Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Permainan dimulai

Angela menyesap margarita-nya perlahan, menikmati sensasi dingin yang menyegarkan di tenggorokannya. Matanya masih mengamati Pieter, pria di hadapannya yang baru saja menawarkan sesuatu yang tidak biasa. Tawaran itu jelas bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh.

Namun, Angela bukan tipe wanita yang mudah ditebak.

Dia menyilangkan kakinya, membiarkan ujung gaun merahnya sedikit naik, cukup untuk menarik perhatian Pieter tanpa terlihat disengaja. "Jadi, kau ingin menyewaku sebagai… kekasih bayaran?" katanya, nada suaranya setengah menggoda, setengah skeptis.

Pieter tersenyum kecil, mengangkat gelasnya. "Kau bisa menyebutnya begitu. Atau mungkin, lebih dari itu?"

Angela tertawa pelan, memainkan sedotan di gelasnya dengan ujung jarinya. "Lebih dari itu? Hmm… aku penasaran, Pieter. Apa yang kau cari sebenarnya?"

Pieter menatapnya dengan santai, tapi ada sesuatu di balik matanya yang sulit ditebak. "Katakan saja, Angela, aku bukan pria yang suka membuang waktu dengan hal-hal biasa. Aku ingin seseorang yang bisa mengimbangiku."

Angela mengangkat alis. "Mengimbangi? Maksudmu dalam hal apa? Dalam percakapan, di tempat tidur, atau mungkin… di permainan yang lebih besar?"

Pieter terkekeh, menikmati bagaimana Angela dengan mudah membalikkan keadaan. Dia tahu wanita ini bukan tipe yang mudah terpengaruh. Itu justru yang membuatnya semakin tertarik.

"Kau cukup cepat menangkap maksudku," kata Pieter, mengaduk scotch-nya dengan gerakan malas. "Dan aku suka itu."

Angela menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya berbinar penuh intrik. "Kau tahu, Pieter… aku tidak pernah menerima tawaran tanpa memahami seluruh aturannya. Jadi, kalau aku setuju dengan permainanmu ini… apa yang kudapatkan?"

Pieter mencondongkan tubuhnya sedikit, semakin dekat. "Kebebasan. Kesempatan. Dan tentu saja… keuntungan besar."

Angela pura-pura berpikir, menggigit ujung sedotannya dengan bibir merahnya yang menggoda. "Hmm… kebebasan itu relatif, Pieter. Dan keuntungan besar juga tergantung dari seberapa besar nilainya."

Pieter tersenyum, lalu dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya—selembar kartu hitam dengan logo elegan di tengahnya. "Bagaimana kalau kita mulai dengan sesuatu yang nyata?"

Angela melirik kartu itu, lalu menatap Pieter dengan tatapan penuh selidik. "Apa ini?"

Pieter mengangkat bahu. "Kunci awal untuk masuk ke dunia yang lebih menarik."

Angela mengambil kartu itu, membolak-baliknya di antara jari-jarinya. "Dan bagaimana kalau aku menolaknya?"

Pieter tersenyum lebih lebar. "Aku tidak yakin kau akan menolaknya, Angela. Aku bisa melihat dari matamu—kau tertarik."

Angela menyipitkan mata, lalu tersenyum samar. "Kau terlalu percaya diri, Pieter."

Pieter mengangkat gelasnya, menyesap scotch-nya tanpa terburu-buru. "Mungkin. Tapi aku selalu tahu kapan harus bertaruh pada sesuatu yang menjanjikan."

Angela menatapnya beberapa detik, lalu tertawa pelan. Entah bagaimana, dia tahu Pieter bukan pria yang mudah menyerah. Dan lebih dari itu, dia mulai merasa tertarik untuk melihat ke mana permainan ini akan membawanya.

Malam masih panjang.

Dan permainan baru saja dimulai.

**

Angela tidak pernah menganggap dirinya tipe wanita yang mudah terpikat. Dia sudah bertemu banyak pria yang mencoba merayunya dengan uang, janji manis, atau sekadar rayuan kosong. Tapi Pieter Wadu… pria ini berbeda.

Entah karena cara bicaranya yang tenang, sorot matanya yang selalu terlihat seolah tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain, atau mungkin caranya memegang gelas scotch dengan santai, seakan-akan dia mengendalikan dunia ini.

Angela menyesap margarita-nya lagi, kali ini lebih dalam. Alkohol mulai menghangatkan tubuhnya, membuat kepalanya sedikit ringan. Dia menyandarkan siku di meja, menatap Pieter yang masih tetap terlihat tenang dan percaya diri.

