2. Pertemuan Pertama
Chris memandang seorang gadis dari kejauhan. Jari-jari tangannya mengelus bibir tipisnya sambil berpikir, "Apa benar dia gadis yang dimaksud Ayah?" tanya Chris pada Anton.
"Benar, Tuan. Semua keterangan tentang gadis itu sudah ada di dalam file yang Anda pegang."
Chris melirik dan membuka map hitam yang ada di pangkuannya. Halaman pertama menampilkan foto Cindy yang tengah tersenyum sambil menyuapi seorang wanita yang duduk di kursi roda.
"Ini Ibunya?" tanya Chris sambil menunjuk foto itu.
"Iya, Tuan. Setelah kecelakaan 7 tahun yang lalu, Maria mengalami kelumpuhan."
Chris menggelengkan kepalanya dan menutup map itu, "Aku malas membaca, ceritakan secara singkat tentang gadis itu." Anton hanya mengangguk dan mengambil map yang diberikan oleh Chris.
"Nama gadis itu Madeline Cindy," Anton mulai bercerita, "Berusia 20 tahun. Hidup bersama Ibu dan adiknya yang bernama Caleb. Adiknya masih berusia 16 tahun dan duduk di sekolah menengah atas. Setelah lulus sekolah 2 tahun yang lalu, Cindy mulai bekerja secara penuh untuk menghidupi ibunya dan menyekolahkan adiknya."
"Tunggu, jadi dia bekerja sendiri?" tanya Chris tidak percaya.
"Benar. Saat masih sekolah dulu dia bekerja paruh waktu tapi setelah lulus, akhirnya dia bekerja penuh dengan mengambil beberapa pekerjaan."
"Di mana?" tanya Chris kembali menatap Cindy yang sedang duduk di taman sendirian.
"Bekerja di toko bunga milik Bibi Jane."
"Bibi Jane?" Chris bertanya dengan kening yang berkerut. Bibi Jane adalah wanita yang mengurusnya sejak kecil, ternyata dia berhenti bekerja karena permintaan Ayahnya untuk membantu Cindy.
Anton mengangguk membenarkan, "Benar, Tuan. Ayah Anda yang menyiapkan itu semua."
"Jadi selama ini Ayah sudah memantau gadis itu?"
"Benar, Tuan."
"Aku mengerti Anton, tapi aku masih tidak paham dengan jalan pikiran Ayah yang menyembunyikan ini semua." Setelah mengatakan itu, Chris langsung turun dari mobil dan menghampiri Cindy.
"Tuan! Tunggu!" Chris menghentikan langkahnya saat Anton memanggilnya.
"Apa?"
"Tuan serius ingin menampakkan diri? Tidak seperti Mr. Auredo yang menjaga gadis itu dari jauh?" Anton merasa ragu jika Chris akan melakukan wasiat Ayahnya dengan baik.
"Kau tahu jika itu bukan gayaku." Chris mendengus dan berlalu pergi meninggalkan Anton, melanjutkan langkahnya untuk menemui Cindy.
Chris menghentikan langkahnya ketika sudah berada di belakang gadis yang sudah memberikan tanda tanya besar di kepalanya. Dapat dia lihat jika Cindy sedang menggambar sesuatu di buku sketsanya.
"Suka menggambar, eh?" tanya Chris memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pria itu menunjukkan kesan dinginnya dengan tidak memandang Cindy secara langsung.
Cindy menoleh dan mengerutkan dahinya bingung. Dia mengeluarkan lollypop yang sedari tadi ada di mulutnya dan berbicara, "Kau bicara padaku?" Tunjuk Cindy pada dirinya sendiri.
"Kau suka menggambar?" Chris bertanya lagi dan mulai menatap mata Cindy secara langsung.
Cindy menatap Chris dengan pandangan aneh. Dia sedikit canggung saat berbicara dengan orang asing, "Seperti yang kau lihat, aku sedang menggambar dan bukan membaca."
Chris menaikkan alisnya tidak percaya saat mendengar nada tinggi yang Cindy gunakan. Kesan pertama yang Chris dapat dari gadis itu adalah dia orang yang tertutup dan sulit untuk bergaul.
Menarik.
"Ini." Chris memberikan kartu namanya pada Cindy.
"Apa itu?" tanya Cindy tanpa menoleh dan melanjutkan kegiatannya.
"Kartu namaku. Jika kau berminat, perusahaanku mengeluarkan beasiswa untuk sekolah desain."
Cindy langsung menoleh dan mengambil kartu nama itu cepat setelah mendengar ucapan Chris, "Beasiswa? Kau serius?" tanya Cindy memastikan.
