Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Suatu Kebetulan

Suara sorakan terdengar menggema saat Aldric—yang dikenal sebagai Dewa Judi— kembali menang tiga kali berturut-turut. Wajah Lukas tampak pias begitu tidak ada uang lagi yang tersisa. Namun dia ingin lagi! Dia tidak akan pernah puas jika belum bisa mengalahkan Aldric.

"Bagaimana?" tanya Aldric sambil melipat kedua tangannya.

"Jangan senang dulu, Master. Kita main sekali lagi. Aku yakin kali ini akan menang."

Aldric menggaruk pelipisnya pelan dan menunjuk uang Lukas yang hanya tinggal beberapa lembar, "Sepertinya uangmu sudah habis."

"Kalau begitu pinjami aku uang," jawab Lukas santai, "Kali ini kita bertaruh, jika aku menang maka semua utangku lunas."

"Dan jika aku yang menang?"

Lukas mendengkus, "Bodoh! Tentu saja utangku bertambah. Jangan konyol."

"Tidak ada untungnya untukku." Aldric berdiri dan mulai mengenakan jaketnya. Dia tidak perlu menanggapi pemuda bodoh yang terobsesi untuk mengalahkannya itu.

"Tunggu! Baiklah, tiga kali lipat." Lukas mencegah Aldric untuk pergi, "Utangku akan bertambah tiga kali lipat jika aku kalah."

Aldric menggelengkan kepalanya tidak percaya dan kembali duduk. Lukas bertindak sangat bodoh. Semua orang juga tahu siapa yang akan menang. Bermodal tekat saja tidaklah cukup. Hutang tiga kali lipat itu sudah bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil sport jika Lukas mau.

"Dasar bodoh!" umpat Aldric saat Lukas kembali kalah. Pria itu begitu keras kepala untuk tetap bermain. Tentu saja dia akan kalah! Tidak ada yang bisa menandingi kehebatan Aldric di meja judi.

"Satu minggu, aku beri waktu satu minggu untuk melunasi semua utangmu." Aldric berdiri dan berjalan menjauh.

"Hei, tunggu! Kenapa cepat sekali?!"

Aldric tetap berjalan meninggalkan Lukas yang berteriak frustrasi. Pemuda bodoh yang labil. Aldric tidak suka itu, bahkan dia tidak sebodoh dan selugu itu dulu dalam menangani banyak hal. Terbukti dengan usianya yang baru berkepala tiga, dia sudah berhasil menjadi pembunuh bayaran profesional.

***

Betty mendengkus mendengar suara nyaring nan merdu dari seberang telepon. Rubby selalu saja mengganggunya, tapi itu tidak masalah. Sejak kedatangan Rubby di hidupnya, Betty mulai merasakan bagaimana rasanya mempunyai teman. Rubby akan maju di barisan paling depan jika Betty mengalami sesuatu. Meskipun tak jarang sahabatnya itu juga selalu membuatnya kesal.

"Iya, roti isi ikan tuna dengan ekstra selada, aku paham."

"Ah, kau memang yang terbaik Betty. Aku menyayangimu!"

Betty mendengus, "Hentikan, itu menjijikkan." Rubby hanya tertawa di seberang sana dan panggilan berakhir.

Jam sudah menunjukkan pukul enam petang dan dia harus segera membeli pesanan Rubby jika tidak ingin pulang malam. Betty juga akan membeli roti isi untuk makan malamnya nanti. Hidup sendiri di kota besar seperti ini membuatnya harus mandiri. Untung saja dia sudah mempunyai pekerjaan yang dia sukai.

Langkah Betty berubah pelan saat melewati gang yang menjadi tempat tewasnya Gordon. Tidak ada hal yang mencurigakan di sana. Bahkan garis polisi pun tidak ada. Tempat itu tampak biasa saja tanpa keanehan sedikitpun. Betty bergidik ngeri saat mengingat kejadian semalam, kejadian menakutkan yang tidak akan pernah bisa hilang dari otaknya.

Lonceng berbunyi saat Betty memasuki kedai. Bibirnya tersenyum ketika melihat Khalid—pemilik kedai—yang sudah menyambutnya.

