Ringkasan
Dibalik penampilan tampan Alexander, ia menyimpan masa kelam keluarganya. Pria itu memiliki seorang adik perempuan, mengurusnya sepenuh hati. Ia bekerja keras, menghalalkan segala cara untuk mendaptkan uang. Hingga seorang gadis cantik dengan mata Hazel pindah ke dalam sangkar emas yang ia buat untuk Olivia. Lorna mengusik kedamaiannya, citra dan hidupnya. Alexander membunuh siapapun yang ingin ia singkirkan, misteri yang ia punya di kemas rapi bagaikan satu kesatuan yang sulit di pecahkan. Bukan hanya untuk menuntut balas atas masa kelamnya, Alexander menuntut hidupnya.
Chapter 1 : Hazelnut Eyes
"Lorna, kau yakin tinggal di rumah flat itu?"
"Lantas, mau bagaimana lagi?"balasnya sembari menyesap pinggir gelas berisi hot coffelatte Mata hazelnya yang indah bergerak pelan, menyusuri ruangan café yang tidak terlalu ramai, Ia mengeluh pelan, malas memikirkan semua hal. "Bagaimana kalau kau tinggal di mansion ku?"tawar Olivia- sahabatnya tersebut mendadak.
Lorna tersenyum, memutar bola matanya asal. "Itu tidak mungkin, sejak kecil aku tidak pernah bersahabat dengan Alexander, dia akan mengusirku saat melihat wajahku di pekarangannya!"
"Ayolah, aku tidak bisa membiarkan sahabatku tidur di tempat kumuh itu, aku akan mengatasi kakaku yang satu itu, dia akan setuju!"rayu Olivia sembari memasang wajah penuh harapan.
Lorna diam sejenak, memikirkan banyak hal yang tengah ia rasakan, belum lagi masalahnya bersama Eric, kekasih sialannya yang mulai sibuk sejak beberapa bulan ini. Ah- ia mulai bosan dengan semua hal tersebut, maklum, Eric Stanley Hugo adalah penulis buku politik best seller, pria itu dekat dengan pemerintah, cukup riskan.
"Lorna!!"sentak Olivia dari lamunannya.
"Ah- sorry, sedang memikirkan banyak hal, akan ku pikirkan nanti untuk masalah mansion mu, tapi, aku pikir itu ide buruk!"celetuk Lorna sembari mengulum bibir merahnya. Olivia menggeleng, menarik jemari gadis itu dan meremasnya kuat, " aku jagoi acting, kau tenang saja, Alexander akan menerimamu di mansion. Lagipula, kita sudah bersahabat sejak umur empat tahun, keluarga Morgan dan Dulce sudah bersahabat nyaris 23 tahun," terang Olivia membuat Lorna diam. Ia tidak ingin mengambil keputusan buru-buru.
"Beri aku waktu satu hari untuk berpikir, Eric akan menemui ku malam ini,"ucap Lorna melirik arloji nya, nyaris pukul sembilan malam.
"Argh! Ayolah, kenapa kau harus menemui pria brengsek itu, Lorna. Aku pikir kau sudah putus, sungguh, dia kekasih yang benar-benar buruk, sikapnya terlalu baik dengan semua gadis, bastard!"cela Olivia malas.
"Ayolah, kau juga tahu, bahwa perasaanku sama sekali tidak utuh untuknya! Hanya iseng, sekadar status sialan agar aku tidak terlihat menyedihkan!"
"Kau Lorna Chameron Dulce, anak ilmuan terkenal dari Ferdinand dulce, untuk mendapatkan seorang pria, itu mudah. Kau bisa dapatkan yang lebih dari Erick,"tandas Olivia menyesap minumannya hingga tandas. Lorna hanya terkekeh, memijat keningnya yang terasa sakit. Sepertinya, ia benar-benar membutuhkan obat sekarang.
"Aku harus pulang, flat ku berantakan!"erang Lorna kasar, membuat wajah Olivia berubah. Ia masih ingin bersenang-senang. Tapi, baiklah, kali ini ia akan membebaskan sahabatnya itu dan segera meluncur ke mansion, mencari Alexander untuk membujuknya menerima Lorna.
