Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Clarissa Putri Almashyra

Angin yang masuk melewati jendela dapur yang sengaja kubuka perlahan-lahan menerbangkan rambut pendekku—aku sudah memotongnya sebahu, kemudian terasa membelai pipiku, dingin. Tangan kananku sibuk mengaduk secangkir kopi susu yang kuletakkan di atas meja. Asap yang mengepul dari sana seakan menarikku untuk menghirup wanginya.

Ya, aku telah mengubah gaya rambutku sekarang. Kuharap dengan terpangkasnya setiap helai rambut di kepalaku, segera mampu menghilangkan dan membuang rasa sedihku di masa lalu. Aku harus move on, hidupku harus tetap berjalan.

Ah, malam ini sangat cerah. Bintang-bintang terlihat berkerlap-kerlip indah di atas sana. Aku tersenyum menatapnya dari bingkai jendela sambil menyesap kopi di tangan kananku dengan perlahan. Andai saja Ayah dan Ibu ada di sini ....

Sungguh, aku merasa kesepian.

Ini hari ke-dua aku di rumah sendirian. Aku menghela napas panjang, rasanya sepi sekali.

Dan di saat itulah ponselku bergetar. Aku tersentak kemudian kuraih benda persegi panjang yang kutaruh di atas meja itu perlahan.

Ah, lelaki itu mengirim pesan.

[Cha ... keluarlah.]

Aku mengerutkan kening ketika membaca pesan dari Kelvin. Untuk apa aku keluar?

Kutaruh cangkir kopi yang isinya tinggal separuh itu kembali pada tempatnya, kemudian melangkah menuju pintu depan rumah.

Dan setelah aku membukanya ....

"Surprise!"

Lelaki itu sudah berdiri di depan pintu rumahku, lengkap dengan sebuket bunga mawar merah di tangannya.

Tunggu sebentar!

Bunga ... mawar merah?!

"Untukmu. Kau suka?" ia mengulurkan bunga yang hanya kupandangi itu padaku.

Entahlah, aku merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin dia menganggapku lebih dari sekedar 'teman'. Aku sudah terlalu nyaman dengan status ini dengannya.

"Bunga?" tanyaku, menatap memicing ke arahnya dengan kening berkerut.

Dan sepertinya apa yang kulakukan membuat ia menjadi salah tingkah. Kulihat ia menggaruk tengkuknya dengan gerakan kikuk.

"Aku tidak ada maksud apa pun, Cha. Kau tenang saja." Ah, sepertinya ia tahu apa yang kupikirkan. Syukurlah. "Aku tahu kau bosan menerima coklat dariku, makanya sekarang aku menggantinya dengan ini." Ia tersenyum. Sejujurnya senyumannya sangat indah. Matanya yang beriris selegam langit malam terlihat menyipit kala ia melengkungkan bibirnya ke atas, mencipta kurva senyuman. Ah, kenapa pipiku sedikit terasa panas?

"Kau membuatku takut," ucapku, jujur.

"Kenapa takut?" alisnya yang rapi terangkat sebelah kala bertanya.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa."

Aku hanya takut untuk memulai kisah baru, lalu berakhir sama. Itu saja.

Kulihat ia mengerutkan keningnya. "Hey, kau tidak menyuruhku masuk?" tanyanya lagi, membawaku pada kesadaran.

Aku menghela napas sebelum menjawabnya. "Ini sudah terlalu malam, Kelvin. Harusnya kau pulang saja," jawabku. Kuterima sebuket mawar itu dari tangannya. "Terima kasih bunganya."

Kulihat ia menekuk alisnya, ia terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Kau mengusirku?"

"Bukan begitu ... ini sudah terlalu larut, aku tidak ingin tetangga menilai diriku lebih buruk lagi dari sebelumnya," ungkapku, menjelaskan. Kutatap mata gelapnya, kuharap ia mau mengerti. "Lagi pula kenapa kau terus datang, hah?" tanyaku kemudian.

"Kau tidak suka?"

Aku menghela napas kasar, sedikit merasa kesal. "Kenapa kau selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi?!"

Ia terlihat tersenyum kikuk. "Sebenarnya Paman Dedi yang menyuruhku untuk sering-sering mengunjungimu. Beliau menitipkanmu padaku selama Beliau tidak ada di rumah," jelasnya.

Hmm, pantas saja. Ayah dan Ibu tak akan hanya tinggal diam melepasku sendirian di rumah. Apalagi dengan kondisiku yang ... yah, baru saja menghadapi perceraian.

"Sudah kuduga. Padahal aku bukan anak kecil lagi."

"Itu tandanya Beliau sayang padamu, Cha." Kelvin berucap cepat.

Aku hanya diam tak menjawab ucapan Kelvin. Ayah dan Ibu memang sangat menyayangiku, wajar saja jika dalam kondisi seperti ini mereka sangat mengkhawatirkanku.

"Bolehkah aku masuk?" ia kembali menanyakan hal yang hampir sama. Belum menyerah juga ternyata.

Aku menghela napas panjang, menatap wajahnya yang masih saja menatap penuh harap padaku.

Ya sudahlah.

Akhirnya aku menyerah.

"Baiklah. Hanya sebentar saja. Katakan seperlunya, lalu pulanglah."

Kulihat ia tersenyum menang. "Omong-omong, kau terlihat semakin cantik dengan rambut barumu."

***

Aku menaruh bunga mawar merah dari Kelvin di atas meja ruang tamuku. Kulihat lelaki itu sudah menyamakan diri duduk di sofa. Kemudian aku mendudukkan diriku di hadapannya, terhalang meja kaca.

"Kau mau minum apa?" tawarku.

"Air putih saja."

"Susu?"

"Boleh."

"Tapi persediaan susu di lemari sudah habis." Aku memasang muka pura-pura menyesal.

Ku lihat ia sedikit kesal. "Ya sudah, tidak usah."

Aku tertawa dalam hati. Ia lucu juga.

"Aku bercanda." Aku terkikik, kemudian bangkit dari posisiku. "Biar aku ambilkan," ujarku.

Namun, saat aku hendak berdiri ia mencegahku dengan menarik tangan kananku. Seketika aku mengempaskannya secara refleks. Sejujurnya, aku masih belum terbiasa dengan ia yang kadang kala menyentuhku tiba-tiba.

Kelvin hanya menatapku. Seakan mengerti, ia menarik tangannya kembali kemudian meletakkan kembali di atas pahanya.

Entahlah ... jantungku berdetak tak tenang. Aku ... entah mengapa menjadi takut dengan sentuhan seorang pria. Apakah aku mengalami trauma?

"Tidak perlu, Cha. Aku juga hanya bercanda. Kau duduk saja."

Aku memegang dadaku, mencoba meredakan degupannya. Kemudian kembali duduk di hadapannya. "Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Kau ... akan meneruskan pendidikanmu di universitas mana, Cha?" tanyanya.

Yah, meskipun aku hamil di luar pernikahan saat masih kelas tiga SMA, namun aku masih sempat mengikuti ujian kelulusan. Dan, yah ... aku pada akhirnya bisa mendapatkan ijazah meskipun tak melanjutkan untuk berkuliah; aku menikah dengan Shaka.

Ah, dia lagi ... aku tak ingin mengingat pria itu lagi!

Aku menaikkan kedua bahuku, merespons pertanyaan Kelvin. "Entahlah. Aku belum tahu." Akuku dengan jujur. Sebenarnya aku masih bingung akan masuk ke universitas mana? Jurusan apa? Aku ... entahlah, seakan cita-citaku yang dulu menguap begitu saja.

Ia terlihat mengerutkan dahinya, pertanda ia sedang berpikir. "Kalau begitu, kau bisa masuk ke universitas yang sama denganku. Dengan begitu kau bisa selalu dekat denganku. Bagaimana?" tawarnya dengan menaik-turunkan kedua alisnya.

Aku hanya memutar kedua bola mata menanggapi kelakuan Kelvin.

"Malas sih sebenarnya."

"Kau yakin? Kau pasti akan merasa kehilanganku jika aku tak ada. Kau pasti akan merindukanku. Aku yakin itu." Dia tersenyum jenaka. Aku tahu, dia sedang bercanda. Ia memanglah lelaki yang humoris.

"Dalam mimpimu!"

"Haha ... aku bercanda, Cha. Kau serius sekali."

Aku hanya terkekeh ringan menanggapi candaannya. Aku sudah tahu.

Sebenarnya tidak ada salahnya mengikuti saran lelaki di depanku ini. Lagi pula ... aku masih belum tahu apa sebenarnya tujuan hidupku saat ini.

"Hmm ... mungkin aku akan ikut denganmu. Aku juga tidak tahu akan ke mana?"

Sontak saja senyuman secerah mentari langsung terbit di bibirnya yang berwarna merah kecoklatan. Sepertinya ia terlihat sangat senang.

"Baiklah. Biar nanti aku saja yang berbicara pada Ayahmu. Persiapkan saja dirimu."

"Hmm .... baiklah. Sekarang kau boleh pulang," ucapku, final. Kemudian berjalan menuju pintu, membukanya.

Dan lelaki itu secara refleks mengikutiku. Meskipun dengan raut wajah tertekuk.

"Ap—" sepertinya ia hendak protes. Namun, sebelum ia menyelesaikan ucapannya, aku sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya keluar.

"Selamat malam," ucapku, sebelum akhirnya membanting pintu.

"Cha—"

Dan kalimat yang bahkan belum terangkai dari mulutnya sirna seiring suara debaman yang tercipta.

***

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel