Part 1
Kaluna Maharani Atmaji Putri POV
Sejak kejadian semalam kehidupanku yang biasanya baik-baik saja, tenang, dan bagikan air sungai yang mengalir menjadi tiba tiba dilanda banjir. Bagaimana bisa Papa menginginkan diriku menikah lebih dulu daripada Ruben, secara aku saja tidak memiliki pacar, boro-boro pacar, gebetan saja tidak punya. Sejak usiaku memasuki kepala tiga, Keinginan menikah sudah aku buang jauh-jauh dari isi kepala. Hidupku hanya fokus mengurusi wedding organizer dan cafe. Memang aku tidak pernah terjun langsung di perusahaan keluarga karena sejak Ruben lulus kuliah, Ruben-lah yang meneruskan, dan aku lebih memilih untuk menjadi pemegang saham pasif disana.
Ketika semalam pulang dari rumah orangtuaku pukul 22:00 WIB, aku langsung menelepon sahabatku, Hilda dan memutuskan untuk bertemu besok siang di cafe. Cafeku memang biasanya dipakai oleh para Mahasiswa untuk mengerjakan tugas, ngobrol, ataupun kumpul bersama teman temannya. Aku sengaja membuat cafe dengan gaya minimalis. Harga makanan dan minuman yang disedikan di sini pun cukup ramah dikantong anak kost.
"Hai Lun, sorry Gue telat soalnya habis shopping di Paris, terus nyalon dulu di New York," aku yang sudah hafal dengan kehaluan sahabatku sejak TK ini hanya menatapnya yang sedang berjalan kearahku, ia langsung menarik kursi di depanku.
“Ada apa nih tumbenan ngajak ketemu gue, pasti lo takut ya gue balik ke Jakarta besok pagi tanpa pamit ke lo lagi,” sambung Hilda sambil meminum minumanku yang sudah ada di meja.
"Gue lebih takut nggak dapet calon suami dalam waktu deket ini daripada lo tinggal balik ke Jakarta," kataku sambil memalingkan wajah untuk menatap jalan di depan cafe yang ckup rame saat ini.
Bukannya jawaban yang aku dapatkan, justru tawa Hilda yang lepas tanpa beban memenuhi cafeku siang ini, yang untungnya sedikit lebih sepi karena masih jam perkuliahan.
"Ngapain lo ketawa, lo kira ini lucu?"
"Tenang aja kali, Lun, lo datang pada orang yang sangat tepat," kata Hilda setelah tawanya hilang.
"Lo punya solusi apa?" tanyaku langsung membetulkan posisi duduk untuk menghadap Hilda.
"Jaman sekarang, Lun, apa sih yang nggak bisa dibeli pakai duit, kan lo punya duit, lo belilah suami," kata kata Hilda terdengar enteng di telingaku. Bedebah memang wanita sosialita satu ini.
"Gue sudah nyari di shopee, tokped, semuanya ga ada yang jual suami, Oneng," kataku gemas.
"Lo yakin nggak masalah kalo ngeluarin duit buat beli suami?" Hilda mulai bertanya dengan serius yang aku jawab dengan, "hmm" saja.
"Okay, kalo gitu gue akan bantu cari, sebutin kriterianya, lo mau yang kaya apa, misal kaya kim soo hyun, rain, atau mungkin cha eun woo?"
"Gue nggak punya kriteria, selagi dia mau nikahin gue paling enggak dalam jangka waktu satu tahun dari kita nikah, gue akan kasih dia apa yang dia mau dari gue, habis itu kita bisa cerai."
“Okay, kalo gitu gue pakai standar gue aja deh milihinnya buat lo, yang pasti gue jamin nggak akan bikin lo malu."
"Asal lo dapet aja, bantuin gue beneran, awas lo," ancamku padanya.
"Iye, udah buruan lo kasih gue makan, dari pagi gue belum makan," kata Hilda tidak sabaran.
***
Dua hari setelah pertemuanku dengan Hilda, tiba-tiba di pagi hari itu Hilda meneleponku. Yang membuat aku harus mengangkat handphone walau mata ini masih ingin tertutup.
"Lun, gue beneran sudah dapat nih suami buat lo," kata Hilda, yang sukses membuat aku langsung terduduk dan membuka mata sempurna.
"Serius lo, Hil?"
"Iya, gue serius, gue janjian sama dia siang ini jam 2, lo buruan pagi ini cari penerbangan ke Jakarta, kita ketemu dia bareng bareng," Kata Hilda, yang langsung menutup teleponnya pagi ini.
Setelah telepon Hilda ditutup, aku langsung mencari tiket pesawat dan mendapatkan penerbangan pukul 09:00 WIB. Masih sisa 3 jam sebelum keberangkatan, secepatnya aku bersiap siap dan membatalkan semua agendanya hari ini.
-Jakarta-
Pukul 12.00 WIB aku sudah di dalam mobil Hilda, dan kami bersama sama menuju ke sebuah Mall untuk bertemu dengan calon suamiku.
"Lo beneran, sudah dapet calon suami buat gue hanya dalam waktu 2 hari."
"Iyalah dapat, hari gini siapa sih yang menolak dapet duit banyak apalagi dikota besar macam jakarta ini."
"Lo kenal dia dari mana?"
"Oh, dia itu langganan temen-temen arisan sosialita gue gitu kalo lagi kesepian dan butuh belaian," Jawab Hilda enteng.
"What?" aku berteriak kencang di dalam mobil, yang sukses membuat Hilda mengerem mendadak. Untung dibelakang kami sepi, kalo rame entah kejadian apa yang akan terjadi.
"Lo kenapa sih Lun, bikin gue kaget aja! pakai teriak segala," Hilda sudah sewot melihat ekspresiku yang masih shock dengan informasi yang di berikannya.
"Gimana gue nggak shock, lo cariin gue suami yang jelas-jelas sudah nggak perjaka dan lebih parahnya lagi dia gigolo," kataku yang sudah tidak bisa mengerem lagi kalimat dimulutnya.
"Hallo... Lun, hari gini gitu, Lun. Lo yakin akan dapet perjaka, anak SMA saja sudah banyak yang nggak perjaka sekarang, Lun. Lagian ya, terlalu kasar kalo lo nyebut dia gitu, sebut dong sugar baby gitu, rada lebih enak di telinga, Lun dan tenang aja, dia itu cakep, tinggi, gagah, badannya Lun, six pack, roti sobek Lun. Gue jamin lo nggak akan nyesel nikahin dia."
Aku memincingkan mata.
"Darimana lo tau kalo badannya bagus? Lo pernah pakai dia, ya?"
“Sembarangan aja lo kalo ngomong, gini gini gue ini sudah terpuaskan oleh suami, ngapain buang duit cuma buat silaturahmi kelamin doang.”
Aku masih menatap Hilda yang menyetir di sampingku sambil menunggu penjelasan lebih soal "calon suami"-ku.
"Okay, gue lanjutin penjelasan gue. Namanya Ervin, umurnya 27 tahun, profesi fotografer dan model, menurut temen-temen gue yang pernah pakai dia, Ervin ini orangnya sweet banget, mengerti plus peka sama wanita dan katanya perkasa," kata Hilda dengan menaik turunkan alisnya sambil menatap diriku.
"Busettt, lo cariin gue suami berondong? dan apa itu tadi, perkasa? Oh iya, gue nggak butuh keperkasaan dia dihidup gue, gue cuma perlu dia nikahin gue secara sah agama dan negara."
“Tujuan gue ngajakin lo ketemu dia itu buat bikin kesepakatan, berapa bayaran dia dari lo selama jadi suami kontrak lo itu.”
"Dia sudah tau tentang rencana kita?"
"Sudah, gue sudah terangin di awal, dan dia okay-okay aja, kata dia selagi lo nggak keberatan dengan keadaan dia, dia bisa nerima lo apa adanya."
***
Ervin Aditya POV
Kemarin siang aku mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku bernama Hilda, dia mengatakan mendapatkan nomerku dari Ayu, wanita yang belum lama ini aku puaskan di ranjang hingga mendapatkan banyak sekali klimaks. Aku memahami, biasanya orang meneleponku ke nomer handphoneku yang ini karena mereka mau menggunakan jasaku, sehingga aku paham sekali siapa mereka, tapi ada yang berbeda dari apa yang Hilda inginkan dariku, Hilda bilang bahwa dia sedang mencarikan suami untuk sahabatnya. Aku langsung tertawa dan Hilda menggeram diujung sana dari apa yang aku dengar di telepon yang menandakan bahwa dia tidak main-main dengan ucapannya. Dari yang disampaikan oleh Hilda temannya ini seorang pengusaha muda yang cukup sukses, dan tentunya wanita baik baik, dia hanya butuh aku menikahinya secara agama dan negara lalu dia akan membayarku.
Aku tau kalo aku adalah laki-laki bayaran, tapi entah kenapa hatiku merasakan sesak ketika ada wanita yang menawarkan padaku untuk menjadi suaminya, bukankah wanita baik-baik akan mencari pria baik-baik untuk dinikahi bukan seorang bajingan sepertiku ini, yang maaf-maaf saja hidupku pas-pasan, keluargaku bukan dari keluarga kaya raya, bahkan aku adalah anak yang lahir tanpa seorang ayah, yang aku tau ayahku adalah orang asing, sehingga itu menjadi point plusku karena aku berwajah lebih dominan bule daripada mirip orang asli negara ini.
Siang ini aku janjian dengan Hilda untuk bertemu di sebuah Mall, ketika dia mengirimkan bosan WhatsApp kepadaku bahwa dia ada di salah satu restoran di mall tersebut aku segera menuju ke sana. Setelah mencari cari, akhirnya aku temukan Hilda dan "calon istri" yang sedang asyik dengan makanan yang sedang di santapnya. Aku melihat Hilda melambaikan tangan kanannya ke atas, bermaksud memberitahukanku posisinya dan agar aku segera menuju kesana.
"Hai, Ervin ya, kenalin gue Hilda Amalia dan ini sahabat Gue, Kaluna," kata Hilda ketika aku sampai dimejanya dan langsung sapaan ramah yang aku dapat darinya sambil berjabat tangan dengan mereka berdua. Setelah itu mereka mempersilahkan aku duduk dan aku berhadapan dengan Kaluna, yang katanya cukup dipanggil Luna saja.
Kesan pertama aku melihat Luna adalah dia belum bisa ku sebut "sugar mommy" karena dari wajahnya yang awet muda dengan wajah khas wanita indonesia, eksotis, memiliki tinggi kurang lebih 168 cm, penampilannya pun cukup sederhana jauh dari kata glamor, beda dengan sahabatnya Hilda yang dari penampilannya orang sudah tau kalo dia dari kaum sosialita kelas atas. Hari ini aku melihat Luna jauh dari kata menor, hanya lip blam menghiasi bibirnya, tanpa make up, dan penampilannya hanya di balut kaos dan celana jeans panjang. Sungguh tidak terlihat bahwa ia adalah seorang pengusaha sukses. Cukup melihatnya keseluruhan dan menatap matanya beberapa detik ini, aku tau dia wanita baik-baik dan aku bersyukur tawaran itu jatuh kepadaku untuk menjadi suaminya walau ini pura-pura, aku tidak akan menolaknya.
"Kira-kira lo okay nggak sama yang gue terangin barusan Vin?" Kata-kata Luna membuatku tersadar ternyata aku sudah melamun cukup lama.
"Hmm... gimana?" Kataku yang membuat Luna memperhatikanku lebih dalam tapi dia mau mengulangi penjelasannya dengan sabar.
"Seperti yang dibilang Hilda kemarin sama lo, gue butuh suami dan Hilda bilang lo setuju, nah karena lo setuju, gue akan kasih rincian pembayaran yang bisa lo terima ketika menikah dengan gue, gue akan hitung bayaran setiap bulan sebesar 50 juta, jadi karena kontrak nikah kita selama setaun, gue akan kasih lo 600 juta. Pembayaran diawal sebagai DP gue akan bayar 50% nya dulu, setelah lo tanda tangani perjanjian kita ini. Gimana, lo setuju?" Melihatku yang masih diam saja Luna menambahkan.
"Kalo menurut lo 50 juta sebulan masih kurang gue bisa tambahin kok, lo mau berapa?"
"Nggak, gue setuju aja, asal lo juga setuju sama syarat gue?"
"Emang lo punya syarat apaan?"
"Sebelum gue nikahin lo, biar terasa ini bukan rekayasa, gue akan ajak lo ke keluarga gue buat dikenalin dan minta restu dari mereka. Untuk mahar pernikahan nanti gue mau, gue yang akan kasih itu ke lo. Gimana, lo setuju?"
Aku melihat Luna menganggukkan kepalanya, dan dia menyodorkan kertas HVS rangkap dua yang ketika aku baca isinya adalah klausa-klausa tentang kesepakatan yang dia inginkan dariku, lebih dari apapun aku tidak keberatan dengan satupun point di sana, bahkan yg lebih menggelikan lagi tertulis No Sex. Aku tersenyum, selama ini orang membayarku untuk sex, dan sekarang justru aku mendapatkan uang sebanyak ini tanpa aku perlu sex. Aku menandatanganinya, dan memberikan kepadanya lagi.
"Oh iya, gue lupa, selama lo jadi suami gue, gue cuma berharap lo bisa vakum dulu dari pekerjaan lo dan tetap setia dengan komitmen pernikahan ini. Karena gue pengen jaga nama baik gue, keluarga dan terlebih lagi nama baik lo dimata semua orang."
Oh Tuhan, wanita sebaik ini yang akan jadi istriku nanti? Aku hanya tersenyum dan mengatakan, "okay, nggak masalah."
"Gue nggak punya banyak waktu, kalo lo nggak keberatan lo bisa ajak gue ke keluarga lo secepatnya."
"Okay kalo gitu sekarang saja gue ajak lo ketemu keluarga gue, biar gak kelamaan."
Aku berdiri dari dudukku di ikuti Luna, serta Hilda yang kemudian membayar tagihan makan mereka, setelah itu kami keluar dari mall tersebut menuju parkiran basemen.
Kaluna Maharani Atmaji Putri POV
Aku berjalan keluar dari Mall bersama Hilda dan Ervin. Aku akui, Aku sedikit gugup awalnya ketika akan bertemu dengannya. Ternyata semua tidak terbukti karena Ervin sangat santai dan sama sekali tidak terlihat bahwa Ervin seorang bajingan, berengsek, atau laki laki yang memiliki pergaulan tidak benar. Aku bisa melihat wajahnya yang dominan memiliki raut wajah orang barat, dengan alis tebal, dan mata birunya yang hmm... Kalo bukan karena aku tau siapa dia, mungkin aku akan klepek-klepek.
Secara fisik, aku akui Hilda memang memiliki selera yang diatas rata rata. Karena aku yakin ketika aku berjalan bersama Ervin yang tingginya aku yakin diatas 180 cm, mungkin 185 centimeter tepatnya, badannya terbentuk sempurna hasil kerja keras dari gym selama bertahun tahun ini, orang sudah pasti melirikku dan akan berkata bahwa aku tidak pantas bersanding dengannya. Baru aku sadari pantas saja dia digemari oleh para sugar mommy yang mencari kenikmatan diluar rumah, lha wong bentuknya saja seperti ini, aku yang bukan sugar mommy saja bisa kepincut kalo nggak hati-hati jaga mata dan hati.
Diparkiran aku berpisah dari Hilda dan menuju mobil Ervin, aku menuju ke subuah Honda Jazz abu-abu dan aku masuk setelah Ervin membukakanku pintu. Kalo dipikir pikir ini merupakan salah satu sikap termanis dari laki laki yang pernah aku terima.
Ya Tuhan... Aku sereceh ini ternyata.
Selama perjalanan kami sejujurnya awalnya aku merasa canggung, bagaimana mungkin pertama kali bertemu dengannya, langsung diajak bertemu keluarganya, dan akan dikanalkan sebagai calon isterinya pula. oh My God, demi warga bikini bottom yang masih mandi walau mereka tinggal di dalam air, aku sangat gugup dan bingung harus seperti apa nantinya menghadapinya hingga aku dengar Ervin berdeham sebelum berbicara .
"Kalo enggak keberatan, mulai sekarang jangan panggil lo gue ya, panggil aku kamu biar lebih enak di denger dan alami."
"Oh, iya. Okay," kataku sambil tersenyum
"Kamu juga bisa panggil aku pakai mas, abang, sayang, babe, honey atau apapun terserah kamu."
"Kalo manggil berengsek juga boleh?"
Aduh, mulutku memang nggak bisa di kontrol. Terlalu lama bersama Hilda membuatku menjadi orang yang juga ceplas ceplos terkadang.
Justru tawa Ervin yang aku dengar memenuhi mobilnya sebelum akhirnya dia berkata, "Ya, kalo aku memang semenyebalkan itu, aku enggak masalah kamu panggil apa aja, toh itu panggilan sayang kamu ke aku."
Busettt... Aku yang mendengarkan kata kata ajaib Ervin hanya bisa menganga tidak percaya, laki laki yang sedang duduk disebelahku ini ternyata tipikal santai, tidak mudah tersinggung apalagi marah ternyata. Benar benar tipe emak emak berdaster.
"Btw, dirumah kamu ada siapa aja?"
"Cuma ada ibu, adek dan keponakanku s
aja, ayahku sudah meninggal 5 tahun yang lalu "
"Aku kaya gini aja gak papa?" Tanyaku sambil menunjuk penampilan diriku. Ervin hanya tersenyum dan mengusap kepalaku pelan dengan menggunakan tangan kirinya.
"Sudah lebih dari cukup. Kamu tenang saja, ibuku oranganya santai kok. Enggak akan protes kamu pakai apa aja selagi tidak sebugil waktu kamu dilahirkan ke dunia."
Oh, aku sadari kata kata Ervin barusan tergolong rada rada menjerumus ternyata.
Setelah perjalanan selama satu jam, kami sekarang ada di sebuah kawasan perumahan. Rumah yang aku masuki halamannya ini tergolong sederhana daripada rumah kedua orang tuaku, tapi cukup bersih dan terawat kalo dari apa yang kulihat. Aku masih menganalisis apa yang ada dihadapanku ini. Ketika aku dengar Ervin mengucapkan salam dan keluarlah seorang perempuan dengan wajah khas Indonesia, membawa seorang bayi laki laki berusia kisaran 6 bulan dan membalas salam Ervin. Tidak lama aku lihat ia menjabat tangan Ervin dan mencium punggung tangan Ervin .
"Lho mas Ervin tumben mampir kesini, eh ternyata mas Ervin bawa pacarnya ya, yuk Mbak, masuk jangan diluar aja ."
Kata perempuan tadi dan aku hanya bisa tersenyum sambil melangkahkan kakiku memasuki teras rumah tersebut. Di teras Ervin menungguku untuk masuk bersama. Ervin meletakkan telapak tangannya di punggungku agar aku melangkahkan kaki memasuki rumahnya dan dia melepaskanya ketika aku sudah duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Di ruang tamu tersebut, aku bisa melihat foto keluarga Ervin .
"Kamu duduk sini dulu ya, aku kebelakang nyari ibu dulu."
Aku hanya mengangguk dan dengan itu aku sukses ditinggal sendirian di ruangan ini.
Sekitar lima menit aku sendirian datanglah perempuan tadi yang membawa anaknya. Ia membawakan minuman dan memperkenalkan diri, bahwa ia bernama Rinjani, aku bisa memanggilnya Jani.
"Wah, nama kamu seperti nama gunung ya?" tanyaku basa basi pada Jani.
"Iya, memang dulu almarhum ayah sangat suka mendaki. Maka dari itu ketika saya lahir, nama yang tercetus adalah nama salah satu gunung yang indah di Indonesia itu mbak. Btw, mbak pacarnya mas Ervin ya?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Jani, tiba tiba sudah ada yang mewakili untuk menjawab.
"Bukan pacar Jani, tapi Luna itu calon istriku."
"AH!! .... SERIUS MAS?"
Aku kaget dan untung telingaku tidak budeg setelah mendengar Jani berteriak di dalam rumahnya ini.
"Iya, serius, mas bakalan nikahin dia secepatnya, ini mas ke sini mau ngenalin ibu sama kamu ke Luna," Kata Ervin yang tangannya masih setia pada pegangan kursi roda ibunya.
Seketika sadar, aku lalu berdiri dari tempat dudukku dan berjalan untuk menyalami ibu Ervin
"Assalamualaikum bu, perkenalkan saya Kaluna, panggil saja Luna, calon isterinya Ervin."
"Wa'alaikum salam, saya Farida, ibunya Ervin, Ayo nak duduk lagi di sana," kata ibu Ervin mempersilahkan kembali duduk di kursi ruang tamu.
"Maaf ya, ibu duduk disini aja, soalnya ibu lemes, baru besok jadwal ibu untuk HD lagi."
Ketika mendengar itu, aku kaget, ibunya Ervin cuci darah, kira kira apa penyakitnya ibunya berhubungan dengan gagal ginjal pikirku
"Nak Luna, rumahnya dimana?"
"Saya asli Jogja dan tinggal disana bu."
"Orang tua masih lengkap?"
"Alhamdulillah masih bu."
"Kamu sudah tau pekerjaan Ervin nak Luna ?"
Tiba tiba dudukku menjadi tegak dan tanpa aku sadari kini aku menjadi sedikit lebih waspada mendengar pertanyaan ibu
"Sudah bu, Ervin model dan fotografer, kebetulan saya kenal Ervin ketika Ervin ngeJob di salah satu acara pernikahan yang kebetulan memakai WO saya sebagai penyelenggaranya."
Entah dari mana datangnya semua kata kata ajaib yang jelas jelas ngawur bin bohong alias ngapusi ini. Tapi aku temukan Ervin dan ibu tersenyum dengan jawabanku ini.