"Ingat kataku, kau harus segera pindah ke mansion jika Alexander setuju, kau paham?"tukas Olivia menatap tajam Lorna yang hanya menjawab dengan menaikkan alisnya. Ia tidak ingin berjanji, jujur, gadis itu memiliki masalah dengan hatinya terhadap Alexander, Ia dian-diam mencintai pria arogan tersebut, hal tersebut terjadi begitu saja, namun, nyatanya ia memiliki banyak perubahan sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil enam tahun silam. Kemungkinan besar,kecelakaan tersebut di manipulasi.
"Bye!"Lorna meraih key supercars Lambhorghini aventador, 'satu-satunya' harta yang ia bawa keluar dari mansion keluarga Dulce. Ia tersenyum tipis, membiarkan Olivia yang membayar Bill nya dan mereka berpisah begitu saja.
Lorna mengeluh kasar, ya Tuhan, ia memiliki nasib sial sejak kehilangan mommy nya satu tahun lalu. Setelah sakit parah, melawan kanker ganas akhirnya Rose Chamerone Dulce meninggal dunia dan, belum genap setahun kepergian Rose, Ferdinand memilih menikahi wanita sialan yang membuat Lorna harus memisahkan diri, Ferdinand seakan tidak menganggapnya sama sekali. Ia di kucilkan, di singkirkan sejak kehadiran Sandra dan anaknya Jace yang berumur hamper sama seperti Alexander, 25 tahun. Ia menjadi salah satu agen CIA yang hamper di pecat, Sialnya- pria itu salah satu seniornya di Cambridge, kerap menggoda dan mengganggunya hingga sekarang.
DRRTTT!!
Ponsel Lorna bergetar, seseorang mengirim pesan singkat dan, seketika itu juga ia langsung memutar bola matanya malas. "Kenapa dia cepat sekali sampai di flat ku,"gumam Lorna sembari mengeluh kasar, Ia menekan salah satu tombol yang tersusun di setir, mengaktifkan layar untuk memutar music sedih lantas, segera melaju di tengah kota terpadat di Amerika serikat tersebut- New York.
___________________
Lorna memarkirkan supercars nya, meneliti sosok tegap yang berdiri dan menunggunya di bahu jalan, pria tersebut menghidupkan sebatang rokok, bersandar di atas bumper mobil mewahnya. "Okay, harusnya aku memang memutuskan Eric, aku terlihat bodoh dengan bersikap baik-baik saja di hadapannya,"batin Lorna, melangkah pelan hingga sampai di hadapan pria tersebut.
"Aku harus berangkat ke Arkansas besok pagi!"celetuk Eric datar tanpa menoleh ke arah gadis itu sedikitpun.
"Arkansas? Kenapa mendadak?"
"Aku memiliki urusan dan privasi,"balasnya singkat, membuat Lorna mengepal tangan kuat. Sial— pria ini tampak berbeda dari sejak pertama mereka berpacaran beberapa bulan lalu, Sejak nama Eric melejit, hubungan mereka memburuk, pria itu berkali-kali terjebak perselingkuhan. Lorna memaafkan, menurutnya itu biasa saja, lagipula, perasaannya tidak sama sekali untuk pria tersebut.
"Okay!"
Tap!!
Mendadak, Eric menarik tubuh gadis itu, merapatkan cukup kuat sekian menit. "Aku akan merindukan mu, I'm sorry, Lorna,"ucap pria itu terdengar tidak biasa. Suaranya parau, seperti akan terjadi sesuatu hal padanya.
"Eric kita—"
"Sebentar saja, aku hanya ingin memelukmu. Tidak lebih!"sanggah Eric membuat Lorna diam, ia menelan ludah, mengedarkan pandangan sebisanya di tempat yang tidak terlalu terang. Ia mengerutkan kening, memerhatikan sudut jalan.