"Ya, sebaiknya kau mulai belajar dari sekarang karena slot beasiswa hanya sedikit." Setelah itu Chris berbalik pergi dan kembali ke dalam mobil.
Cindy melihat kartu nama itu dengan ragu. Apa benar dia bisa mempercayai pria itu? Bahkan namanya saja dia tidak tahu.
Cindy meletakkan pensilnya dan menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia memutar kembali kejadian saat di mana pria asing itu datang menghampirinya dan menawarkan beasiswa. Bagaimana bisa pria itu tahu jika memang Cindy berpotensi untuk masuk, melihat hasil karyanya saja dia tidak.
"Dasar aneh!" ucap Cindy dan mengedarkan pandangannya ke seluruh taman untuk mencari Violet.
"Violet! Tetap bermain di sana dan jangan jauh-jauh!" Cindy sedikit berteriak agar Violet dapat mendengarnya.
"Aku akan tetap di sini, Kak. Kau menggambar saja sana!" Cindy mencebik begitu mendengar kata-kata pedas dari Violet. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kalimat itu, hanya saja telinganya risih jika ada anak kecil berusia 8 tahun seperti Violet yang bertingkah seperti orang dewasa.
Cindy kembali menatap kartu nama yang masih digenggamnya itu dengan pandangan bertanya. Dia membaca nama yang tertera dengan teliti.
Christopher Romee Auredo.
Cindy memiringkan kepalanya untuk mengingat-ingat, apakah dia pernah mendengar nama itu sebelumnya? Jika memang pria itu kaya dan mempunyai perusahaan tentu dia akan tahu bukan? Cindy masih berpikir dengan keras sampai akhirnya Violet datang dengan tubuhnya yang basah.
"Astaga, Violet! Kenapa bisa basah seperti ini?"
Cindy memasukkan kartu nama itu ke dalam tas dan menghampiri Violet yang sedang mengerucutkan bibirnya kesal. Dielusnya rambut Violet agar air tidak menetes pada wajahnya. Ingin rasanya Cindy mengomel tapi saat melihat bibir maju itu, dia mengurungkan niatnya. Semenyebalkan apapun Violet, dia tetap menyayanginya. Cindy tidak akan tega jika memarahi gadis cantik itu.
"Ada apa, hm?" tanya Cindy sekali lagi.
“Laki-laki bodoh itu tidak bisa bermain skateboard! Karena dia aku jadi masuk ke dalam kolam," ucap Violet menunjuk ke arah kolam air mancur tempatnya bermain tadi. Di sana terdapat laki-laki muda yang sedang tersenyum canggung padanya.
"Dia tidak sengaja Violet." Cindy berusaha untuk meredamkan amarah gadis kecil di hadapannya.
"Tapi tetap saja dia bodoh!"
Cindy meringis saat mendengar ucapan tidak sopan itu, "Apa kau mengatainya bodoh secara langsung?"
"Tentu saja! Saat aku masuk ke dalam kolam aku langsung mengatainya bodoh."
"Violet dengar..." Cindy menunduk dan menyamakan tingginya dengan Violet, "Kau tidak boleh berkata seperti itu. Kau perempuan dan kau juga masih kecil. Itu bukanlah kalimat yang bagus untuk kau ucapkan."
"Tapi dia menyebalkan, Cindy!"
"Aku tahu, apa dia sudah meminta maaf?" Violet hanya mengangguk dan mengerucutkan bibirnya kesal.
"Lihat, dia bahkan sudah meminta maaf. Seharusnya kau tidak boleh marah lagi. Jadilah gadis baik dan jangan buat Ibumu sedih."
"Baiklah, aku minta maaf."
"Pintar," ucap Cindy sambil memasangkan jaket rajut miliknya pada Violet agar tidak kedinginan.
"Karena aku menurut, bisakah kau membelikanku lollypop?" Minta Violet dengan polosnya.
"Tentu saja, tapi tunggu aku gajian." Cindy tersenyum lebar dan Violet hanya memutar bola matanya jengah.
"Violet, sudah berapa kali aku bilang jangan memutar—"
"Ya ya ya.. jangan memutar mata karena itu tidak sopan." Cindy kembali tersenyum dan merapikan barang miliknya.
Setelah itu dia berlalu pergi bersama dengan Violet yang menggenggam tangannya erat. Sudah jam 9 pagi dan seharusnya Rose sudah pulang sekarang. Seperti biasanya, saat pagi dia harus mengantar Violet ke sekolah tapi karena sekarang hari libur, maka dia harus membawa Violet jalan-jalan. Hal itu sudah menjadi permintaan Rose, Ibu Violet. Dia tidak ingin anaknya melihat dirinya datang dalam keadaan kacau setelah usai bekerja di kelab semalaman.
Semua yang Cindy lakukan itu tidak luput dari pandangan Chris. Pria itu masih berada di mobil dan mengawasi gerak-gerik gadis itu. Tidak ada yang mencurigakan dan seharusnya Chris tidak sepenasaran ini pada Cindy.
"Jalan," ucap Chris saat Cindy sudah pergi.
"Baik, Tuan."
"Aku masih belum mengerti apa alasan Ayah memintaku untuk menjaga gadis itu, aku harap kau segera menemukannya," kata Chris pada Anton.
"Baik, Tuan."
"Dan satu lagi, cari tahu siapa anak kecil itu."
"Sudah ada di dalam data, gadis kecil itu bernama Violet. Selain bekerja di toko bunga Bibi Jane, Cindy juga menjaga Violet saat Ibunya bekerja." Chris hanya mengelus dagunya saat mendengar penjelasan dari asistennya itu.
"Ton, aku minta kau siapkan 1 slot beasiswa di sekokah desain milik Nenek untuk Cindy," ucap Chris saat mengingat penawaran yang dia ajukan pada Cindy. Itu hanya pikiran spontan, Ayahnya meminta dia untuk menjaga Cindy dan dia sedang berusaha untuk melakukan itu sekarang.
"Baik, Tuan."
Chris tersenyum tipis, dia yakin hidupnya akan berubah mulai dari sekarang. Entah kenapa dia berpikir jika jalannya dalam menjaga Cindy akan terasa sulit. Namun dia menyukainya, karena dia menyukai tantangan.
Saat sedang terdiam memikirkan Cindy, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Dengan kesal Chris mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya saat ini. Chris menekan tombol merah begitu mengetahui siapa yang menghubunginya. Siapa lagi jika bukan Lexa. Hanya dia yang berani menghubunginya di jam-jam seperti ini. Seakan tidak menyerah, Lexa kembali menghubungi Chris dan membuat pria itu jengah. Akhirnya mau tidak mau Chris harus mengangkat panggilan itu.
"Apa?" jawab Chris datar.
"Kau ini ke mana saja?! Aku sudah menunggu di restoran sejak tadi!" teriak Lexa dari seberang sana.
Chris memejamkan matanya saat sadar jika dia sudah melupakan Lexa, padahal dia sudah berjanji untuk sarapan bersama, "Aku lupa," sahut Chris tanpa merasa bersalah.
"Lupa?! Kau selalu saja seperti ini! Apa kau ingin membuatku mati kelaparan, hah?!"
"Berhenti berteriak Lexa! aku sudah di jalan." Chris ikut emosi mendengar suara Lexa yang tidak berhenti berbicara itu.
"Kau sangat menyebal—"
"Aku matikan sekarang." Detik itu juga Chris segera menutup panggilan itu. Dia muak mendengar suara nyaring milik Lexa.
"Ke restoran sekarang." Perintah Chris pada Anton.
***
Cindy tersenyum saat mendapati mobil Rose sudah terparkir di parkiran apartemen. Sepertinya wanita itu datang lebih awal, "Lihat Ibumu sudah pulang." Tunjuk Cindy pada mobil tua milik Rose.
"Yes! Mom pasti akan membawa pizza. Dia sudah berjanji semalam." Cindy kembali tersenyum dan mulai masuk ke dalam apartemen yang menjadi tempat tinggal Rose bersama Violet.
"Kau tidak seharusnya terus memakan pizza. Itu tidak sehat."
"Apa salahnya? Pizza itu enak. Kau saja sering makan makanan instan. Apa bedanya?" Cindy terdiam saat mendengar ucapan Violet yang begitu menohoknya. Bukan tanpa alasan dia sering makan makanan instan karena dia memang harus memberikan makanan yang sehat terlebih dahulu untuk Caleb dan Ibunya. Cindy tidak masalah jika tidak makan sekalipun asalkan Ibu dan adiknya tetap bisa makan.
Cindy membuka pintu apartemen milik Rose dan meletakkan semua barangnya di sofa. Violet langsung berlari untuk menemui Ibunya tanpa memperdulikan bajunya yang basah.
"Mom!" teriak Violet mencari Ibunya.
"Di dapur, Sayang."
Cindy terduduk dengan lelah. Selama seminggu ini dia bekerja secara penuh. Mulai dari bekerja di toko bunga sampai menjaga Violet. Dia melakukannya dari pagi hingga malam. Meskipun sekarang hari minggu, dia harus tetap bekerja di toko bunga setelah ini. Tidak ada hari libur untuknya.
