Pustaka
Bahasa Indonesia

Terjerat Cinta Istri Muda Papa

47.0K · Ongoing
S. Wahyuni
47
Bab
945
View
9.0
Rating

Ringkasan

Setelah kehilangan ibunya, Arga kuliah di Bandung, tetapi dikecewakan oleh kekasihnya, Viola, yang berselingkuh. Ia pun kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya. Namun, kepulangannya membawa kejutan. Ayahnya, Bima, telah menikahi Maria—seorang wanita muda yang ternyata lima tahun lebih muda dari Arga sendiri. Awalnya sulit menerima, tapi seiring waktu, Arga mulai merasakan sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Mampukah Arga mengendalikan perasaannya atau justru terjerat dalam cinta terlarang?

Metropolitan

Bab 1

Bab 1

Arga menghempaskan tasnya di kursi ruang tamu rumah yang terasa sangat asing meski tak banyak berubah. Tiga tahun di Bandung membuatnya merasa sedikit terlepas dari tempat ini, tempat yang dulunya ia sebut rumah. Rumah itu sunyi. Aroma lembut yang biasa ia hirup setiap kali ibunya menyambutnya pulang, kini lenyap.

Namun, saat ia melangkah lebih dalam ke ruang tamu, suara langkah kaki terdengar. Tak lama kemudian, seorang perempuan yang begitu cantik, dengan rambut panjang berkilau dan senyuman yang tampak ragu, muncul di hadapannya.

“Selamat datang, Arga,” sapa perempuan itu dengan lembut, suaranya halus namun terasa penuh kecanggungan. Arga memandangnya heran.

“Kamu ... siapa?” Arga tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Perempuan itu begitu cantik, lebih mirip model daripada seseorang yang biasa berkeliaran di rumah ini.

Sebelum perempuan itu sempat menjawab, Bima, ayahnya, muncul dari arah dapur. Dengan langkah mantap, ia berjalan mendekati Arga dan perempuan itu. Di wajahnya, tampak senyum tipis yang terasa sedikit janggal di mata Arga.

“Arga, kenalkan, ini Maria, istri Papa. Mama barumu,” kata Bima, matanya menatap langsung ke arah Arga.

“Mama baru?” Arga mengulang dengan nada tak percaya. Matanya bergantian menatap Bima dan Maria, seolah memastikan bahwa ini bukan mimpi. “Papa ... menikah lagi?”

Bima mengangguk. “Iya. Sudah setahun ini sebenarnya. Papa hanya belum sempat mengabari kamu karena tidak ingin mengganggu kuliahmu di Bandung.”

Arga terdiam, merasakan kekosongan yang tiba-tiba membebani dadanya. Setahun. Setahun penuh tanpa kabar, tanpa penjelasan, tanpa ... kehadiran seorang ibu. Dan sekarang ia harus menerima seorang perempuan yang lima tahun lebih muda darinya sebagai ibu tirinya.

“Arga, semoga kamu bisa menerimaku di sini ...,” kata Maria dengan suara lembut, memotong keheningan di antara mereka.

Arga menghela napas panjang. “Mama ... berapa usiamu?”

Maria tampak ragu, tetapi ia menjawab dengan tenang, “Dua puluh satu.”

Arga menatapnya lekat. "Dua puluh satu? Itu ... hanya lima tahun lebih muda dariku." Matanya beralih pada Bima. “Papa, kenapa nggak bilang dari awal? Aku merasa ... merasa ditinggalkan begitu saja.”

“Maafkan Papa, Arga. Papa hanya merasa, mungkin ini waktu terbaik untuk mengenalkan Maria padamu.”

Arga menundukkan kepala, menahan perasaan campur aduk yang memenuhi dadanya. “Baiklah, mungkin aku perlu waktu untuk mencerna semua ini.”

Maria menatap Arga penuh harap. “Aku mengerti, Arga. Aku berharap kita bisa menjadi keluarga yang baik. Kalau kamu butuh waktu, aku siap menunggu.”

Arga mengangguk tanpa kata-kata lagi. Ia meraih tasnya, melangkah menuju kamarnya yang tetap sama namun terasa berbeda.

---

Malam itu, Arga berdiri di balkon kamarnya, menatap bintang yang bertaburan di langit. Pikirannya tak tenang, terombang-ambing antara kenyataan yang sulit diterima dan keinginan untuk melupakan segalanya. Namun, tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah balkon sebelahnya.

“Kamu belum tidur?” suara Maria terdengar lirih di sampingnya.

Arga menggeleng. “Masih berpikir.”

Maria menarik napas panjang, lalu duduk di kursi terdekat. “Aku paham kalau ini berat untukmu. Mungkin ... kamu merasa kita berdua terlalu jauh berbeda. Tapi aku benar-benar ingin mengenalmu lebih dekat.”

Arga menatapnya sejenak sebelum berbicara. “Kamu ... nggak merasa aneh? Maksudku, usiamu hampir sama denganku.”

Maria tersenyum lembut. “Awalnya, iya. Tapi, aku menikah dengan Ayahmu karena aku merasa dia bisa menjadi teman dan pendamping yang baik. Kami punya latar belakang yang berbeda, tapi entah bagaimana, aku merasa cocok dengannya.”

“Dan kamu tidak merasa kehilangan masa mudamu?” tanya Arga, menatap Maria penuh rasa ingin tahu.

Maria tersenyum tipis. “Kadang-kadang, tapi kehidupan selalu membawa kita ke jalan yang tak terduga, bukan?”

“Seperti jalan yang kita tempuh sekarang?” Arga bertanya dengan nada sarkastis.

Maria terkekeh. “Mungkin begitu. Arga, aku berharap kita bisa melewati semua ini sebagai keluarga.”