"Kau benar-benar percaya diri, ya?" katanya, suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya.

Pieter tersenyum tipis, menatap Angela dengan mata yang seolah bisa membaca pikirannya. "Aku hanya tahu apa yang kuinginkan, Angela. Dan aku tidak suka membuang waktu."

Angela tertawa kecil, tapi tawanya terdengar sedikit lebih malas—efek alkohol mulai bekerja. "Dan kau pikir aku adalah sesuatu yang kau inginkan?"

Pieter mencondongkan tubuhnya sedikit, cukup dekat hingga Angela bisa mencium aroma scotch dan parfum maskulin yang melekat di tubuhnya. "Kau lebih dari sekadar sesuatu yang kuinginkan. Kau adalah seseorang yang menarik perhatianku, dan itu jarang terjadi."

Angela merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ini aneh. Dia seharusnya bisa mengendalikan dirinya sendiri. Seharusnya bisa menjaga jarak dari pria seperti Pieter. Tapi malam ini… pikirannya mulai kabur, dan dia tidak bisa menyangkal bahwa ada bagian dari dirinya yang menikmati permainan ini.

"Tidak banyak pria yang bisa membuatku tertarik, Pieter," katanya sambil memutar gelas di tangannya. "Tapi entah kenapa, aku mulai penasaran denganmu."

Pieter menatapnya tanpa berkedip. "Itu karena kau tahu bahwa aku bukan pria biasa."

Angela mendengus pelan. "Sial, kau bahkan lebih angkuh dari yang kuduga."

Pieter tertawa, nada suaranya dalam dan menggoda. "Bukan angkuh. Hanya… realistis."

Angela menggeleng, tapi senyum di bibirnya semakin lebar. "Dan apa yang realistis tentang kita sekarang?"

Pieter mengangkat gelasnya, menyentuh bibirnya dengan lembut sebelum menyesap minumannya. "Bahwa kau menikmati kebersamaan ini lebih dari yang ingin kau akui."

Angela membuka mulut untuk membantah, tapi kata-kata itu tidak keluar. Karena, sialnya, Pieter benar.

Mungkin ini efek alkohol. Mungkin ini karena suasana bar yang semakin redup, musik yang mengalun pelan, atau mungkin karena cara Pieter menatapnya, seakan hanya ada dia di dunia ini.

Angela menggigit bibir bawahnya, lalu tertawa kecil, mencoba mengabaikan debaran jantungnya. "Kau berbahaya, Pieter."

Pieter tersenyum penuh arti. "Dan kau suka itu, bukan?"

Angela menghela napas, lalu menyesap margarita-nya hingga habis. "Mungkin. Atau mungkin aku hanya terlalu mabuk untuk berpikir jernih."

Pieter menyandarkan tubuhnya, mengamati Angela dengan tatapan penuh minat. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita buktikan?"

Angela mengangkat alis. "Buktikan apa?"

Pieter berdiri dari kursinya, lalu mengulurkan tangan ke arahnya. "Bahwa kau benar-benar menikmati ini. Ikut denganku."

Angela menatap tangan Pieter, lalu kembali menatap matanya. Ada sesuatu di sana, sebuah tantangan, sebuah godaan yang sulit ditolak.

Dan entah karena pengaruh alkohol atau karena pria ini memang terlalu menarik… Angela meraih tangannya.

Dan malam itu, dia tahu kalau kini dia sudah masuk terlalu jauh ke dalam permainan Pieter Wadu.

Angela baru saja berdiri ketika Pieter menariknya lebih dekat, hingga jarak di antara mereka hampir tak bersisa. Hangat napas pria itu menyentuh kulitnya, membuat bulu kuduknya meremang. "Kau masih bisa mundur, Angela," bisiknya pelan, suaranya seperti racun manis yang menyelinap ke dalam pikirannya. "Tapi jika kau melangkah lebih jauh… kau tidak akan bisa kembali seperti sebelumnya."

Angela menatap mata Pieter, mencoba mencari kebohongan di sana. Tapi yang dia temukan hanyalah ketenangan mutlak. Seolah pria ini tahu persis ke mana semua ini akan berakhir. Dan saat Pieter menggenggam tangannya lebih erat, menariknya ke luar dari keramaian bar, Angela menyadari satu hal yang membuat dadanya berdebar lebih kencang. Bukan karena dia takut pada Pieter. Tapi karena dia takut pada dirinya sendiri… pada fakta bahwa dia tidak ingin mundur.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel