Pustaka
Bahasa Indonesia

Teman Tidur CEO Kejam

19.0K · Ongoing
Nona Muda
45
Bab
668
View
98.0
Rating

Ringkasan

"Setelah aku bosan. kamu bisa pergi!" tekan Tyson. "Sekalipun belum genap 1 tahun?" Tyson hanya mengangguk. ••• Karena tidak bisa membayar hutangnya tepat waktu Beatrice Miller terpaksa harus menjadi teman tidur Tyson Lynch selama 1 tahun.

RomansaPresdirBillionaireDewasaKawin KontrakOne-night StandPernikahanSweetMengandung Diluar NikahTersesat/Obsesif

Teman Ranjang

Beatrice Miller, seorang wanita muda dengan tubuh ramping dan penampilan sederhana, tampak sangat terintimidasi ketika berdiri di hadapan pria yang begitu berwibawa namun menakutkan. Dengan kepala tertunduk, ia memutar-mutar jemarinya, tanda kegelisahan yang jelas terlihat. Suaranya terdengar lirih dan bergetar saat berkata, "Maaf tuan, saya… sepertinya tidak bisa membayar uangnya tepat waktu." Kata-kata itu terhenti di udara yang terasa begitu berat di antara mereka.

Di hadapannya berdiri Tyson Lynch, seorang pria dengan aura yang mengintimidasi, mata gelap penuh kuasa, dan garis wajah yang tegas. CEO perusahaan besar Dezero Pumf di Savona, Italia, Tyson dikenal sebagai pria yang tidak kenal ampun, ditakuti oleh banyak orang karena kekejamannya dalam mengambil keputusan. Ketika Beatrice mengucapkan kata-kata itu, Tyson mengisap rokoknya dengan tenang sebelum mematikan putungnya di asbak, sebuah isyarat bahwa ia akan bertindak lebih jauh.

Tanpa mengalihkan pandangan tajamnya dari Beatrice, Tyson berdiri dari sofa. Gerakannya terukur namun penuh dominasi, melepas jas dan dasinya, menciptakan suasana yang semakin tegang. Dengan langkah mantap, ia mendekati Beatrice yang kini semakin terpojok, mendorongnya ke ranjang tanpa berkata apa-apa, hanya menyisakan keheningan yang penuh tekanan.

Jantung Beatrice berdegup kencang, nyaris menyakitkan. Ketakutan dan kegugupan bercampur aduk dalam dirinya. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan oleh pria ini, pria yang kekuatannya seakan mampu menghancurkan segalanya, termasuk dirinya. Tyson Lynch adalah mimpi buruk yang menjadi nyata, seorang penguasa yang tak memberikan ruang untuk kesalahan, bahkan pada orang-orang yang bekerja untuknya.

“Maka puaskan aku malam ini!” kata Tyson yang langsung menindih tubuh Beatrice dan memanggut bibir ranum merah chery itu.

“Tuan, beri saya waktu satu minggu, saya akan membayar lunas beserta bunganya,” kata Beatrice mencari celah untuk bisa kabur dari Tyson.

“Terlambat!” kata Tyson yang kembali melumat bibir Beatrice.

Beatrice berusaha dengan panik untuk menahan dorongan Tyson, kedua tangannya menyentuh dada bidang pria itu, mencoba memberikan jarak di antara mereka. Namun, tenaganya yang lemah tidak mampu melawan kekuatan Tyson yang mendominasi. Dadanya naik turun, dipenuhi oleh ketegangan yang menyiksa, sementara napasnya terengah-engah mencoba memahami situasi yang kian memojokkannya.

Tyson tidak memberinya celah untuk melawan. Dengan gerakan cepat dan tegas, ia menangkap pergelangan tangan Beatrice, menguncinya erat dalam genggaman yang kuat. Sentuhannya tegas namun tidak menyakitkan, menciptakan sensasi yang membuat Beatrice semakin terguncang. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya, tak mampu melepaskan diri dari kontrol Tyson yang begitu mendominasi.

Mata tajam Tyson tidak pernah meninggalkan wajah Beatrice, seolah mengamati setiap reaksi yang muncul darinya. "Jangan melawan," bisiknya dengan nada rendah, suaranya serak namun penuh otoritas.

Beatrice merasa tubuhnya melemah, seolah kehilangan kekuatan untuk bertahan. Detak jantungnya semakin tidak karuan, antara takut dan canggung, sementara ia mencoba mencari kata-kata untuk menghentikan situasi ini. Namun, Tyson tidak memberinya ruang untuk bicara. Pangutan yang intens di antara mereka terasa semakin nyata, semakin sulit dihindari, seperti badai yang tak terbendung.

Tyson menatap Beatrice dengan sorot mata tajam yang penuh intensitas, menciptakan aura yang membuat ruangan terasa semakin sempit. Dengan satu gerakan tegas, ia meraih kerah kemejanya, dan dalam satu hentakan kuat, kemeja itu terlepas dari tubuhnya, memperlihatkan dadanya yang bidang dan berotot. Kain itu terlempar ke lantai dengan suara lembut, namun aksinya memancarkan dominasi yang membuat suasana semakin mencekam.

Tanpa memberi Beatrice kesempatan untuk bereaksi, Tyson mengulurkan tangannya, menggenggam pakaian Beatrice. Dalam satu tarikan cepat, kain itu robek tanpa perlawanan, terbelah dan jatuh ke lantai dalam potongan-potongan yang tak lagi berbentuk. Tidak ada sisa, tidak ada celah untuk bersembunyi. Beatrice yang kini terpaku oleh rasa kaget dan takut hanya bisa merasakan jantungnya yang berpacu semakin liar.

Sikap Tyson yang begitu tegas dan tidak kenal ampun membuat tubuh Beatrice gemetar. Udara di antara mereka terasa berat, penuh ketegangan yang tak terucapkan. Mata Beatrice yang berkaca-kaca hanya mampu memandang pria itu dengan kebingungan dan ketakutan, sementara Tyson tetap berdiri dengan postur yang penuh kontrol, seperti seorang penguasa yang tak terbantahkan.

“Enghhh,” lenguh Beatrice kala mulut Tyson mulai merambah mengecupi basah leher dan belahan benda kenyalnya.

Beatrice yang merasa dirinya lepas kendali, kali ini hanya bisa pasrah di hadapan Tyson. Entah ada apa dengan dirinya, namun tubuhnya selalu melemah kala berhadapan dengan sosok pria di atas tubuhnya ini.

“Akhhh,” desah Beatrice begitu Tyson menghentakkan ke dalam intinya hingga sepenuhnya.

Tyson mulai menghujam namun Beatrice menahan suaranya membuat Tyson menghentikan hujamannya dan mencengkeram leher Beatrice.

“Bersuaralah dan sebut namaku!” perintahnya membuat Beatrice hanya bisa memejamkan mata dengan tangan yang memeluk erat punggung kekar Tyson.

“Tuan tolong cepat lakukan,” lenguh Beatrice seraya mendongakkan kepalanya berusaha untuk mengontrol dirinya yang semakin menggila membumbung tinggi karena permainan Tyson.

“Panggil namaku Beatrice,” tekan Tyson dengan bisikan serak basah di daun telinga Beatrice.

Beatrice meremas kuat rambut Tyson dengan menggigit bibir bawahnya, “Tyson cepat lakukan!”

Tyson tersenyum devil dan langsung kembali menghujam Beatrice dengan tenaga dan semangat yang menggebu.

***

Keesokan paginya, Beatrice perlahan membuka kelopak matanya, pandangannya samar-samar menangkap cahaya pagi yang lembut menerobos masuk dari celah tirai. Suara gemericik air yang menenangkan terdengar dari arah kamar mandi, membuatnya tertegun sejenak. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana yang asing. Saat matanya beralih ke langit-langit kamar yang tak dikenalnya, sebuah kesadaran mengejutkan langsung menghantamnya.

Dengan panik, Beatrice duduk dan segera merapatkan selimut tebal yang ada di tubuhnya, menutupi dada dan tubuhnya yang polos tanpa sehelai kain. Pipinya merona panas saat kenyataan itu menyadarkannya akan sesuatu yang terjadi malam sebelumnya. Jantungnya berdegup kencang, rasa malu dan kebingungan bercampur aduk dalam dirinya.

Di tengah kekalutannya, pintu kamar mandi terbuka. Dari balik uap yang masih menggantung, Tyson muncul dengan langkah santai. Ia hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggangnya, memperlihatkan tubuh atletisnya yang masih basah dan berkilauan oleh sisa air. Dengan satu tangan, ia mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, sementara tatapan matanya yang tajam langsung mengarah pada Beatrice.

Beatrice membeku, merasa dirinya tenggelam dalam suasana canggung yang tak terelakkan. Napasnya tertahan saat Tyson berjalan mendekat dengan sikap yang begitu santai namun memancarkan aura mendominasi. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana ia harus menghadapi pria ini, yang kini begitu nyata di hadapannya, setelah apa yang telah terjadi.

Tyson berjalan dengan langkah santai namun penuh otoritas, mengambil kartu hitam dari meja kecil di sudut ruangan. Tanpa berkata apa-apa, ia melemparkan kartu itu ke atas ranjang, tepat di depan Beatrice yang masih memeluk selimut dengan erat. Suara benda itu jatuh di atas kain terdengar ringan, tetapi dampaknya terasa berat bagi Beatrice. Ia menatap kartu itu dengan penuh kebingungan, bertanya-tanya apa maksud dari tindakan pria tersebut.

"Satu miliar. Beli obat atau aborsi. Putuskan sendiri," kata Tyson dengan suara dingin tanpa emosi. Ia melirik Beatrice sekilas sebelum berbalik, berjalan menuju walk-in closet tanpa menunggu tanggapannya. Kata-kata itu menghantam Beatrice seperti palu godam. Hatinya mencelos, tetapi ia tahu bahwa Tyson adalah pria yang tidak akan peduli dengan apa yang dirasakannya.

Sejenak, Beatrice hanya duduk mematung, mencoba memahami maksud perkataan Tyson. Dengan tangan gemetar, ia meraih kartu hitam itu dan menggenggamnya. "Terima kasih, Tuan," ucapnya lirih, meskipun ada kegetiran yang terselip dalam nada suaranya. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menahan air matanya, tidak ingin terlihat lemah.

Setelah menarik napas panjang, Beatrice mulai mengenakan kembali pakaiannya yang telah ia kumpulkan dari lantai kamar. Gerakannya cepat namun tetap penuh kehati-hatian, memastikan dirinya terlihat rapi dan tidak meninggalkan kesan yang ceroboh. Begitu selesai, ia berdiri dengan tegap, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Tyson.

Ia melangkah mendekati walk-in closet, tempat Tyson masih berada, dan mengetuk pintu dengan ringan sebelum berdiri di sana dengan sikap yang penuh keteguhan.

Tyson sedang mengenakan dasi di depan cermin besar di walk-in closetnya ketika ia menyadari keberadaan Beatrice di ambang pintu. Dengan nada datar dan penuh kebiasaan, ia bertanya tanpa menoleh, "Jadwal hari ini?"

Beatrice, yang telah berdiri dengan rapi mengenakan pakaian formal sederhana, menjawab dengan suara tenang, meskipun ada sedikit getaran yang tertahan. "Hanya menemui Tuan Jylen untuk membahas kontrak, lalu nanti malam ada makan malam bersama di mansion mama Tuan," jelasnya.

Tyson hanya mengangguk singkat, memberikan konfirmasi tanpa sepatah kata pun. Beatrice, yang memahami isyarat itu, melanjutkan dengan sopan, "Jika sudah tidak ada urusan lagi, saya pamit pergi."

Tanpa mengangkat pandangannya dari cermin, Tyson kembali mengangguk. Beatrice kemudian berbalik dan melangkah pergi, langkahnya teratur meski terasa beban di dadanya. Saat ia melangkah keluar dari kamar, Tyson menoleh sekilas, pandangannya mengikuti sosok Beatrice yang kian menjauh. Tidak ada emosi yang terlihat jelas di wajahnya, hanya keheningan yang penuh misteri.

Begitu selesai merapikan penampilannya, Tyson keluar dari walk-in closet dengan gerakan yang tenang namun mantap. Saat pandangannya tertuju pada ranjang, ia mendapati noda darah yang menodai seprai putih bersihnya. Pandangannya menggelap sesaat, memperhatikan bekas itu dengan ekspresi yang sulit diartikan, campuran antara refleksi dingin dan pikiran yang terpendam. Namun, seperti biasa, ia tidak membiarkan pikirannya terbaca, hanya menghela napas pendek sebelum melangkah pergi, membiarkan sisa malam sebelumnya tertinggal di balik pintu kamar yang kini sunyi.