4. Berada di Malang
Sebentar lagi, bis yang ditumpangi Fani memasuki area terminal Arjosari kota Malang. Suasana di luar tampak gelap karena memang hujan yang masih penuh semangat membasahi setiap inci sudut bumi. Padahal baru pukul tiga sore tapi sudah seperti pukul enam sore. Fani mengeluarkan secarik kertas tulisan tangan Risti, dari dalam tas ranselnya.
[Mami Purwanti Jalan Bendungan Sutami (Kos-kosan Mami-Belakang kampus UMM) terminal Arjosari Kota Malang]
Fani mengukir senyum di bibirnya, semua akan dia mulai dari sini. Hidup baru dengan semangat barunya. Setelah turun dari bis, Fani berjalan masih sedikit lemas, di pelataran terminal mencari warung makan, perutnya sudah keroncongan, rasanya sedikit mual, wajahnya juga masih terlihat pucat. Jahitan bekas kuretan masih begitu terasa. Matanya berbinar melihat warung makan yang tidak terlalu ramai, ia memasukinya lalu memesan makanan juga segelas teh manis hangat. Selesai mengisi perut dan tenaganya kembali, kini Fani menatap ke arah jalanan, hujan sudah mulai reda tinggal rintik-rintik saja. Di sampingnya duduk, ada sepasang anak SMA yang juga baru selesai menyantap makan sore mereka.
"Eehhmm...permisi, Dek" sapa Fani ramah sambil menyunggingkan senyum kepada kedua anak SMA tersebut.
"Iya Mbak, ada apa ya?" sahut remaja perempuan itu.
"Maaf sebelumnya, saya mau minta tolong, kalau mau ke alamat ini naik apa ya?" Fani menyerahkan tulisan alamat kepada kedua anak tersebut.
"Ohh, ini naik ojek online saja Mbak," jawab remaja laki-laki.
"Hhhmm..gitu ya, tapi saya tidak punya aplikasi ojek onlinenya Dek, boleh minta tolong pesankan dari ponsel kalian?" pinta Fani ramah.
Kedua anak saling pandang, Sang remaja perempuan mengangguk. Fani tersenyum senang, lalu mengucapkan terimakasih. Dan di sinilah Fani sekarang. Di depan sebuah rumah berpagar tinggi bewarna hitam, tampak tertutup namun tidak digembok, dengan tulisan besar di atas dinding tembok
"Kosan Mami"
Pelan dibukanya pintu pagar yang tak digembok itu, matanya menelisik lingkungan yang baru dilihatnya, bangunan dua lantai berbentuk huruf U terdiri dari beberapa kamar pada bagian atas dan bawah, hanya saja untuk bagian bawah pengerjaannya belum selesai, karena beberapa tukang masih sibuk dengan aktifitas.
"Maaf, Mbaknya cari siapa?" tanya seorang lelaki yang sepertinya salah satu tukang disana. Fani menoleh ke asal suara lalu tersenyum ramah.
"Mau cari Mami Purwanti Mas," ucap Fani lembut.
"Ohh, itu rumahnya lewat samping sini Mbak." Tukang tersebut mengarahkan Fani lewat jalanan samping bangunan kos-kosan.
"Tiyaaan....tak wedok ayu tho"(dapat gadis cantik tho)
"Takon sopo jenenge?"(tanya siapa namanya)
Goda teman-temannya yang sedang bekerja. Fani yang tak mengerti bahasa mereka hanya diam saja tanpa ekspresi. Sedangkan tukang yang mengantar Fani ke rumah mami Purwanti hanya nyengir saja mendengar ocehan teman-temannya.
Setelah sampai di depan pintu rumah besar itu, tukang tersebut mengetuk pintu.
Tuk!
Tuk!
"Buu, panjenengan wonten tamu" ( Bu ada tamu)
Cekleek
Pintu terbuka dan keluarlah wanita paruh baya yang sangat cantik bertubuh gemuk.
"Siapa ya?" tanyanya dengan nada ketus sambil memperhatikan Fani.
"Saya Fani Bu, saya dapat alamat Ibu dari Mbak Risti ... Risti Susatyo," jawab Fani hampir saja lupa nama lengkap Risti.
"Ohh alah, iyo..sini masuk Mbak." Mami Purwanti mempersilahkan Fani masuk.
" Wes..kerja maneh!" perintah Mami pada pria yang tadi mengantarkan Fani.
"Mas, terimakasih ya," ucap Fani sambil menarik kedua sudut bibirnya.
Tukang tersebut kembali ke tempatnya dan meninggalkan Fani bersama mami Purwanti.
"Kamu bisa memanggil saya Mami Pur, di sini biaya kos enam ratus ribu perbulan yang reguler, pakai kipas angin nambah dua puluh lima ribu. Kalau kelas eksekutif satu juta itu pake Ac kamarnya juga kamar mandinya ada di dalam." jelas mami Pur. Fani mengangguk paham.
"Saya yang biasa aja Bu." sahut Fani.
"Ini uangnya." Fani mengeluarkan uang dari dalam dompet kecilnya sejumlah harga kamar kos yang reguler dan memberikannya pada mami Pur.
"Sebentar, saya ambilkan kuncinya." Mami Pur masuk ke dalam, lalu tak lama keluar lagi dan menyerahkan kuncinya.
"Oh iya, di sini paling malam tamu sampai jam sembilan ya, kalau menginap harus lapor saya, hanya boleh menginap tamu perempuan, kalau tamu laki-laki boleh berkunjung tapi duduknya di teras depan sana," jelasnya lagi. Dan Fani mengangguk kembali tanda mengerti.
"Mendengar kata makhluk lelaki rasanya, jahitan di perut ini kembali melilit." Fani bermonolog.
Kamar Fani berada di lantai dua, kamar nomor tiga puluh, posisi paling ujung. Dekat dengan bangunan baru yang sedang dalam pengerjaan. Fani membuka kamarnya, dan masuk, lalu memperhatikan tempat yang bersih, tidak terlalu sempit, ada ranjang lengkap dengan kasur single dan sudah dipakaikan seprei. Ada meja kecil di sudut ruangan dan lemari pakaian sederhana dari kayu tepat di samping meja. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, Fani kembali ke kamarnya untuk sholat magrib.
****
Tak terasa seminggu sudah Fani tinggal di sana, sudah mulai mengenal beberapa penghuni kos yang rata-rata anak kampus dan sebagian kecil pekerja. Lingkunganya nyaman membuat Fani betah tinggal di sana, Mami Purwanti juga ramah dan baik sikapnya kepada seluruh penghuni kos. Namun ada yang membuat Fani resah karena sudah seminggu tinggal di Malang, Fani belum juga mendapatkan pekerjaan, sedangkan uang pemberian Risti semakin berkurang karena dipakai buat bayar kos dan biaya sehari-hari.
"Udah dapat kerjaan belum Fan?" tanya Ami teman kosnya.
"Ck...belum nih," jawab Fani sedih.
"Sabar ya Fan, tau sendiri cari kerja disini ga gampang, apalagi kamu ga bawa ijazah dan berkas-berkas kamu yang lain." Ami menenangkan. Mereka berbicara di depan kamar Fani, sambil menikmati suasana sore dengan makan pisang goreng.
"Permisi, Mbak," suara laki-laki yang tak asing di telinga Fani.
Fani dan Ami menoleh, Fani lalu tersenyum melihat siapa yang menyapa. Si tukang yang mengantarkan dia bertemu Mami Purwanti.
"Ada apa, Mas?" tanya Fani keheranan melihat tukang tersebut bawa tangga.
"Itu di suruh mami ganti bola lampu di kamar Mbak," jawab tukang itu dengan logat jawanya.
"Oh..iya lupa, tadi pagi saya yang lapor emang," jawab Fani sambip menepuk keningnya.
"Itu Mas, bola lampunya di meja kecil, ambil aja." Fani menunjuk dari luar.
"Maaf lancang ya Mbak, jadi masuk," izin tukang tersebut.
"Iya ga papa Mas, dari pada saya tidur gelap-gelapan," seloroh Fani sambil menyeringai.
"Mas bangunannya manis ya?" celetuk Ami saat memperhatikan tukang bangunan tersebut mengganti bola lampu di kamar Fani.
"Iya sih, dikit," sahut Fani sambil terkekeh, melihat Ami terus saja melotot memperhatikan tukang bangunan tersebut.
Tak terlalu lama tukang tersebut selesai mengganti bola lampu kamar Fani.
"Sudah Mbak, saya pamit, mari," ucapnya sambil tersenyum lalu berjalan hemdak ke tangga turun.
"Maaas...!" teriak Fani dan Si tukang menoleh, " Ya Mbak, ada apa?" tanya tukang tersebut dengan kening berkerut.
"Nama saya Fani, nama Mas siapa?" tanya Fani ramah.
"Oh, saya Septiyan Mbak, panggil aja Tiyan," jawabnya ramah lalu berbalik dan turun.
Waktu berjalan cepat sudah hampir sebulan Fani mencari kerja ke sana kemari namun belum menemukannya, sedangkan uangnya hanya tersisa untuk membayar sewa bulan depan dan beberapa lembar lagi untuk makannya, mungkin hanya cukup untuk biaya sepuluh hari lagi. Dengan langkah gontai Fani membuka gerbang kosannya. Wajahnya pucat dan lemas karena hari ini dia hanya sarapan tidak makan siang, yah sejak di Malang Fani hanya makan dua kali sehari pagi dan sore hari untuk menghemat pengeluaran, tak jarang Fani juga puasa senin kamis, selain untuk ibadah, itu juga bagian dari penghematan biaya makannya.
"Lho udah pulang, Mbak," sapa Septiyan yang saat ini tengah mengecat dinding.
"Iya Mas," jawabnya lesu.
"Mbak sakit?" tanya lagi kali ini dia menghentikan aktifitasnya.
"Ga kok, cuma cape," jawab Fani sambil membetulkan sepatunya yang tampak sangat lusuh."
"Oh..gitu maaf Mbak, kalau saya lancang udah bertanya." Septiyan menunduk tanda meminta maaf.
"Ga papa Mas Tiyan, santai aja," jawab Fani sambil tersenyum.
"Saya lagi cari kerjaan Mas," ucap Fani sendu.
"Sudah hampir sebulan saya di sini belum dapat juga," lanjutnya lagi.
"Oh..gitu, yaahh sabar Mbak, memang sekarang cari kerjaan susah Mbak, sampeyan kudu kuatin doanya lagi," ucap Tiyan menyemangati.
"Makasih Mas, saya naik dulu." Fani pamit naik ke atas, jalannya sempoyongan, mungkin lemes juga karena belum makan siang.
Matanya menatap langit-langit kamar, hari ini dia tidak keluar mencari pekerjaan, karena Fani merasa badannya sedikit demam. Hari ini tepat satu bulan peristiwa mengerikan yang menimpanya. Fani mengangkat kaosnya, dilihatnya perut ratanya, air mata itu kembali menetes. Dia merindukan kedua janinnya. Fani tersedu mengingat kejadian di mana suami yang tak menginginkannya tega pada dirinya dan janin kembar mereka.
"Lelaki kejam itu pasti sudah bahagia sekarang, sedangkan aku di sini, Ya Allah bantulah hambamu ini," bisik Fani dalam hati sambil terisak sambil menahan rasa lapar.
****
"Paa...Aku udah cari tapi ga ketemu," ucap Munos pada papanya di telpon.
"Iya Pa, aku tahu, aku udah sewa detektif untuk mencari Fani tapi mereka juga belum bisa menemukannya, keluarganya juga ga tau Fani ke mana."
Pak Karim menutup begitu saja telponnya.
"Ya Allah Fani, kamu ke mana sih?" gumam Munos sambil mengacak kasar rambutnya.
Sudah satu bulan sejak kepergian Fani, Munos diboikot oleh kedua orangtuanya, mama dan papanya tak sudi bertemu dengan Munos, sebelum Munos berhasil menemukan Fani dan membawa Fani kembali. Kondisi mamanya juga kembali drop, mamanya tidak bisa melakukan aktifitas seperti biasa karena kondisi jantungnya yang lemah sejak kehilangan cucu dan kepergian menantunya, Bu Sundari stres berat.
Munos masuk ke dalam kamarnya, menatap sendu ruangan itu, mengingatkan kembali kebrutalannya pada istrinya. Perasaan bersalah kini menghantui. Dan yang anehnya, keponakannya ikut tak bereaksi lagi sejak kejadian itu. Munos pernah dalam keadaan mabuk, menyewa seorang PSK di sebuah club. Hasrat kelaki-lakiannya sudah membumbung tinggi, Namun apa yang terjadi setelah melihat PSK itu telanjang, Sang keponakan malah kembali tertidur, tidak bereaksi lagi hingga membuat kemarahan Sang PSK dan meninggalkan Munos begitu saja di dalam kamar hotel. Benar-benar peristiwa yang membuat harga dirinya sebagai lelaki jatuh dan pecah berkeping-keping.
Shit!" umpatnya.
"Gue beneran kena karma!" ucapnya kesal dengan dirinya sendiri.
****
"Fani....Fani!" teriak Ami mengetuk pintu kamar Fani. Karena dari pagi Fani tidak terlihat keluar kamar.
"Ya Allah Fani kenapa tak menjawab?" ucap Ami dengan khawatir. Lia dan Dinda menghampiri Ami dan mereka bertiga terus menggedor pintu kamar Fani, namun tetap tak ada sahutan.
"Sebentar gue ke mami minta kunci cadangan," ucap Lia bergegas turun.
Tak lama Lia naik kembali lalu menggeleng. " Mami lagi ga di rumah," ucap Lia pasrah.
"Ada apa, Mbak?" tanya Tiyan yang sedang merapikan atap bangunan sebelahnya dengan keheranan.
"Mas Tiyan sini bantuin dobrak kamar Fani, dia tidak keluar kamar dari pagi Mas, cepet!" ucap Ami sedikit aga keras hingga anak kos yang lain pada keluar dari kamar mereka.
Dengan sigap Tiyan dan seorang temannya berlari menuju kamar Fani, mereka mencoba mendobrak kamar Fani.
Brrrrraaakkk!
Tiyan dan temannya berhasil mendobrak, Ami melesak ke dalam, alangkah kagetnya mereka melihat Fani sudah tak sadarkan diri, wajah pucat seperti kapas, namun masih bernafas.
"Fani...Fani..Ya Allah kamu kenapa?" Ami terisak khawatir.
"Sebaiknya kita bawa ke klinik depan Mbak," ucap Tiyan tak kalah khawatirnya lalu dengan sigap menggendong Fani yang sudah tak sadarkan diri. Dengan di bonceng salah seorang tukang bangunan yang lain, Tiyan membawa Fani ke klinik yang tak jauh dari kos-kosan. Sedangkan Ami dan Lia menyusul, karena harus mencari pinjaman motor dulu.
"Bagaimana, Dok?" tanya Tiyan berdiri menghampiri dokter.
"Sebaiknya kita bicara di dalam," ajak sang dokter. Septiyan celingak-celinguk mencari Ami tetapi belum sampai, akhirnya Tiyan memutuskan untuk masuk ke dalam.
