#4. Air Mata di Gerbang Eden
Keheningan melingkupi Eden. Bukan sunyi yang damai, melainkan ketiadaan suara yang berat, seolah alam menahan napas. Pohon-pohon yang dahulu menari dalam musik surgawi kini bergeming. Sungai yang biasanya bernyanyi dengan riang kini mengalir dengan irama sendu, seakan memahami bahwa harmoni telah pecah. Adam dan Hawa duduk tersembunyi di balik semak, tubuh mereka diselubungi anyaman daun yang dirajut dengan tergesa-gesa. Rasa malu pertama kali menusuk jiwa mereka perasaan asing yang begitu menusuk, lebih tajam dari duri mana pun.
Mereka saling menatap, dan di antara tatapan itu ada jurang yang baru saja tercipta: keraguan. Cinta masih ada, tetapi kini terbebani oleh kesadaran pahit bahwa mereka telah mengkhianati Sang Pencipta.
Lalu, dalam keheningan yang menyesakkan itu, sebuah suara bergema. Bukan suara burung, bukan gemerisik angin, melainkan suara yang sejak awal menjadi sumber dari segala yang ada. Suara yang mengenal setiap inci dari diri mereka.
“Adam, di manakah engkau?”
Suara itu bukan sekadar pertanyaan, melainkan panggilan yang menusuk hati, panggilan kasih yang diselimuti luka. Adam bergetar. Hawa memegang tangannya, tetapi tidak ada tempat untuk bersembunyi dari suara yang mengenal setiap pikiran dan sudut hati.
Mereka keluar dari persembunyian, kepala tertunduk, dan Hawa bisa merasakan butiran debu di wajahnya debu yang kini terasa berbeda dari sebelumnya.
“Aku mendengar suara-Mu di taman, dan aku takut, karena aku telanjang. Maka aku bersembunyi,” jawab Adam, suaranya parau, matanya basah.
Pertanyaan itu kembali bergema, lembut namun tak terbantahkan: “Siapa yang memberitahumu bahwa engkau telanjang? Apakah engkau telah makan buah dari pohon yang Kularang?”
Adam terdiam sejenak. Hatinya kacau, dan ia bisa merasakan benang-benang kepercayaannya pada Hawa mulai menegang. Dengan suara gemetar, ia berkata, “Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku dialah yang memberiku buah itu, dan aku memakannya.”
Hawa menunduk, air mata mengalir membasahi pipinya. Tangannya menggenggam tangan Adam, namun genggaman itu kini terasa kosong. “Ular itu menipuku,” bisiknya lirih, “dan aku memakannya.”
Maka suara Sang Pencipta, penuh murka dan kasih yang tak terlukiskan, melingkupi taman. Kebenaran telah terungkap. Ular, Hawa, dan Adam berdiri di hadapan takhta tak terlihat, mendengarkan firman yang akan mengukir takdir seluruh umat manusia.
Kepada ular itu, Ia berfirman:
“Karena engkau telah melakukan ini, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan binatang liar. Dengan perutmu engkau akan menjalar, dan debu akan menjadi makananmu. Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Di dalam firman itu, hukuman dan janji terjalin menjadi satu. Kejatuhan telah terjadi, tetapi di saat yang sama, benih penebusan telah ditabur. Dari rahim seorang perempuan, kelak akan lahir Sang Penyelamat yang akan menghancurkan kepala ular itu untuk selamanya.
Kepada Hawa, Ia berfirman:
“Aku akan sangat melipatgandakan kesusahanmu saat mengandung dan melahirkan; dengan sakit engkau akan melahirkan anakmu. Engkau akan merindukan suamimu, dan ia akan berkuasa atasmu.”
Air mata Hawa tumpah, bukan hanya karena sakit yang dijanjikan, tetapi karena ia mengerti bahwa kesalahannya kini menjadi beban bagi semua generasi yang akan lahir darinya. Ia telah merenggut kemudahan dari keturunannya.