"Seperti biasa, Betty?"

Betty mengangguk, "Ya, tambah satu lagi isi tuna dengan ekstra selada."

"Ah, untuk si pirang?" tanya Khalid mulai membuat pesanan Betty.

"Ya, dia merindukan roti isi buatanmu."

Khalid tertawa, "Tidak ada yang bisa menandingi roti isi milikku."

Betty bersandar pada meja sambil menyaksikan begitu lihainya tangan Khalid dalam membuat pesanannya. Melihat itu, perut Betty mulai bergemuruh. Dia tidak sabar untuk menikmati makanan sederhana itu.

"Khalid, berikan aku salad." Betty mengalihkan pandangannya begitu mendengar suara yang terdengar tidak asing untuknya.

Benar saja! Mata bening itu membulat begitu melihat pria yang ditemuinya semalam di zoo bar & club. Sialan! Dia tidak menyangka jika akan bertemu dengan pria menakutkan itu lagi.

"Kau!" ucap Betty terkejut.

"Ahh, Ric! Lama tidak melihatmu." Khalid menyapa Aldric dan tersenyum.

"Ric?" tanya Betty bingung. Siapa Ric? Bukannya pria itu bernama Al?

Seolah sadar dengan apa yang terjadi. Aldric menatap Betty dengan tajam. Ada sarat akan ancaman di sana dan Betty sadar dengan itu.

"Kau mengenal Betty, Ric?" tanya Khalid saat melihat interaksi kedua orang itu.

"Tidak." Aldric melirik Betty sebentar dan mulai duduk di kursi, menunggu pesanannya siap.

Betty memilih menunduk dan menggeser duduknya. Entah kenapa dia merasakan aura menyeramkan sejak Aldric datang dan dia tidak menyukai itu. Betty sudah berdoa ke pada Tuhan agar tidak bertemu lagi dengan pria itu, tapi lihat sekarang? Doanya seperti sedang menghianatinya. Pria menyeramkan itu sudah berada di sampingnya dengan jarak yang begitu dekat.

Aldric tersenyum melihat reaksi Betty. Gadis itu ketakutan dan entah kenapa Aldric menyukainya. Ketika melihat Khalid sibuk dengan makanannya, Aldric mulai menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap Betty dari atas ke bawah. Tatapan aneh yang membuat Betty risih. Gadis itu lebih memilih untuk menutup mulut dari pada mendapatkan tatapan tajam dari Aldric.

"Kita bertemu lagi," ucap Aldric dengan pelan.

Betty semakin menunduk, bertingkah seolah tidak mendengar apa yang dikatakan pria di sampingnya.

Aldric menggeleng tidak percaya. Dia tersenyum manis, senyum yang penuh akan maksud, "Sudah melupakanku ternyata." Aldric berusaha memancing Betty untuk membuka suara, "Apa aku harus mengingatkanmu akan perut Gordon yang terbuka lebar?"

Aldric kembali tersenyum saat berhasil membuat Betty melihatnya. Mata gadis itu benar-benar indah jika diperhatikan dari balik kaca mata tebal itu. Aldric tidak tahu apa warna mata Betty, tapi yang pasti warna mata itu begitu langka. Sangat menarik.

"Bisakah kau diam?" ucap Betty dengan tenang. Tidak terlihat marah atau apapun itu. Namun Aldric tahu jika Betty menyembunyikan ekspresi aslinya sekarang.

"Ah, kembali menjadi singa betina, Betty?"

Mata Betty membulat mendengar ucapan Aldric. Pria itu mengetahui namanya. Betty sangat ingat jika dia tidak pernah menyebutkan namanya semalam. Dari mana pria itu mengetahuinya?

"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Betty gugup. Jujur saja dia takut dengan pria misterius itu.

"Ini pesananmu, Beth. Dan ini milikmu, Ric." Khalid datang dengan membawa dua bungkus makanan.

Aldric menunjuk Khalid sebagai jawaban. "Dia menyebutkan namamu tadi. Jadi jangan menatapku seolah aku adalah pria menakutkan."

"Kau memang menakutkan," gumam Betty dan mulai bangkit.

"Kau apa?" tanya Aldric menatap Betty tidak percaya. Dia mendengar jelas ucapan gadis itu tadi.

"Tidak. Aku tidak mengatakan apapun." Dengan cepat Betty membayar makanannya dan berlalu keluar.

"Aku akan membayar ini nanti, aku pergi dulu." Aldric yang merasa diacuhkan langsung mengikuti Betty tanpa menatap Khalid yang berdecak kesal.

Betty melangkah dengan cepat berharap jika akan segera sampai di flat-nya. Pertemuannya dengan Aldric benar-benar membuatnya takut dan trauma. Dia tidak percaya jika akan bertemu dengan pria seperti Aldric, pria yang Betty yakini hidup di dunia yang gelap.

Suara klakson membuat Betty terkejut dan menyentuh dadanya. Mobil Aston Martin keluaran lama berjalan pelan di sampingnya. Begitu jendela mobil terbuka, Betty mendengkus. Langkahnya semakin cepat membuat Aldric kembali menekan klakson beberapa kali.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Betty kesal.

"Aku antar pulang, ayo masuk." Ajak Aldric di luar dugaan. Kenapa? Pria itu mengajaknya dengan wajah datar. Apa bisa Betty menerima ajakannya begitu saja?

"Tidak, terima kasih." Betty kembali berjalan membuat Aldric berdecak.

"Aku tidak suka penolakan, Beth. Anggap saja ini ucapan terima kasihku akan semalam."

"Tidak perlu! Flat-ku sebentar lagi terlihat, kau tidak perlu mengantarku." tunjuk Betty pada salah satu gedung yang masih terlihat lumayan jauh.

Aldric tersenyum tipis dan mengangguk. Tanpa disadari Betty sudah menunjukkan letak tempat tinggalnya. Namun seolah tidak peduli, Aldric membuka mobilnya untuk Betty dan kembali meminta gadis itu untuk masuk.

"Masuklah,"

"Al, aku tida—"

"Pelankan suaramu!" bentak Aldric tiba-tiba membuat Betty mundur selangkah, "Masuk, Beth. Aku tidak akan memintanya lagi." Aldric kembali melembut saat Betty mulai ketakutan akan bentakannya.

Entah apa yang dipikirkan Betty, tapi saat ini dia sudah berada di dalam mobil Aldric. Dia seperti terhipnotis saat mendengar bentakan pria itu tadi. Betty tidak pernah dibentak, bahkan kedua orang tuanya yang sudah meninggal pun tidak pernah membentaknya.

"Jangan panggil aku Al."

Betty menatap Aldric bingung, "Kenapa?"

"Jangan sebut namaku, kau hanya boleh memanggilku Aldric ketika kita hanya berdua."

Tiba-tiba Betty berdecak membuat Aldric terkejut. Akhirnya gadis itu mau mengeluarkan ekspresi baru. "Kau berkata seolah kita akan bertemu lagi nanti,” ucap Betty.

Lampu merah berlangsung cukup lama. Aldric menatap jalanan sambil menunggu. Matanya beralih pada mobil jeep hitam di sampingnya dengan pandangan tertarik. Cukup mencolok dengan kaca gelap yang tidak dapat dilihat orang. Namun entah kenapa insting Aldric berkata lain.

Pandangannya beralih pada sebelah kiri mobil dan mendapati mobil yang sama. Gurat emosi muncul saat mobil yang sama juga Aldric temukan di belakangnya. Aldric menggeleng tidak percaya melihat itu. Dia sudah dikepung, entah oleh siapa.

Ketika lampu telah berubah warna, dengan cepat Aldric melajukan mobilnya sampai membuat Betty berteriak histeris. Gadis itu terkejut dengan apa yang dilakukan Aldric. Keadaan jalan yang ramai itu seolah tidak berarti apa-apa. Pria itu masih menyetir dengan santai tanpa adanya guratan ketakutan.

"Apa yang kau lakukan?! Ya Tuhan, tolong aku! Aku tidak mau mati. Aldric ada apa ini?" Betty terus berteriak dan berdoa untuk keselamatannya. Ini bukan lagi jalan menuju flat-nya. Tempat tinggalnya sudah berada jauh di belakang sana.

"Aldric aku takut, aku mohon berhenti!"

"Pejamkan matamu." Hanya itu yang Aldric ucapkan dan Betty menurut. Perutnya sudah mual dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain memejamkan mata dan berdoa.

Cukup lama mereka berkendara. Bibir Betty masih bergumam meminta keselamatan. Rasa tubuh yang melayang menandakan jika kecepatan mobil tidak menurun sama sekali. Betty berasa bodoh karena menerima ajakan Aldric tadi. Jika tahu akan seperti ini dia lebih memilih untuk jalan kaki. Peduli setan dengan ancaman pria itu. Dia saja yang bodoh karena terlalu menurut.

"Buka matamu," ucap Aldric tiba-tiba.

Betty mulai membuka matanya dan pandangannya mengedar ke segala arah. Dia mendapati dirinya sudah berada di bawah jembatan, tepat di samping sungai. Betty mengalihkan tatapannya pada Aldric. Pria itu masih duduk kaku dengan tangan yang mencengkeram setir mobil dengan erat. Keningnya berkerut dalam menandakan jika ia sedang berpikir keras saat ini.

Dengan takut Betty memanggil, "Al?"

Tidak ada sahutan. Tangan Betty perlahan mulai menyentuh lengan Aldric. "Al?" panggilnya lagi yang membuat Aldric mulai menatapnya.

Pria itu menatap tangan Betty yang berada di lengannya. Begitu hangat dan menyengat. Lagi-lagi Aldric merasakan reaksi aneh pada tubuhnya. Ada apa ini?

Sadar dengan tatapan Aldric, Betty dengan cepat menarik tangannya dan menunduk, "Ma—maaf. Aku tidak bermak—"

Betty kembali mengangkat kepalanya saat mendengar suara pintu yang dibuka. Aldric keluar dari mobil dan bersandar pada pintu. Tatapannya menatap jauh ke arah sungai yang dihiasi oleh banyak lampu. Langit sudah mulai gelap dan lampu-lampu itu membuat sungai menjadi lebih indah, tapi tidak untuk Betty. Suasana hatinya begitu kelam dengan keberadaan Aldric di sampingnya.

Dengan ragu, Betty turun dari mobil dan menghampiri Aldric. Berdiri di sampingnya dan ikut menatap air sungai yang berkilauan.

"Sebenarnya ada apa?" tanya Betty hati-hati. Dia memang takut, tapi rasa penasaran itu lebih menguasai hatinya.

"Pedro sialan!" umpat Aldric pelan. Tiga mobil jeep yang mengikutinya tadi tentu mempunyai maksud. Aldric yakin jika itu adalah ulah Pedro. Pria tua itu kembali mengirim anak buahnya untuk mengawasinya, atau bahkan membunuhnya kali ini.

"Siapa Pedro?"

Aldric menatap Betty kesal. Gadis itu begitu banyak bicara dan dia tidak menyukainya. Namun rasa kesal itu hilang saat tubuhnya seolah tenggelam ke dalam mata indah Betty. Warna biru bercampur abu dan hijau, itu yang membuat Aldric tenggelam.

Begitu indah.

"Al? Kau tidak apa?" tanya Betty tidak sadar akan tatapan terpesona yang Aldric berikan.

Aldric kembali menatap sungai dan mulai mengeluarkan rokoknya. Betty sendiri memilih diam karena bertanya pun akan sia-sia. Aldric tidak akan mau menjawab pertanyaannya. Suara dering telepon membuyarkan lamunan mereka. Aldric mengambil ponselnya dan menemukan nama Keyond di sana.

"Ya?" sapa Aldric sambil menghembuskan asap rokoknya.

"Cregwal Lincoln! Dia selanjutnya." Sambungan telepon terputus begitu saja.

Keyond sialan!

"Kita pulang sekarang," ajak Aldric.

Dengan semangat Betty mengangguk dan berlari kecil memasuki mobil. Akhirnya hari menegangkan bersama Aldric akan berakhir. Dia tidak akan berhenti berdoa pada Tuhan agar benar-benar menjauhkannya dari pria seperti Aldric

***

TBC

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel