Bab 2
Aku menghela nafas berkali-kali. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri semua. Percuma semua dilanjutkan. Hanya membuang-buang waktu.
"Mulai sekarang! Hapus semua kontakku! Lebih baik mulai sekarang kita ambil jalan masing-masing!" suaraku menggebu-nggebu dengan lengkingan kuat. Ada amarah yang luar biasa memenuhi ruang hatiku. Aku memaki! merutuk! dalam hati. Entah buat siapa. Yang pasti amarah ini butuh pelampiasan.
"Kenapa harus begitu,?" suara di seberang agak terhenyak. Meski terdengar begitu tenang. Dia sudah begitu hafal kata per kata yang sering aku ucapkan untuknya. Sifat tenangnya ini yang membuat aku terlena terus .
"Karena memang tidak ada lagi yang perlu dipertahankan! Hanya aku yg berjuang dan bertahan! Hanya aku yang mengharapkan kita jadi keluarga seutuhnya! Lepaskan aku! Aku mohon, please ...,"Terdengar hembusan nafas berat dari seberang telfon.
"Aku mohon lepaskan aku," kembali aku menghiba.
"Baik, - baik! kalau itu mau kamu! Aku rasa kamu memang ada yang lain makanya minta kita putus!" tukasnya tajam. Belum selesai aku menjelaskan sambungan telfon sudag terputus.
Tut ...!
Aku menghela nafas sesak. Secepat itu dia memutuskan komunikasi. Aku cek semua kontak yang bisa betkomunikasi dengan dia. Semua sudah terblokir.
Ada luka yang tiba-tiba meyeruak di dalam hatiku. Ternyata pertahananaku selama 6 tahun, hanya sampai disini. Bahkan tanpa diperjuangkan olehnya. Sungguh miris melihat kenyataan ini. Lantas untuk apa selam 6 tahun ini aku menghabis waktu menunggunya? Setiap hari berusahamengeeti tentang keadaan dan kondisi ini. Tapi hasilnya sekarang seperti sampah yang layak dibuang. Dasar bodoh! Sampai dimanapun aku merutuki diriku sendiri nggak akan ada gunanya.
Kuseka air mataku. Rasanya tak perlu ditangisi. Bukannya aku sendiri yang meminta semua diakhiri?
Perlahan aku beranjak dari tempatku berbaring. Menuju kamar mandi. Mengguyur badanku yang begitu letih. Menjernihkan fikiran dari kesakitan yang kudapat. Berharap entah besok atau lusa, aku bisa move on.
*******
Aku memperhatikan baik-baik seseorang yang ada di seberangku. Aku mencoba mengingat-ingat siapa sosok itu. Wanita cantik yang sangat elegant. Namun, tetap saja daya ingatku tak cukup baik untuk mengakses siapa sebenarnya wanita itu. Wanita yang seolah-olah sudah sangat mengenalku. Bahkan selalu muncul di ruang media sosialku.
"Selamat pagi Pak ...,"
Terdengar suara sopan para karyawan menyambut kedatangan seseorang. Aku berdiri menunduk ketika sosok itu melintasi meja kerjaku. Terlihat begitu dingin tanpa senyum. Wajah tampan yang datar. Arrogant dan menghanyutkan.
DIA, RAY DINATA, ceo muda yang tampan tapi arrogant. Berbadan atletis dengan tinggi 187 cm dengan rambut cepak tertata rapi. Bergaya khas dengan memasukkan tangan ke kantong sakunya. Wajahnya yang dingin menggambarkan watak keras dan temprament yang tinggi. Angkuh dan sombong sisi lain dari dirinya.
"Kamu ... !" Jari telunjuk itu mengarah ke mukaku. Aku menarik mukaku yang tertunduk. Tampak jelas di wajahku keterkejutan mutlak.
"Keruangan Saya sekarang!" Ada penekanan dengan nada suaranya. Sekilas wajahku pucat mendengar perintah itu.
"Move ...," cubitan itu membuat aku kembali ke alam sadar. "Kamu dipanggil bigbos ke ruangannya!" Fito, manager keuangan menatap tajam kearahku. Seolah-olah tatapannya memerintahkan aku segera keruangan pimpinan.
"Oh, iya Pak!" jawabku gugup sambari bergegas menuju ruang direktur.
Diruang direktur, tanganku gemetaran. Keringat dingin sudah membasahi leherku.
"Saya mau melihat laporan pembukuan 6 bulan terakhir!" ucapannya datar tanpa ekspresi. Mukanya keliatan lebih menyeramkan dengan tatapan yang menukik tajam.
Jantungku serasa berhenti berdetak, mendengar perintahnya barusan. Aku memaki diriku sendiri dalam hati, yang selalu mengulur-ulur pekerjaan. Dan akhir semuanya terbengkelai.
"Ada apa,?" tanya sang direktur sambil menutup berkas yang barusan dibukanya.
"Kamu belum siap memberikan laporan pekerjaanmu? atau malah kamu belum sama sekali menyelesaikannya?" tukas laki-lali itu sambil berdiri mendekatiku. Dalam jarak satu meter dia melipat kedua tangannya di depan dada. Menatapku tajam. Seakan-akan siap menerkam. Kakiku mulai gemetar. Mukaku tertunduk dalam.
"Kamu kerja disini sudah berapa tahun ...! Kenapa tugas yang seharusnya menjadi pekerjaanmu bisa terbengkelai! Selama ini kamu ngapain aja ...! suaranya melengking tajam memenuhi ruangan. Aku semakin tertunduk dalam. Telapak tanganku mulai basah oleh keringat.
"Kalau cara kerja kamu seperti ini! Saya tidak menjamin bulan depan kamu masih ada di kantor ini!" Bagai disambar petir aku mendengar ucapannya. Lemas seluruh tubuhku.