Kepada Adam, firman itu pun menggema:
“Karena engkau mendengarkan perkataan istrimu dan makan buah dari pohon yang telah Kuperintahkan: ‘Jangan kau makan,’ maka terkutuklah tanah karena engkau. Dengan susah payah engkau akan mencari rezekimu seumur hidupmu. Semak duri dan onak akan ditumbuhkannya bagimu, dan engkau akan memakan tumbuh-tumbuhan di padang. Dengan peluh di wajahmu, engkau akan makan roti sampai engkau kembali menjadi tanah, sebab dari sanalah engkau diambil; engkau debu, dan engkau akan kembali menjadi debu.”
Adam menutup wajahnya, hatinya hancur berkeping-keping. Kata-kata itu lebih berat daripada gunung. Ia mengerti bahwa ia tidak lagi hanya seorang imam di taman, tetapi kini ayah dari umat manusia yang rapuh, yang akan mewarisi penderitaan dan kerja keras.
Langit Eden meredup, meski mentari masih bersinar. Cahaya yang jatuh ke bumi terasa dingin, diselimuti kabut kesedihan. Malaikat-malaikat surgawi turun, wajah mereka bercahaya namun penuh duka. Di tangan mereka ada pedang api yang menari-nari tanpa henti, simbol keadilan dan pemisahan yang tak terhindarkan.
Adam dan Hawa berdiri di gerbang Eden. Taman yang pernah menjadi surga kini berada di belakang mereka, penuh kemuliaan, namun tertutup bagi mereka selamanya. Nyanyian burung terdengar jauh, dan riak sungai terasa asing. Pohon kehidupan, yang bersinar di tengah taman, tidak lagi dapat dijangkau.
Malaikat berjaga dengan pedang api. Mata mereka menatap lurus ke depan, tidak tersentuh oleh air mata manusia. Tidak ada jalan kembali. Adam dan Hawa melangkah keluar, kaki mereka menyentuh tanah yang lebih keras, rumput yang tak lagi lembut. Dunia baru terbentang di hadapan mereka, dunia penuh kerja keras, penderitaan, dan pilihan yang berat.
Hawa menangis di bahu Adam. “Apakah kita akan pernah kembali?” bisiknya, suaranya parau.
Adam memeluknya erat, menatap langit yang kini berawan. “Kita telah jatuh,” katanya, “namun janji telah diucapkan. Dari rahimmu akan lahir penebusan. Kita tidak akan kembali ke taman ini, tetapi suatu hari, kita akan kembali kepada Dia yang menciptakan kita.”
Langkah pertama mereka di dunia baru terasa berat, seperti setiap langkah adalah perpisahan dengan Eden. Setiap tarikan napas adalah pengingat akan kesalahan mereka. Namun dalam kesedihan itu, ada secercah cahaya samar janji bahwa kegelapan bukanlah akhir.
Malaikat di gerbang Eden mengangkat pedang api. Cahaya menyala menembus langit, menjadi tanda bahwa batas telah ditetapkan. Eden kini hanya tinggal kenangan, gema dari kesempurnaan yang telah dikhianati. Namun di balik batas itu, ada rencana yang lebih besar, sebuah jalan panjang yang akan membawa manusia dari kejatuhan menuju penebusan, dari debu menuju kemuliaan.
Adam menoleh untuk terakhir kalinya, melihat Pohon Kehidupan bersinar di tengah cahaya yang tak terjangkau, dan air matanya mengalir. “Selamat tinggal, rumahku,” bisiknya.
Hawa menggenggam tangannya, dan bersama-sama mereka melangkah ke dalam dunia baru dunia di mana kerja keras, penderitaan, dan air mata menunggu, tetapi juga dunia di mana harapan akan lahir kembali.
Di langit malam, bintang-bintang mulai muncul satu per satu, menyaksikan awal dari perjalanan panjang manusia. Dan di balik bintang-bintang itu, Sang Pencipta tetap memandang, bukan hanya dengan murka, tetapi dengan kasih yang menunggu saat penebusan sempurna dinyatakan.
Dengan demikian, berakhirlah zaman Eden, dan dimulailah zaman bumi zaman di mana manusia akan belajar, jatuh, bangkit, dan berjalan di jalan panjang menuju janji yang telah ditetapkan sejak permulaan waktu.