"Siapa itu? Kenapa dia bersembunyi di sana?"pikir Lorna menatap tajam sosok yang mengenakan pakaian serba gelap, topi rendah yang berhasil menutup pandangannya. Ia penasaran, belum lagi, beberapa orang berpakaian santai ikut berlari, seakan mencari sesuatu.
"Ah, aku harus mengatakan sesuatu hal padamu!"Eric melepaskan pelukannya, menatap wajah Lorna sejenak. Membuat gadis itu terpaksa memalingkan pandangan dari apa yang membuatnya penasaran.
"Aku harap kita bisa putus!"
Deg!!
Lorna terdiam sejenak, menatap lekat wajah Erick. Ia mengepal tangannya keras, menelan ludah kasar.
Plakk!!
"Sialan! Harusnya aku yang lebih dulu mengatakan itu, berengsek! Jangan memohon lagi padaku!"ucap Lorna sembari memutar tubuhnya, segera ia melangkah, meninggalkan Eric begitu saja. Ia 'mengumpat-umpat' kasar, tidak terima karena hal memalukan tersebut.
Gadis itu melangkah cepat, menaiki elevator flat sembari mengetik ponselnya, ia mengumpat penuh, menceritakan semua kejadian barusan pada Olivia lewat pesan teks. Ia marah, tidak terima di perlakukan rendah oleh Eric sialan itu.
"Permisi miss,"tegur seseorang membuat Lorna menghentikan langkahnya, mengerutkan kening dan berdiri tepat di bibir pintu ruangan yang belum terbuka.
"Sorry!"ucapnya ingin tahu, sembari mengedarkan pandangan ke arah beberapa pria yang ada di hadapannya, lantas terhenti pada satu sosok yang familiar.
"Jace!"sebutnya heran. Seketika, pria tersebut menyelipkan diri, melewati sesama anggotanya dan berdiri di hadapan Lorna dekat.
"Kami mencari seseorang, aku harap kau bisa bekerja sama untuk—"
"Apa kau tidak lihat, aku baru saja pulang?"sanggah Lorna cepat. Malas melanjutkan ucapan mereka.
"Tapi hanya kau yang ada di lorong ini, mungkin kau melihat seseorang di sekitar sini, aku butuh—"
"Yah! Aku melihat seseorang. Kau dan teman-teman mu ini,"lagi, Lorna menyanggah. Membuat Jace melangkah semakin mendekat, mendorong nya hingga sampai di sisi pintu.
"Bersikap baiklah, walaupun beberapa menit. Aku sedang bekerja!"bisik Jace menatap gadis itu kuat. Lorna menurunkan pandangan, meremas kunci pintu flat nya dan memutar tubuh.
"Selamat malam, Lorna!"ucap Jace datar sembari melihat gadis itu membuka kuncinya, masuk ke dalam ruangan dan membanting kasar pintu tersebut.
"Dasar keras kepala!"tandas Jace membatin, ia tersenyum tipis sejenak dan mengeluh kasar.
"Sepertinya, kits kehilangan jejak,"ucap salah satu pria dengan setelan santai, berdiri tegap di hadapan Jace dengan wajah kesal.
"Yah! Kita bubar!"Jace mengeluh kasar, menoleh kembali ke sisi pintu dan mengangguk pelan, memberi tanda agar team nya segera pergi. Sial— ia yakin, besok akan menjadi sasaran kemarahan kepala cabang nya lagi. Ah! Ayolah, Jace mulai muak dengan pekerjaan ini, tidak ada titik terang sedikitpun.
Sementara Lorna membuang tasnya asal, melangkah ke arah dapur sejenak, ia membiarkan semua lampu mati, namun, cukup temaram akibat cahaya bulan yang membiasakan ke dalamnya.
Brakk!!
Mendadak, suara benda jatuh terdengar berderak, mata hazel gadis itu membulat takut. Ia berhenti melangkah, mencoba mencari sumber suara. "Sialan, siapa—"gumam Lorna tidak menyelesaikan pernyataannya. Ia meraih raket nyamuk yang ada di sisi lemari tinggi, memegang kuat benda tersebut dengan dua tangan.
"Hello,"tukasnya kembali, takut dan waspada dalam melangkahkan kakinya. Ia menggigit bibir, mulai merasakan getaran yang teramat kuat di dalam tubuhnya.
Tap!
Lorna berhenti melangkah, saat melihat sebuah bayangan hitam dari sisi tembok ruang tamunya, ia menelan Saliva, semakin kuat memegang raket nyamuk yang akan ia fungsikan. "Sialan, siapa kau—"
Tapp!! Braaakk!!!"
Lorna berteriak, mengayunkan raket ke sosok tersebut, namun, sialnya orang asing itu menekan tangannya dan langsung membuat raket itu jatuh, nyaris mengenai ujung kakinya.
"Diam!"ucap sosok itu tegas. Lorna terdiam, merasakan mulutnya terbungkam dengan tangan yang terasa kuat. Sementara tubuhnya melekat di tembok besar. Ia ketakutan, bergetar dan mendadak kedinginan.
"Please,"erang Lorna berusaha menggerakkan mulutnya, tidak jelas.
"Aku akan melakukan sesuatu hal jika kau bergerak, jangan buka matamu sebelum perintahku,"ucap nya lagi parau. Suara seorang pria, terdengar cukup berat. Entahlah— Lorna tidak mampu mendeteksi siapa sosok tersebut. Kepalanya terlalu sakit, di kuasai perasaan lain.
Tok! Tok! Tok!
Lorna membulatkan mata, mencoba menjamah wajah pria tersebut saat ia mendengar seseorang mengetuk pintu flat nya. Namun, percuma pria tersebut memalingkan wajahnya, meletakkan lebih maju tepat di sisi kanan wajah Lorna.
"Lepas!!"sentak gadis itu sembari mendorong tubuh kuat pria tersebut. Ia mencoba melangkah, namun, cekalan pria itu lebih kuat dan, mendadak Lorna terdiam kembali, merasakan sebuah hal tidak wajar bergerak di bibirnya.
Pria asing itu menciumnya, menekan bibirnya dalam, seakan ingin gadis tersebut menutup matanya rapat tanpa suara. Lorna seperti terhipnotis, tidak kuasa menolak, ciuman tersebut terlalu menuntut, hingga suara ketukan pintu flat nya berhenti. Keduanya masih berciuman, merapatkan bibir hingga sekian menit. Tidak sampai di situ, Lorna berhasil menghirup aroma parfum mahal dari tubuh pria itu, ia membuka mata, bersamaan dengan sosok tersebut dan melihat pancaran warna hazelnut yang indah dari mata pria asing itu. Siapa? Entahlah, Lorna hanya diam, menikmati semuanya tanpa berpikir panjang. Lidahnya seakan kelu, letih akibat cumbuan yang terasa panas.
Hingga pada menit kemudian, ciuman itu terlepas dan sosok asing tersebut memutar tubuhnya, untuk menghadap ke tembok. Ia menekannya dalam, mengecup puncak kepala gadis itu rapat lantas turun ke area leher. "Jangan putar tubuhmu sebelum aku pergi,"bisik nya pelan, lantas, bergerak mundur. Pria itu bergerak, merapatkan hoodie di wajah yang tampak kokoh.
Lorna kembali menurut, sungguh, ia tidak sanggup mengetahui siapa pria yang baru saja mencuri ciuman darinya, katakan, ini gila. Sangat gila untuk pengalaman awal. Gadis itu menelan ludah kasar, memerhatikan bayangan gelap itu melangkah menjauh dan hilang dari pandangannya. Ia berdebar, bukan karena takut, namun akibat sentuhan yang tidak bisa di tolaknya. Ya Tuhan, kepalanya berputar-putar oleh satu hal, tolong ia butuh tidur, wangi pria itu mahal. Lorna yakin, dia bukan pria sembarang, tampaknya cukup tampan.
***********************
"Ya Tuhan, Olivia benar, aku tidak bisa tinggal di flat ini. Tempat ini tidak aman."Lorna berdecak sebal, ia mengacak rambutnya, lantas mengeluh kasar. Masih memikirkan semua tawaran sahabatnya tersebut.
"Siapa yang berani melakukan ini padaku! Dia terlihat familiar, tapi—"Lorna berusaha mengingat, ia memijat kening nya kuat mencoba berpikir keras. Ah— semua tidak ada gunanya.
Drrrtt!!
Lorna menoleh, meneliti sebuah sumber suara yang terdengar cukup lantang. Ia mengeluh kasar, malas untuk menerima panggilan dari siapapun. Tapi, baiklah, Lorna bukan tipe gadis yang mengabaikan sesuatu hal. Ia penasaran.
"Eric, kenapa dia menelpon ku?"pikir nya sembari menatap layar ponsel tersebut. Ia sedikit ragu, namun tetap saja, jari lancang nya itu menekan warna hijau seakan bentuk penerimaan.
"Erick!"
"Lorna, dengarkan aku dengan benar, kau harus tahu sesuatu hal, sejujurnya—"
Tuuttttt!!
Panggilan mendadak terputus, gadis itu mengerutkan kening dan melihat layar ponselnya. "Sepertinya dia sedang mabuk, dasar pria sialan!"umpat Lorna masih tidak terima dengan keputusan Erick yang memutuskan hubungannya begitu saja. Ia merasa terhina.
"Aku akan mengabari Olivia!"Lorna menekan ponselnya, lantas, melihat kembali nama Erick yang berhasil membuatnya frustasi.
"Ah! Tidak penting!"gadis itu menghapus nomor Erick, memblokirnya cepat, lantas menghapus semua hal yang berkaitan dengan pria tersebut.
"Olivia, kau belum tidur?"tanya Lorna, sembari merapatkan ponsel nya, saat mendengar suara gadis itu di ujung sana.
"Yah! Aku menunggu Alexander, kenapa?"tanya nya datar.
"Aku dan Erick putus,"jelas Laura. Olivia mengangkat salah satu alisnya, lalu tertawa terbahak-bahak. Ia begitu bahagia, sangat setuju dengan keputusan yang di ambil Lorna.
"Tapi, ada sesuatu hal yang aneh!"aku Lorna terdengar serius membuat Olivia terdiam.
"Aneh? Apa kau pikir Erick akan bunuh diri?"
"Ayolah, kau sedang serius Olivia. Barusan dia menghubungi ku kembali dan dari nadanya, aku bisa mendengar suara penuh ketakutan, ia bergetar dan panggilannya mati begitu saja!"
"Lorna, kau jangan heran! Bukannya dia selalu bersikap seperti itu dengan mu? Aku yakin, dia mungkin sedang berada di hotel atau mabuk bersama puluhan gadis. Ayolah, jangan di pikirkan!"ucap Olivia mencoba meyakinkan.
"Olivia, aku setuju untuk tinggal di flat mu, seseorang baru saja—"Lorna menghentikan ucapannya, ia melihat ke area pintu. Mencoba mengingat adegan yang berhasil menyita perhatiannya. Tuhan, mendadak, bulu kuduknya berdiri. Ia bergetar takut.
"Lorna!"sentak Olivia membuat lamunan gadis itu buyar seketika. "Ah sorry, aku tidak mendengar mu, aku harus istirahat, kabari aku jika Alexander setuju!"
"Hm okay, istirahatlah. Jangan terlalu di pikirkan. Alexander akan setuju!"ucap Olivia lantas tersenyum simpul.
"Okay, night baby!"Lorna memutuskan panggilan dan langsung menjauhkan benda itu dari telinganya.
"Aku harus berkemas, Alexander setuju atau tidak, aku akan tetap pindah dari flat ini!"ucapnya sembari beranjak, ia takut jika kejadian yang sama akan terjadi. Apalagi Jace tahu kediamannya, ia tidak ingin mendapat kunjungan mendadak dari pria idiot itu.