"Mas, ini kondisi istrinya sangat memprihatinkan, perutnya kosong, sepertinya dari kemarin, dia juga dehidrasi, lalu kelihatan stres dan luka bekas jahitan di perutnya sedikit ada infeksi. Apakah Mas tidak pernah mengecek jahitan bekas kuret di perut istri Mas?" tanya dokter.
Tiyan terdiam mendengar penjelasan dokter, dadanya bergemuruh, rasa kasihan pada kondisi Fani melandanya. "Ya Allah Mbak, sekeras apa sebenarnya hidupmu?" gumam Tiyan iba dalam hati.
"Trus apa yang sebaiknya saya lakukan, Dok?" tanya Tiyan lagi, masa bodoh dengan prasangka dokter bahwa dia adalah suaminya Fani.
"Sebaiknya perhatikan makan istrinya, yang sehat, dan bergizi, jangan buat dia stres, ajak piknik mungkin dan pelan-pelan ya saat berhubungan" jelas dokter.
Huukk!
Hukk!
Tiyan tersedak salivanya.
"Ini resep obatnya, setelah istrinya sadar dan kuat, sudah bisa dibawa pulang," ucap dokter memberikan selembar kertas resep kepada Tiyan.
Pelan Fani membuka mata, rasa sakit kepalanya masih terasa, perutnya juga berbunyi keroncongan. Fani menyadari sedang berada di ruangan klinik. Matanya menatap Septiyan, Ami dan Lia sedang berbicara dengan pelan.
"Ami...Lia..." Panggil Fani lirih.
"Fani...kamu sudah sadar, Alhamdulillah," ucap Ami senang lalu memeluk Fani begitu juga dengan Lia
"Kenapa aku di sini?" tanyanya
"Kamu pingsan karena ga makan dari kemaren ya'kan?" tanya Ami cemberut.
"Harusnya kamu kasih tau aku Fan, kalau lagi sakit dan ga bisa beli makan," lanjut Ami.
"Sudah Mbak Ami, ndak papa, yang penting Mbak Fani sudah sadar lagi, ini obatnya Mbak, minum dulu, baru makan buburnya, nih saya sudah belikan buburnya," ucap Tiyan tersenyum memberikan bungkusan obat pada Fani dan menyiapkan air untuk Fani minum.
"Terimakasih Mas Tiyan, maaf jadi merepotkan." Fani menatap wajah tukang bangunan itu dengan lemah.
"Wah kamu ndak tau aja Mas Tiyan ini gendong badan kamu yang gueedee ini pas pingsan tadi kayak gendong botol," seloroh Ami sambil tertawa kecil.
"Lain emang kalau kekuatan tukang bangunan," puji Ami lagi sambil cekikikan. Tiyan tampak kikuk menggaruk rambutnya yang tidak gatal, sedangkan Fani merasa malu saat mengetahui Tiyanlah yang menggendongnya.
Dengan cepat Fani menghabiskan bubur ayamnya dengan lahap. Setelah selesai makan, Fani, Lia, dan Ami juga Tiyan keluar dari ruangan. Ami dan Lia masih memapah Fani. Dengan sigap Setiyan memesan taksi online untuk mereka "Tapi ini berapa semua biayanya?" tanya Fani heran.
"Udah dibayar semua sama Tiyan, Fan, biar tukang bangunan juga duitnya merah semua di dompet," ucap Ami sambil nyengir.
"Ya Allah Mas Tiyan saya benar-benar udah nyusahin ya, maaf ya Mas Tiyan," ucap Fani tulus.
"Biar nanti saya ganti," lanjutnya lagi.
"Iya Mbak Fani, saya ikhlas kok, yang penting Mbak Fani sehat dan ceria lagi, biar cepat dapat kerjaan," ucap Tiyan sambil tersenyum.
Taksi online pun datang menjemput dan membawa mereka kembali ke kosan mami Purwanti.
****
Jangan lupa like, love dan komen.
??