Duh ... kejam sekali orang ini. Baru pertama kali menginjakkan kaki di kantornya sudah main pecat-pecat karyawan. Aku berusaha menenangkan diri. Mencoba tetap berdiri di hadapannya meskipun gemetaran. Kutelan salivaku yang tiba-tiba terasa pahit.
"Saya tidak mau tahu! Sebelum pulang kantor laporan pembukuan itu, sudah harus ada di meja saya! Kalau sampe laporan itu belum ada di meja saya, buat surat pengunduran dirimu besok pagi!"
Aku tercekat. Lidahku terasa kelu. Susah rasanya mau membuka mulut. Aku terpaku bungkam.
"Kamu faham ... !" Tangannya mengepal. Melayang kearah meja kerjanya. Suara gubrakan itu terdengar keras keruang kerja karyawan. Aku terkejut. Tubuhhku menyingsut ke belakang. Kakiku terasa semakin gemetar. Aku tak berani menatap mukanya yang tiba-tiba terlihat bengis. Kejam dan arrogant. Menyeramkan.
Aku mengangguk takut. "Fa-ham Pak!" Sampai detik ini, aku tidak faham apa yang membuatnya begitu murka. Apa hanya karena aku belum menyelesaikan laporan 6 bulan itu? sampai harus dia semarah ini. Wajarkah sikapnya? atau memang dia punya temprament yang tinggi. Kudukku meremang memikirkan itu.
Setelah kulihat wajahnya mengendur lunak, aku beranikan pamit meninggalkan ruangan. Rasanya plong setelah aku kembali ke meja kerjaku. Kupijit-pijit pelipisku. Rasanya berdenyut-denyut sakit. Semenit kemudian aku sudah berkutek dengan komputerku.
Ku sapu ruangan kerja itu. Sudah kosong. Tinggal aku sendiri. Jam di tanganku menunjukkan pukul 5 sore. Aku menggeliatkan badan. Meregangkan otot tanganku. Sesekali menguap. Merasakan kelelahan yang begitu sangat.
Tiba-tiba ekor mataku menangkap sosok yang sudah berdiri tinggi menjulang. Aku seketika terloncat dari tempat dudukku. Aku membungkukan badan.
"Selamat sore Pak, hati-hati di jalan." Tak dihiraukannya sapaanku. Dia berjalan lurus tanpa menoleh. Tanpa ekspresi. Wajahnya selalu datar tanpa senyum sedikitpun. "Persis mayat hidup!" decihku dengan sinis. Kembali ku geluti komputerku. Berpacu dengan waktu seperti dikejar dead line.
Tak terasa sudah hampir larut. Aku mengemasi barang-barangku. Metapikan meja kerjaku. Dan berjalan lurus ke meja direktur. Menaruh laporan 6 bulanku.
"Akhirnya, kelar juga!" sorakku dalam hati. Kuayunkan kakiku keluar gedung. Terasa remuk badanku. Hari ini sangat melelahkan.
"Baru hari pertama saja sudah begini! Bagaimana besok-besok? sudah seperti kerja rodi!" sungutku keluar dari lift.
Suara gemericik hujan membuatku tertegun. Kutengadahkan muka keatas. Langit gelap. Tak ada warna. Sesaat kemudian kubuka layar ponselku. Baru saja mau pesan taksi online tiba-tiba suara kalkson berbunyi dari ujung jalan. Reflek aku mencari asal suara itu.
Ada gerakan gesture dari tangan mengisyaratkan aku untuk mendekat. Samar-samar aku faham siapa pemilik lambaian tangan itu. Aku mendekat dengan ragu.
"Masuk ke mobil!" perintahnya tegas. Aku terkejut. Jam kerja sudah selesai beberapa jam yang lalu. Tapi kenapa masih main-main perintah saja? Tiba-tiba aku terdiam. Ada yang aneh kurusakan dengan sikapnya. Tapi aku tak mau terlalu cepat mengartikan sikapnya.
"Kenapa masih diam saja? Aku suruh masuk mobil!" Aku tersadar dari lamunanku. Kudapati laki-laki itu sudah ada di belakang aku berdiri. Di bulanya pinti mobil itu. Reflek tangannya mendorong tubuhku kedalam mobil. Aku terjerembab di sana
Sepanjang perjalanan menuju pulang, aku hanya diam membisu. Sesekali, aku memberanikan diri melirik wajah laki-laki yang tak lain bosku itu. Lagi-lagi kudukku meremang melihat muka datarnya. Tampan - sich, tapi tanpa ekspresi. Tanpa senyum.
"Mau berapa lama lagi, kamu melamun di mobil saya? Lagi-lagi aku terkejut. Dengan bergegas aku melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.
"Apa begitu cara kamu berterima kasih sama bosmu! yang sudah mengantarmu pulang? Aku membalikkan badan menghadapnya. Aku membungkukkan badan. "Terima kasih banyak karena Bapak sudah mengantar Saya pulang." sekali lagi aku membungkuk selanjutnya dengan cepat aku turun dari mobil. Tanpa menghiraukan ekspresi mukanya. Pasti di muka itu sudah tampak muka monster yang menyeramkan. Aku segera berlalu meninggalkannya di dalam mobil.
Sedangkan, Ray menatap kesal punggung Move. Dia merasa tak dihiraukan ole wanita itu. Dia merasa cuma di manfaatkan oleh bawahannya. Selaku bos tak seharusnya dia diperlakukan seperti itu. Hatinya berdecak kesal. Muka datarnya tertekuk mutlak. Segera dia melajukan mobilnya setelah dipastikannya sosok Move sudah hilang dari pandangannya.
BERSAMBUNG