#6. Panggung Kejujuran dan Tatapan yang Menghangatkan
Sore itu, matahari mulai miring, menumpahkan cahaya emas lewat jendela besar rumah Maya. Ruang tamu yang luas itu telah disulap menjadi panggung kecil. Karpet digulung, kursi-kursi disingkirkan, dan di tengah ruangan, Maya berdiri dengan wajah yang memancarkan ketegangan dan kelelahan.
Di lantai, beberapa lembar naskah drama “Suara yang Tak Terdengar” berserakan, ditemani catatan-catatan kecil hasil tulisan tangan Sinta. Budi sibuk menata lampu belajar yang difungsikan sebagai sorotan sederhana, menciptakan suasana teater yang minimalis, sementara Rani duduk di sisi ruangan, kotak rias tersampir di pangkuannya.
“Baik, kita mulai dari monolog kedua, May,” kata Sinta lembut, berdiri di depan dengan naskah di tangannya, bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis.
Maya mengangguk. Ia menarik napas dalam, lalu mulai berbicara. “Aku… aku cuma ingin dunia berhenti sejenak dan mendengarkanku.....”
Namun, kalimatnya terhenti di situ. Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa ruh. Emosinya tertahan.
“Cut,” ucap Sinta lembut, sebuah interupsi yang penuh pengertian. “Coba lagi. Kali ini jangan hanya menghafal, tapi rasakan. Dialog itu adalah kamu.”
Maya mencoba lagi.
“Aku cuma ingin dunia berhenti…”
Namun, lagi-lagi suaranya goyah. Gerakannya kaku, matanya tak berani menatap ke arah mana pun, seolah ia takut pada kerentanan itu.
Rani menghela napas pelan. “Seperti robot yang sedang curhat,” celetuknya, membuat semua tertawa kecil, kecuali Maya yang memegangi dadanya sendiri, tampak frustrasi.
Sinta mendekat perlahan, menatap sahabatnya dengan penuh empati. Ia tahu kunci emosi Maya.
“May, kamu tahu mengapa tokohmu diam? Bukan karena dia lemah. Tapi karena setiap kali dia mencoba bicara, orang-orang justru menertawakannya, atau mengabaikannya. Dia lelah dengan kepalsuan interaksi.”
Maya terdiam. Sinta melangkah lebih dekat lagi, membimbingnya.
“Coba bayangkan kamu berbicara dari tempat paling sepi di dunia, dari relung hati kamu sendiri. Biarkan kata-kata itu keluar dari sana, bukan dari tenggorokanmu.”
Maya menarik napas, matanya perlahan tertutup. Ia menunduk, lalu mulai mengucapkan kembali dialognya, kali ini lebih pelan, lebih berhati-hati.
“Aku cuma ingin dunia berhenti sejenak… dan dengar aku. Sekali saja.”
Suara itu bergetar, parau, namun terasa begitu nyata. Tangannya menggenggam ujung baju, lalu perlahan ia menatap ke arah lampu. Matanya berkaca-kaca, sebuah emosi yang tulus.
“Bagus,” bisik Sinta, tersenyum. “Sekarang, tambahkan gerak kecil. Jangan hanya berdiri kaku. Coba kamu berjalan pelan, seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu yang hilang.”
Maya menuruti. Langkahnya maju dua kali, lalu berhenti di depan jendela. Ia menatap ke luar, seolah benar-benar berbicara kepada dunia yang luas di balik kaca.
“Aku di sini! Aku masih ada! Tapi mengapa kalian semua sibuk berlari, seolah aku tak pernah lahir di dunia ini?”
Kata-katanya pecah di udara, meninggalkan gema halus yang menusuk.
Rani terdiam. Budi meletakkan obeng yang tadi ia pegang. Hening. Semuanya larut.
Sinta menatap Maya lama, senyum kecil merekah di wajahnya, bangga. “Itu… itu baru kamu masuk ke dalam jiwanya. Kamu sudah menjadi dia.”
Maya mengusap air matanya cepat-cepat, lalu tertawa malu. “Gila, Sin… aku merinding sendiri. Aku baru sadar betapa sedihnya dia.”
Sinta ikut tertawa kecil, lalu menyodorkan tisu. “Itu karena kamu jujur. Tadi kamu tidak berakting. Kamu menjadi dia.”
Maya mengangguk, matanya masih berbinar. “Terima kasih, Sin. Kalau bukan kamu yang menulisnya, aku tidak akan mengerti bagaimana rasanya menjadi tokoh ini.”
Sinta menatapnya penuh bangga. “Kamu luar biasa, May. Sekarang aku yakin, nanti pementasan ini akan menjadi yang terbaik.”
Mereka tertawa bersama.
.
Hari telah sore di luar jendela telah berubah jingga keunguan. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, sementara di dalam ruangan itu, keempat sahabat duduk bersandar, lelah namun diliputi kepuasan, seperti baru saja menulis bab penting dalam hidup mereka.
Dan di antara senyum mereka, Sinta diam-diam tahu… drama ini bukan sekadar ujian sekolah. Ini adalah cermin kecil dari hidupnya sendiri, tentang suara yang dulu takut keluar, kini mulai menemukan panggungnya.
.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Aula sekolah di SMA Negeri 5 dipenuhi riuh, murid-murid bersorak di hari jadi sekolah. Karangan bunga ucapan selamat hari jadi sekolah, menghiasi taman depan. Langit cerah, angin laut membawa kesejukan yang samar. Ini adalah hari pementasan ujian praktik akhir Bahasa Indonesia.
Bangku-bangku telah disusun rapi. Di barisan depan, duduk para guru, termasuk Pak Armand yang mengenakan batik biru tua, terlihat berwibawa. Wajahnya tampak tenang, namun matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam. Ia tahu, giliran kelompok Sinta akan tampil terakhir dan entah mengapa, sejak pagi, hatinya ikut berdebar tak sabar, sebuah antisipasi yang ia coba sembunyikan.
Suasana aula mulai diredupkan. Lampu sorot menyala satu per satu, menembus tirai panggung berwarna marun. Musik lembut mengalun, piano dan biola berpadu seperti hembusan napas yang pelan. Di layar latar belakang terpampang judul drama itu:
“Suara yang Tak Terdengar”. Karya Nursinta Angelina.
Bisikan penonton perlahan mereda.
Lalu dari sisi kiri panggung, Maya muncul. Langkahnya ragu-ragu, namun sorot matanya sudah penuh cerita.
Ia mengenakan gaun putih sederhana, wajahnya pucat oleh riasan, namun justru membuatnya tampak seperti bayangan kenangan yang hidup kembali. Setiap gerak tubuhnya lembut, nyaris seperti sebuah tarian sunyi.
“Aku pernah bicara pada dunia,” katanya lirih, suaranya bergetar di udara yang hening. “Tapi dunia terlalu sibuk menjawab dirinya sendiri.”
Semua mata tertuju padanya. Bahkan desahan napas pun terasa enggan terdengar.
Sinta duduk di sisi belakang panggung, menatap teman-temannya dengan tangan bergetar, naskah di pangkuannya sudah lecek karena terlalu erat digenggam. Ia tahu setiap kata, setiap jeda, setiap gerak. Dan kini, semuanya hidup di depan matanya.
Maya melangkah ke tengah panggung. Sorot lampu menimpa wajahnya, menciptakan bayangan lembut di pipi.
Ia menangis, bukan tangis yang dibuat-buat, tapi tangis yang keluar dari tempat terdalam jiwanya. Sebuah pelepasan emosi yang tulus.
“Aku menulis surat pada dunia, tapi tak ada yang membacanya. Jadi, aku menulis lagi, kali ini bukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri. Untuk mendengarkan suaraku.”
Dari balik panggung, Rani dan Budi bekerja layaknya tangan yang tak terlihat.
Tata lampu berganti warna, biru lembut, lalu jingga, lalu putih keperakan. Properti meja dan buku harian terbuka, seolah semuanya ikut bernapas bersama Maya.
Setiap perubahan cahaya menandai perjalanan batin tokohnya yang rumit.
Dan ketika musik mencapai puncaknya, Maya berdiri di bawah cahaya tunggal, menatap lurus ke arah penonton, menembus dinding imajiner.
“Dunia,” katanya pelan, penuh ketenangan baru, “aku tidak lagi butuh kau mendengar. Aku sudah mendengar suaraku sendiri.”
Senandung biola mengiringi kalimat terakhir itu. Sebuah klimaks yang indah.
Keheningan total menyelimuti aula, keheningan yang bukan karena kebosanan, tapi karena tak seorang pun ingin merusak keindahan tulus yang baru saja terjadi.
Beberapa detik kemudian, tepuk tangan meledak seperti badai. Riuh, panjang, tulus.
Guru-guru berdiri. Teman-teman berteriak memanggil nama Maya. Bahkan ada yang bersiul sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Sinta menunduk, air matanya jatuh diam-diam, bercampur rasa bangga dan lega.
Ia tahu, bukan hanya Maya yang tampil luar biasa malam itu. Tapi juga dirinya sendiri, karena lewat naskah kecil itu, ia akhirnya membuat dunia benar-benar mendengar.
Di barisan depan, Pak Armand ikut berdiri.
Ia menepuk tangan perlahan, matanya tak lepas dari panggung. Senyum kecil tersungging di bibirnya, bukan hanya karena bangga pada muridnya, tapi karena ia merasa sedang menyaksikan sesuatu yang langka: jiwa seorang gadis muda yang akhirnya berani bersuara, dan ia telah menjadi pendengar pertamanya.
Lampu panggung mulai padam satu per satu. Riuh tepuk tangan masih menggema, seperti gelombang yang enggan surut ke lautan.
Maya turun dari panggung dengan wajah basah air mata, air mata kemenangan. Nafasnya masih tersengal, tapi senyumnya lebar, penuh cahaya, seolah ia baru saja melakukan katarsis besar.
Di belakang panggung, Sinta sudah menunggu.
Tangannya menggenggam erat naskah yang kini kusut di ujung-ujungnya.
Begitu Maya mendekat, Sinta langsung merengkuhnya dalam pelukan yang erat.
Keduanya tertawa dan menangis bersamaan.
“Kau luar biasa, May…” bisik Sinta. “Aku hampir tidak percaya itu adalah kamu di atas sana.”
Maya tersenyum, matanya masih berkilat. “Kalau bukan karena kamu, aku tidak akan bisa sedalam itu, Sin. Kamu sabar sekali mengajariku, aku hampir menyerah waktu itu.”
“Tapi kamu tidak menyerah,” kata Sinta lembut. “Kamu mendengar isi naskahnya, kamu hidup di dalamnya.”
Di sisi lain, Rani dan Budi sedang membereskan properti, masih dengan wajah berseri-seri.
Budi mengangkat kursi dengan gaya teaterikal.
“Properti saja sampai ikut menangis,” katanya, dan semuanya tertawa, melepaskan ketegangan.
Maya duduk, menatap naskah yang kini tergeletak di meja rias.
“Sin,” katanya pelan, nadanya kembali serius, “naskahmu bukan cuma drama. Tapi seperti… doa. Doa yang panjang dan diam. Semua emosi itu terasa nyata.”
Sinta menatapnya lama, matanya lembut, seolah ada sesuatu yang ingin diucapkan tapi ia tahan di tenggorokan.
Sebelum sempat menjawab, suara langkah sepatu terdengar.
Pak Armand muncul di belakang panggung. Ia bergerak dengan aura yang tenang dan profesional.
Ia menepuk tangannya perlahan, tersenyum pada mereka semua.
“Luar biasa,” katanya dengan suara yang tenang tapi dalam. “Kalian berhasil membuat panggung ini hidup.”
Maya cepat-cepat berdiri dan menunduk sopan.
Rani dan Budi ikut menyalami guru mereka.
Lalu, pandangan Armand berhenti pada Sinta. Kontak mata itu terasa seperti listrik yang mengalir pelan.
Sinta yang masih berdiri agak di belakang, memegang naskahnya seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan.
Armand mendekat, matanya lembut dan hangat. Ada kebanggaan yang lebih dari sekadar guru.
“Sinta,” katanya pelan, “naskahmu indah sekali. Setiap kata terasa jujur. Saya jarang menemukan kejujuran seindah itu dari siswa seusiamu. Itu adalah karya yang matang.”
Sinta menunduk, wajahnya memanas.
“Terima kasih, Pak… saya hanya menulis apa yang saya rasakan.”
“Dan itulah yang membuatnya kuat,” jawab Armand. “Tulisan yang lahir dari hati tak akan pernah mati.”
Hening sejenak.
Mereka saling pandang sekilas, tapi cukup lama untuk membuat waktu seolah berhenti di antara mereka. Sebuah dialog tak terucap tentang batas dan pengakuan.
Lalu Armand berdehem pelan, kembali tersenyum profesional.
“Kalian boleh beristirahat. Besok pagi ada pengumuman nilai.”
Ia berbalik, melangkah pergi.
Tapi sebelum benar-benar hilang di balik tirai, ia sempat menatap Sinta sekali lagi. Tatapan yang hangat, seperti janji samar yang hanya bisa dipahami oleh mata.
Sinta menatap punggung gurunya itu sampai tak terlihat.
Jantungnya berdetak tak karuan, nyaris menyakitkan.
Maya menyenggolnya pelan.
“Sinta, kamu kenapa?”
Sinta tersenyum kikuk. “Tidak apa-apa, cuma… lega saja. Lega karena semua sudah selesai.”
Namun dalam hatinya, Sinta tahu: ini bukan hanya lega.
Ada sesuatu yang lain, halus, misterius, tapi mulai tumbuh pelan-pelan seperti kuncup bunga di dada. Sesuatu yang terasa jauh lebih penting daripada nilai ujian.
Bayangan tatapan Pak Armand terus berputar di benaknya, hangat, tapi juga membuat dadanya sesak aneh.
Ia bertanya pada dirinya sendiri:
“Apakah mungkin… perasaan seindah itu justru terlarang?”
Tapi tubuhnya tidak peduli pada batasan.
Sinta menatap daun-daun trembesi yang bergoyang, disapu angin siang yang hangat. Ia menyentuh dadanya pelan, detaknya belum juga tenang.
Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa. Tapi di dalam dirinya, sesuatu baru saja berubah arah.
Ia tidak tahu apa namanya, kagum, atau cinta, atau sekadar rasa ingin dimengerti.
Yang jelas, sejak pertemuan itu, nama Pak Armand seperti menetap di hatinya… pelan, tapi pasti.
Dan entah kenapa, Sinta merasa, drama yang ia tulis sebentar lagi bukan hanya akan dipentaskan di panggung sekolah, tapi juga di hatinya sendiri. Sebuah babak yang mungkin penuh konflik, namun pasti akan dikenang.
