertolongan dengan jaminan, motor Dira akan aman walaupun diparkir begitu saja di jalan umum. Berto akhirnya mengajak Dira ke tempat membeli sarapan. Sambil menanti makanan pesanannya dibungkus untuk keluarganya, Dira mencoba ayam krispi yang dipromosikan oleh Berto sebagai menu terbaik di restoran tersebut. Itulah perjumpaan pertama mereka. Berto membuatnya harus membawa pulang sarapan dua kali lipat dari jumlah anggota keluarga. Ia diantar ke rumahnya dan beberapa hari kemudian, motornya juga diantar tukang bengkel langsung ke rumahnya.
Sejak saat itu, Dira atau anggota keluarganya selalu menemukan sekuntum bunga di depan pintu rumah. Ditangkainya akan ada sematan kartu dengan kata-kata mutiara yang indah dan menyejukkan hati. Pengirimnya hanya berupa inisial. Sampai akhirnya Berto secara fisik muncul di hadapan orang tuanya.
Berto mengakui kalau dia yang telah mengirimkan semua bunga untuk Dira.
Dari peristiwa itulah hubungan mereka semakin erat dan hari demi hari berganti, pria tersebut memiliki banyak cara agar mendekati Dira. Pria itu tidak mau lagi untuk memberikan perhatian secara diam-diam dan menyembunyikan perasaannya. Dia ingin sekali untuk langsung menyatakan di hadapan Dira dan keluarganya. Berto sangat menginginkan dan berharap agar Dira bisa menerima cintanya.
Bukan hanya perbedaan usia yang ada di antara mereka tetapi juga latar belakang sosial budaya. Dira sangat bersyukur bisa menikah dengan Berto.
Lamunan Dira harus terusik karena pesawat yang mereka tumpangi ternyata sudah mendarat.
Ia membangunkan suaminya dengan perlahan lalu mereka turun. Tidak butuh waktu yang lama untuk mengambil bagasi. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke penginapan yang sudah dipesan oleh Berto.
Di dalam mobil, Dira mendengar Berto berbicara di ponselnya tapi ia tidak terlalu ingin tahu.
Satu jam kemudian mereka sudah tiba di tempat tujuan. Berto mengurus semuanya dan akhirnya mereka sampai di kamar. Aroma yang membuai penciuman mereka langsung menyambut kedatangan mereka begitu pintu dibuka. Dira sangat gembira karena sudah ada hidangan beserta lilin di teras kamar membuat suasana malam itu semakin romantis.
Dira memberikan kecupan pada pipi suaminya sambil berkata, “Terima kasih Sayang, aku suka.”
Berto tentu saja tidak menunggu lama. Ia langsung mendekap pinggang istrinya untuk melatih kelima panca inderanya. Tak ada lagi penghalang karena mereka sudah sah di depan masyarakat dan agama.
Namun, Dira tidak membiarkan mereka bertaut terlalu lama karena ia sudah sangat lapar. Makanan di atas pesawat tidak cocok untuk organ pencernaannya. Dira ingin segera merasakan hidangan yang sangat menggoda mata, tersaji tak jauh dari jangkauannya.
Berto dengan enggan melepaskan istrinya dan mengikuti permintaannya.
“Aku mau mandi sebentar. Setelah itu baru kita makan karena aku sudah sangat lapar,” kata Dira sambil membuka koper pakaian mereka.
“Kalau begitu kita mandi bersama saja biar menghemat waktu,” tawar Berto disertai senyuman jahilnya.
“Boleh. Itu ide yang bagus. Tapi, jangan sampai tergoda.”
“Aku punya hak karena sudah sah milikku,” balas Berto.
“Aku akan berikan semuanya setelah lambungku penuh. Kamu tidak akan tahan dengan tingkahku jika aku sedang lapar,” timpal Dira mulai menarik keluar piyama yang akan mereka gunakan nanti setelah mandi.
“Aku rasa kita tidak butuh semua ini.” Berto menunjuk beberapa potong pakaian yang istrinya gelar di tempat tidur.
“Aku tidak mau masuk angin. Kamu tinggal melucutinya nanti. Gampang, kan?” Dira sudah menghilang ke dalam kamar mandi tanpa mengunci pintunya.
Berto pun akhirnya juga mengikuti istrinya. Sesuai kesepakatan, tidak ada romansa dibawah kucuran air sehingga kurang dari sepuluh menit mereka berdua sudah duduk berhadapan di teras kamar berbalutkan handuk mandi.
Berto melarang Dira untuk berpakaian. Alasannya karena ia malas untuk melepaskannya lagi.
Dira hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perkataan Berto. Namun, ia tidak membantah. Mereka menikmati makan malam bersama untuk pertama kalinya sebagai pasangan suami istri.
Berto sengaja memesan spaghetti sebagai salah satu menu yang mereka makan paling terakhir. Alasannya karena Berto ingin mencoba sesuatu. Entah ia dapat ide dari mana. Sebelum menghabiskan menu terakhir tersebut, ia meminta Dira untuk duduk di pangkuannya.
Lalu ia menyuapi istrinya dan menggigit ujung dari makanan yang bentuknya seperti selang itu, sehingga bibir mereka akan bertemu nantinya.
Rencana nakal Berto untuk mengerjai istrinya itu berakhir dengan gelora panas di antara mereka berdua. Sajian terakhir itu belum juga mereka habiskan tapi mereka sudah sibuk dengan adegan yang lain.
Berto sudah menarik istrinya untuk naik ke atas pembaringan. Berto sudah tidak sabar lagi. Handuk mandi yang Dira pakai sudah Berto singkirkan. Pria gagah itu asyik menikmati milik kepunyaannya yang sah untuk beberapa saat. Namun, Dira merasakan ada yang janggal. Suaminya bukan sedang mencumbunya tetapi dalam keadaan yang berbeda.
Bersambung