"Kau apakan anakku sampai basah seperti ini, Cindy?" Cindy membuka matanya saat melihat Rose menghampirinya sambil menggosok rambut basah milik Violet.
"Violet berenang di kolam tadi," jawab Cindy menggoda Violet.
"Aku tidak berenang!" ucap Violet dengan kesal, kemudian dia beralih pada Ibunya, "Mom, tadi ada anak yang bermain skateboard dan menabrakku, karena itu aku jatuh ke kolam dan jadi basah seperti ini."
"Benarkah?" Bukannya merasa khawatir, Rose malah tertawa geli.
"Kau sudah makan Cindy?" tanya Rose pada Cindy yang terlihat lelah.
Cindy membuka matanya dan menatap Rose lekat, "Kau tahu jika aku tidak suka sarapan, Rose."
Rose mendengus dan mengambil duduk di sebelah Cindy, "Ada pizza di dapur, makanlah."
"Baiklah jika kau memaksa." Tanpa membutuhkan banyak waktu, Cindy langsung beranjak ke dapur untuk menghampiri Violet yang sedang memakan pizza-nya.
"Bilang saja jika kau memang lapar! Dasar keras kepala." Rose terkekeh dan masuk ke dalam kamarnya.
Cindy meminum air putihnya saat sudah memakan 3 potong pizza. Setidaknya perutnya sudah terisi dan dapat bertahan sampai siang nanti. Tangannya meraih tisu dan mengelap bibir Violet yang masih memakan pizza-nya dengan tekun. Setelah Violet selesai makan, dia akan langsung ke toko. Hari minggu seperti ini pasti akan ramai sekali nantinya.
"Ini, gajimu selama seminggu." Rose memberikan amplop coklat pada Cindy.
Cindy memandang Rose dengan bingung, "Bukannya kau akan memberikan gaji setiap bulan? Kenapa jad— Astaga! Kau akan memecatku, Rose? Aku tidak menyangka hanya karena Violet jatuh ke kolam kau akan melakukan ini padaku."
"Mom kau akan memecat Cindy?" tanya Violet ikut sedih.
"Astaga, kalian ini berlebihan sekali! Aku tidak memecatmu, Cindy. Hanya saja mulai dari sekarang aku akan memberikan gajimu setiap minggu. Aku tahu kau pasti membutuhkan uang ini."
Cindy menghela nafas lega, "Aku pikir kau benar akan memecatku tadi."
"Tidak, aku masih membutuhkanmu di sini."
"Baiklah. Terima kasih, Rose." Cindy tersenyum dan menerima uang itu. Setelahnya, dia pamit untuk kembali bekerja di toko bunga milik Bibi Jane.
***
Chris mengelap bibirnya dengan tisu saat dia sudah menghabiskan makanannya. Sejak dia datang tadi, Lexa terus saja diam sebagai aksi marahnya. Chris malah bersyukur karena tidak mendengar suara melengking wanita itu sehingga dia bisa makan dengan tenang.
"Aku selesai," ucap Chris dan berdiri.
Lexa terkejut dan ikut berdiri, "Kau akan pergi lagi?"
"Aku harus ke kantor."
"Demi Tuhan! Sekarang hari minggu Chris." Lexa berbicara dengan wajah yang memerah. Sepertinya wanita itu akan marah lagi.
Chris menghela nafas lelah dan kembali duduk. Dia bersyukur jika Lexa memesan ruang privat untuk sarapan mereka, jika tidak dia akan malu melihat tingkah Lexa seperti ini.
"Jadi apa maumu sekarang?" tanya Chris mencoba untuk bersabar.
Lexa hanya tersenyum dan menghampiri Chris, secara tak terduga wanita itu langsung duduk di pangkuan Chris. Pria itu hanya mengerutkan dahinya saat Lexa mulai melingkarkan tangannya di lehernya.
"Apa kau tidak merindukanku?" tanya Lexa dengan nada yang menggoda.
"Aku harus ke kantor," ucap Chris sambil berusaha untuk melepaskan tangan wanita itu dari lehernya.
"Tapi aku merindukanmu." Setelah mengucapkan itu Lexa langsung menyambar bibir Chris. Dia melumat bibir pria itu berusaha untuk menggoyahkan pertahanannya dan sepertinya itu berhasil karena Chris mulai membalas ciumannya.
Mereka berciuman dengan panas sampai akhirnya Chris melepaskan ciuman mereka, "Ke tempatku sekarang." Setelah itu Chris berdiri dan Lexa langsung tertawa senang karena usahanya berhasil.
***
TBC