Arga menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di mata Maria. “Jujur saja, aku belum bisa menerimamu sebagai ... Mamaku. Maaf jika ini terdengar kasar, tapi, aku masih perlu waktu.”

“Aku paham, Arga. Aku di sini bukan untuk memaksakan peran apa pun padamu. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang bisa kamu percaya, meski itu bukan sebagai ibu,” jawab Maria sambil menatap langit.

Arga mendesah pelan. “Yah, setidaknya kamu cukup pengertian.”

Maria tersenyum tipis. “Aku hanya ingin berusaha yang terbaik.”

Keheningan mengisi ruang di antara mereka, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Hingga akhirnya, Arga bangkit berdiri, menatap Maria, sementata Maria, dia langsung berbalik meninggalkan Arga.

Mata kurang ajar Arga fokus pada bagian belakan Maria yang padat. Hanya saja bagian itu belum terbentuk sempurna. "Sial! Apa yang gue pikirin," maki Arga setelah sempat memikirkan untuk menjelajahi bagian itu di pembaringan.

---

Pagi yang cerah mengiringi langkah Arga memasuki kampus barunya di Jakarta. Langkahnya tegap, tetapi matanya tampak menelusuri setiap sudut kampus, seolah mencari sesuatu yang masih asing baginya. Setelah mengurus administrasi pendaftaran lanjutan, Arga bernapas lega. Setidaknya, satu beban sudah selesai.

Saat ia sedang bersiap kembali ke mobil, suara yang sangat ia kenal terdengar dari arah belakang. “Arga! Bro, lama nggak ketemu!” sapa seseorang dengan penuh semangat. Arga berbalik dan tersenyum lebar saat melihat sosok Rio, sahabatnya di Bandung.

“Rio! Gila, nggak nyangka bisa ketemu di sini!” balas Arga sambil memeluk Rio.

“Iya, gue juga nggak nyangka bakal pindah ke Jakarta. Bokap gue dipindah tugaskan ke sini, jadi gue sekalian lanjut kuliah di sini,” jawab Rio.

Arga mengangguk mengerti. “Wah, berarti kita bakal bareng lagi dong di sini?”

Rio tersenyum lebar. “Iya, bro. Oh, gue dengar lu ambil jurusan bisnis, ya?”

Arga mengangguk. “Iya, mau nggak mau gue harus belajar bisnis. Perusahaan bokap gue kan di bidang properti. Dia pengen gue siap jadi penerusnya.”

Rio menepuk bahu Arga. “Wah, calon pewaris perusahaan properti besar nih. Jangan lupa gue kalo nanti udah sukses, ya!”

Arga tertawa kecil. “Aamiin, Aamiin. Tapi jalan masih panjang, bro.”

Mereka pun berjalan bersama menuju parkiran mobil. Setelah masuk, Arga duduk di kursi pengemudi sementara Rio di sebelahnya.

Arga menyalakan mesin mobil, dan suasana hening sejenak. Rio menatap Arga, yang tampak termenung, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Arga, lu kenapa dari tadi bengong mulu?” tanya Rio sambil menatapnya heran.

Arga tersadar dari lamunannya. “Oh, nggak ... gue cuma lagi mikir aja.”

Rio menaikkan alisnya, tersenyum penasaran. “Mikir apaan? Biasanya lu jarang banget kelihatan kepikiran kayak gini.”

Arga menarik napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk bercerita. “Lu tahu, Rio. Gue baru aja balik dari Bandung kan. Terus, sampai di rumah ... ternyata bokap gue udah menikah lagi.”

Rio terlihat terkejut. “Lah, serius? Gue baru tahu! Kapan dia nikah lagi?”

“Setahun yang lalu, katanya,” jawab Arga sambil menghela napas.

Rio tersenyum tipis. “Wah, bagus dong, berarti lu ada yang nemenin di rumah. Jadi nggak bakal kesepian lagi.”

Arga menggeleng. “Ya, emang sih, tapi masalahnya, nyokap tiri gue itu ... dia lebih muda lima tahun dari kita.”

Rio hampir tersedak mendengar jawaban itu. “Serius lu? Lima tahun lebih muda dari kita?”

Arga mengangguk, menatap Rio dengan wajah penuh kebingungan. “Iya. Awalnya gue juga nggak percaya, tapi ya … begitulah kenyataannya.”

Rio tertawa kecil sambil menggeleng. “Kocak juga bokap lu ini. Jadi lu sekarang punya ibu tiri yang usianya lebih muda dari lu?”

“Iya, makanya gue bingung. Rasanya aneh banget, Rio. Gue di rumah kayak ada orang baru yang nggak cocok banget buat gue panggil ‘Mama’.”

Rio memandang Arga sambil tersenyum penuh pengertian. “Ya, wajar sih, Ga. Pasti canggung awalnya. Apalagi dia masih muda, pasti kayak berasa bukan kayak ibu tiri, tapi kayak ... temen, kali ya?”

Arga mengangguk pelan. “Iya, mungkin gitu, tapi gue juga merasa kalau dia lebih cocok jadi cewek gue. Gue juga nggak tahu harus bersikap gimana.”

Rio menepuk bahu Arga dengan lembut. “Tenang, bro. Lu butuh waktu aja. Lama-lama juga lu bakal terbiasa. Dan siapa tahu, mungkin dia ternyata orang yang asik buat diajak ngobrol. Dan, buang pikiran kotor lu. Dia nyokap tiri lu.”

Arga mengangguk, walau tampak ragu. “Mungkin. Tapi, Rio. Dia tuh, gimana ya, ada sesuatu yang bikin gue merasa aneh setiap kali deket dia. Gue bahkan nggak bisa jelasin apa itu.”

------