Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB. 4 Sikap Dingin Rangga

Pagi itu, sinar matahari mengintip malu-malu dari balik jendela kamar Ratih dan suaminya, Rangga. Di dalam kamar kecil yang pengap itu, Ratih masih duduk di kursi kayu yang berada di dekat ranjang dengan bungkusan plastik kecil di tangannya. Dia baru saja pulang dari warung Mbak Minah di ujung gang, hanya membeli beberapa kebutuhan pokok seadanya, antara beras, tempe, dan sayuran.

Hari semakin siang tapi suaminya, Rangga, masih saja tidur, berbanding terbalik dengan sikapnya dulu yang sangat rajin bangun pagi saat masih bekerja sebagai sopir pribadi ayahnya. Ratih menghela napas panjang, menyadari betapa jauh kehidupannya sekarang dibandingkan dulu ketika dia masih tinggal di rumah orang tuanya yang besar dan megah.

“Semua pasti ada jalannya,” bisik Ratih kepada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hati.

Namun, ketenangannya pagi itu mendadak buyar ketika terdengar ketukan keras di pintu depan rumah sederhana iyu. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, disertai suara laki-laki yang memanggil nama suaminya.

"Rangga! Rangga!" Suara itu terdengar kasar dan penuh desakan dan paksaan.

Ratih terlonjak kaget. Dia pun segera beranjak dari ranjang dan berjalan menuju ruang depan, rasa was-was merayapi dirinya.

“Siapa yang mengetuk pintu sepagi ini dengan begitu keras? Apakah ini masalah baru yang harus dihadapi?” Ratih menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu.

Begitu pintu terbuka, seorang pria berperawakan tinggi dengan kulit hitam legam berdiri di sana. Matanya menatap Ratih dengan cara yang membuat bulu kuduknya merinding. Ada sesuatu yang tidak beres dengan tatapan pria itu, seolah-olah dia sedang menilai dan ingin memangsa dirinya.

"Siapa ya, Mas?" Ratih berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

Pria itu tersenyum tipis, lalu memperkenalkan dirinya.

"Nama saya Ujang. Saya datang mau ambil kunci mobil yang dipinjam Rangga. Dia ada di rumah, kan?"

Ratih terdiam sejenak, bingung. Kunci mobil? Rangga tidak pernah bilang apapun soal meminjam mobil dari orang lain. Ternyata mobil yang dia dan Rangga pakai kemarin adalah mobil pinjaman. Ratih semakin kaget mendengar kenyataan itu.

Namun belum sempat Ratih menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah dari dalam kamar. Rangga muncul dari kamar dengan pakaian yang lebih rapi dari biasanya, meski tidak benar-benar terlihat seperti siap untuk bekerja.

"Oh … Lo, Ujang! Kirain siapa yang bikin keributan pagi-pagi begini!” seru Rangga sambil menunjukkan wajah kesal.

Tunggu sebentar, ya! Gue siap-siap dulu," ucap Rangga dengan santai, seolah-olah situasi ini tidak ada yang aneh sama sekali.

Ratih pun menatap suaminya dengan tatapan heran. Ini adalah hari pertama mereka setelah sah menjadi pasangan suami dan istri.

"Kamu mau ke mana, Mas?" tanya Ratih lembut, berusaha memahami situasinya.

"Mau cari kerja, Tih," jawab Rangga singkat tanpa menoleh ke arah istrinya. Dia pun berjalan menuju pintu dan tampak sangat tergesa-gesa.

"Tapi kamu belum sarapan. Aku baru mau masak," ujar Ratih, suaranya penuh perhatian. Dia ingin memastikan suaminya berangkat dengan perut terisi.

Namun, Rangga tidak menggubris perkataan istrinya. Tanpa sepatah kata pun, dia langsung meraih lengan Ujang dan menyeretnya keluar dari rumah.

"Ayo, kita keluar sekarang! Lo ini ganggu orang lagi tidur saja!" ujar Rangga sambil berjalan cepat keluar dari pintu rumah petakan itu. Ujang hanya bisa mengikuti, meski di wajahnya terlihat sedikit bingung dengan sikap Rangga yang tiba-tiba terburu-buru.

Ratih berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Hatinya terasa kosong. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa.

“Mas Rangga? Kamu kenapa? Kok kok berubah sikapnya kepadaku?” seru Ratih dalam hatinya.

Di ujung gang, mobil yang dipinjam Rangga terparkir di sana dengan rapi. Ketika mereka tiba di sana, Mbak Minah yang sedang menyapu halaman depan warungnya, menyapa mereka.

"Eh, Rangga! Mau pergi ya? Rajin banget sih kamu, hebat deh bisa cari istri secantik Ratih," puji Mbak Minah sambil terkekeh.

Ujang yang berdiri di samping Rangga terperangah.

"Istri?" pikirnya dalam hati.

Dia tidak tahu kalau Rangga sudah menikah. Matanya kembali terbayang sosok Ratih yang tadi membuka pintu. Wajahnya cantik, kulitnya cerah, dan ada aura lembut yang memancar dari dirinya. Hatinya mendadak berdesir, diam-diam dia merasa tertarik pada Ratih.

“Gila banget! Ternyata wanita berparas cantik itu istri Rangga? Hhmm, boleh juga tuh cewek!” seru Ujang sambil menyeringai nakal.

“Hei! Lo kenapa! Lagi kesambet kah? Kok Lo malah senyum-senyum sendiri?” sergah Rangga kepada Ujang.

“Ya ampun, Rangga! Kok Lo nggak bilang-bilang sih, kalau sudah menikah! Parah Lo, ah!” kesal Ujang pura-pura.

“Cih! Ngapain gue ngundang Lo? Memangnya Lo mau ngasih kado pernikahan buat gue?” ketus Rangga.

“He-he-he. Nggak, sih! Duit dari mana? Gue saja baru kalah judi!” celetuk Ujang.

“Makanya, jangan banyak bacot, Lo!” sergah Rangga.

Sementara itu, di dalam rumah yang sempit dan sederhana, Ratih kembali masuk ke dapur. Dia menyalakan kompor dan mulai menanak nasi. Tangan-tangannya yang lentik dengan cekatan mengikuti panduan memasak dari internet di layar ponselnya. Setiap langkah diikuti dengan cermat, bagaimana cara mencuci beras, menumis sayuran, dan menggoreng tempe hingga matang.

Saat nasi dan lauk sederhana itu selesai dimasak, Ratih duduk sendirian di meja makan. Tidak ada Rangga yang menemaninya pagi itu. Sepiring nasi, sayur, dan tempe terhidang di hadapannya, tapi tak ada keinginan untuk makan. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu, mengingat kehidupannya dulu sebelum menikah dengan Rangga.

Ratih berasal dari keluarga berada. Rumah orang tuanya luas dan megah, setiap sudutnya dihiasi dengan perabotan mahal. Jika menginginkan sesuatu, Ratih tidak pernah perlu menunggu. Namun, semua itu ditinggalkannya ketika dia memilih untuk menikah dengan Rangga, seorang pria sederhana yang penuh pesona pada awalnya.

"Kenapa hidupku jadi seperti ini?" gumam Ratih pelan, matanya mulai memanas.

Perempuan itu tidak pernah menyangka jika pernikahannya dengan Rangga akan membawanya ke dalam kehidupan yang serba kekurangan. Rumah petakan kecil ini terasa seperti penjara baginya, sempit dan tidak nyaman. Dia ingin Rangga lebih memperhatikan dirinya, lebih peduli, tapi yang ada hanyalah kebisuan dan jarak yang semakin lama semakin jauh di antara mereka.

Sambil menghela napas, Ratih mengambil sejumput nasi dengan tempe, memasukkannya ke mulutnya. Rasanya hambar, sama seperti perasaannya saat ini. Tanpa Rangga di sampingnya, segala sesuatu terasa sepi dan hampa.

Ratih mendadak teringat pada masa-masa di rumah orang tuanya, di mana sarapan selalu disajikan oleh pembantu rumah tangga, dan dia tidak pernah perlu memikirkan soal masak atau belanja. Kini, semua berubah. Kehidupannya berbanding terbalik dengan apa yang dulu dirinya alami.

Perlahan-lahan, air mata mulai mengalir di pipi Ratih. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyanya pada diri sendiri. Tapi tidak ada jawaban, hanya suara kesunyian yang menjawab keheningan di rumah petak itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel