#4. Naskah dan Gema Hati yang Baru Lahir
Pagi itu, langit tampak biru muda seperti kertas baru yang siap ditulisi janji. Angin berhembus lembut melewati halaman sekolah, membawa aroma rumput basah yang segar dan suara anak-anak yang bercanda. Sebuah kontras yang harmonis. Di papan pengumuman depan ruang guru, selembar kertas kuning muda menempel, menarik perhatian banyak siswa yang ingin tahu.
“PENGUMUMAN: UJIAN PRAKTIK BAHASA INDONESIA, PENULISAN DAN PEMENTASAN DRAMA UNTUK HARI JADI SEKOLAH.”
Sinta membaca pengumuman itu sambil memeluk buku catatan, tangannya terasa dingin karena antisipasi. Di sampingnya, Rani berseru kecil, “Wah seru banget, ya! Jadi kita bakal nulis naskah sendiri?”
“Iya, dan nanti dipentaskan waktu hari jadi sekolah,” jawab Sinta dengan senyum tipis yang menyembunyikan debar halus. Debar itu terasa penuh makna.
Bel berbunyi. Murid-murid masuk ke kelas, bergegas mengambil tempat. Di depan, Pak Armand, guru muda Bahasa Indonesia yang sudah jadi idola banyak siswi, berdiri sambil memegang map tebal berisi daftar kelompok. Kehadirannya selalu membawa ketenangan yang menular.
“Selamat pagi semuanya,” sapanya dengan senyum yang tenang, tapi cukup membuat satu kelas mendadak sunyi. Suara itu terasa berwibawa, namun lembut.
“Pagi, Pak!” jawab mereka serempak.
“Hari ini kita mulai proyek ujian praktik. Kalian akan menulis naskah drama bertema ‘Harapan dan Perubahan.’ Tema ini bisa kalian tafsirkan bebas, boleh romantis, sosial, atau bahkan politik ringan, asal tetap sopan. Tunjukkan kedewasaan berpikir kalian.”
Kelas langsung riuh. Suara kursi bergeser, buku dibuka, dan beberapa anak sudah mulai saling bertukar ide. Energi kreatif itu terasa memabukkan.
Pak Armand melanjutkan, suaranya mengalir pasti. “Naskah kalian akan dipentaskan di acara hari jadi sekolah bulan depan. Penilaian berdasarkan orisinalitas, kedalaman pesan, dan kerja sama tim.”
Ia membuka map dan mulai membacakan pembagian kelompok. Jeda di antara setiap nama terasa panjang.
“…Kelompok tiga: Rani, Aryo, Sinta, Budi, dan Maya.”
Rani menepuk bahu Sinta. “Yes! Kita satu kelompok lagi. Dream team.”
Sinta mengangguk, “Semoga idenya nggak mentok, ya. Aku berharap kita bisa membuat sesuatu yang jujur.”
Setelah pengumuman pembagian kelompok, suasana kelas mulai ramai. Masing-masing meja menjadi pulau kecil tempat ide-ide lahir, tumbuh, dan diperdebatkan dengan semangat.
Kelompok Sinta duduk di pojok jendela, tempat cahaya pagi jatuh lembut di atas buku-buku catatan. Rani menggambar coretan di kertas, Maya mengetuk-ngetukkan pulpen, sementara Budi sibuk mencatat daftar properti yang mungkin mereka perlukan.
Pak Armand sempat melintas dan memberi semangat. Tatapannya bersahabat. “Ingat, tulis dari hati. Naskah yang baik bukan soal panjangnya dialog, tapi seberapa jujur kalian menulis. Jujurlah pada emosi kalian.”
Sinta hanya tersenyum kecil, menunduk. Kata-kata itu seolah menyentuh sesuatu yang sangat pribadi di dalam dirinya. Petuah itu terasa ditujukan khusus padanya.
Malamnya, di kamarnya yang sempit, Sinta memandangi halaman kosong di buku tulisnya. Ia menatap pena, lalu menulis pelan, hanya untuk dirinya sendiri, awalnya. Tapi setiap kata terasa hidup, seolah merangkai nafas.
“Tentang seorang gadis pendiam, yang ingin berteriak tapi suaranya tak pernah terdengar. Ia menyimpan semua kesedihan dan mimpinya di sebuah buku harian, hingga tulisan-tulisan itu menjadi lentera yang menuntunnya keluar dari gelap. Dari sanalah ia belajar mencintai hidup dan menyuarakan eksistensinya.”
Itulah naskah yang kemudian ia bawa ke kelas keesokan harinya. Sebuah naskah yang terasa otobiografi.
Ketika Sinta membacakan sinopsisnya di depan teman-temannya, ruang kelas mendadak hening. Tak ada tawa, tak ada bisik-bisik, hanya keheningan yang hangat, sebuah penghormatan terhadap kejujuran. Bahkan Rani, yang biasanya cerewet, kali ini menatap Sinta dengan mata berbinar penuh kagum.
“Aku suka banget, Sin,” kata Maya akhirnya, suaranya tercekat. “Aku mau jadi pemeran utamanya. Aku bisa merasakannya.”
Sinta tersenyum, “Tentu. Aku memang menulisnya dengan membayangkanmu. Kau punya aura itu.”
“Kalau gitu aku jadi make-up artist aja ya!” seru Rani, bersemangat lagi. “Biar tokohnya kelihatan hidup. Biar emosinya menular.”
Budi menambahkan sambil mengangkat tangannya, “Aku bagian properti. Aku bisa pinjam papan tulis rusak dari gudang, bisa jadi latar kamarnya. Realisme itu penting.”
Sinta tertawa kecil. “Iya, itu keren. Detail yang bagus.”
Mereka pun mulai bekerja dengan semangat baru, seolah menemukan misi bersama. Kertas berserakan, ide-ide beterbangan seperti burung yang baru dilepaskan dari sangkar.
Namun di balik senyum dan canda teman-temannya, Sinta menyimpan sesuatu yang lain, sebuah perasaan yang perlahan tumbuh, sama diamnya seperti gadis dalam naskahnya.
Ketika sesekali ia melihat ke arah Pak Armand di ujung kelas, yang sedang menatap daftar nilai dengan wajah tenang dan fokus, hatinya bergetar samar. Getaran yang terasa semakin sulit diabaikan.
Mungkinkah aku seperti tokohku sendiri, batinnya, ingin bersuara tapi tak tahu bagaimana? Dan apakah ‘lentera’ dalam ceritaku itu, tanpa kusadari, adalah dia?
Di luar jendela, angin bertiup lembut menggoyang daun-daun flamboyan yang mulai gugur. Di sanalah, tanpa disadari, satu kisah lain mulai ditulis, bukan di atas kertas, tapi di dalam hati seorang siswi yang diam-diam sedang belajar mengenali kedalaman perasaan pertamanya.
.
Sore itu, langit berwarna jingga pucat, seperti kertas tua yang disaput cahaya keemasan. Angin laut berhembus pelan dari arah utara, membawa aroma asin yang samar bercampur wangi bunga melati dari pekarangan. Aroma khas sore di Probolinggo.
Di sebuah rumah besar bercat krem di pinggir kota, milik keluarga Maya, kelompok Sinta berkumpul untuk latihan drama ujian praktik Bahasa Indonesia mereka. Rumah itu terletak di perumahan dekat Jalan Basuki Rahmat, agak jauh dari pusat kota, tapi suasananya tenang dan lapang. Sebuah tempat yang sempurna untuk merangkai mimpi.
Ruang tamu Maya luas, dengan lantai keramik putih berkilau dan kipas angin tua yang berputar malas di langit-langit. Di atas meja, ada gelas-gelas berisi teh manis dan piring berisi kue getas buatan ibunya. Dari halaman depan, samar-samar terdengar suara tukang cilok yang lewat, menambah aroma masa remaja yang sederhana.
“Wah, rumahmu kayak aula mini,” komentar Rani sambil menggelar kain yang akan dijadikan tirai latar.
“Ya iyalah,” timpal Budi, “kalau latihan di sini, suara kita bisa gema tiga kali. Echo effect gratis.”
Maya tertawa. “Bagus dong, biar dramanya terasa megah dan dramatis.”
Sinta duduk di dekat jendela, membuka naskah tulisannya yang kini sudah rapi dalam map bening. Ia menatap kata-kata yang telah ia susun dengan sepenuh hati. Ceritanya terasa seperti pengakuan.
Tentang seorang siswi pendiam yang ingin berteriak namun tak mampu, yang akhirnya menemukan keberanian lewat tulisan-tulisan di buku harian, dan dari sana ia belajar menatap hidup dengan mata yang baru.
“Coba ulang bagian itu, May,” kata Sinta lembut. Ia ingin emosi itu tepat.
Maya menarik napas dan membaca, suaranya dipenuhi ketakutan yang terkendali, “Aku takut, tapi kalau aku diam terus, dunia nggak akan tahu aku ada. Aku hanya bayangan.”
Sinta tersenyum puas. “Bagus. Tapi bagian terakhir coba lebih tenang, kayak orang yang menemukan cahaya setelah lama di kegelapan. Ada rasa lega, bukan lagi teriak.”
Rani menimpali sambil memoles wajah Maya dengan bedak, “Aku ngerasa kayak di bioskop, sumpah. Cuma tiketnya gratis. Kita sedang memproduksi film indie.”
Budi tertawa dari balik properti, “Popcorn-nya ganti rengginang aja, biar lokal. Biar lebih otentik.”
Tawa mereka pecah, sebuah interupsi yang menyenangkan.
Namun di tengah canda itu, Sinta menatap naskahnya lama. Setiap kalimat terasa seperti napasnya sendiri, sebuah perpanjangan jiwanya. Ia tahu, gadis pendiam dalam cerita itu adalah dirinya, yang selama ini menyimpan banyak kata, tapi jarang punya tempat untuk mengatakannya, kecuali di atas kertas.
Senja semakin pekat. Cahaya matahari terakhir menembus tirai tipis, menimpa wajah mereka yang lelah tapi bahagia, wajah-wajah yang terlihat penuh harap.
“Aku suka banget naskah ini, Sin,” kata Maya kemudian, pandangannya tulus. “Kamu nulisnya dari hati, ya? Terasa nyata sekali.”
Sinta mengangguk pelan. “Aku cuma... nulis tentang seseorang yang ingin didengar. Ingin diakui.”
“Siapa?” tanya Rani penasaran, berusaha menggali.
Sinta tersenyum samar. Ia tidak bisa menjawab jujur. “Mungkin… aku sendiri. Semua orang punya sisi itu.”
Hening sejenak. Dari luar jendela terdengar suara jangkrik pertama sore itu, menyambut malam. Angin membawa bau tanah dan debu jalanan.
Tapi di sela keheningan itu, bayangan wajah Pak Armand melintas di benak Sinta, suara lembutnya, caranya menatap dengan sabar, dan petuahnya yang sederhana tapi menenangkan. Ia adalah pendengar diamnya.
Kalau nanti aku lulus, batin Sinta, masihkah aku bisa bertemu lagi dengannya? Ataukah naskah ini adalah satu-satunya cara aku bisa berbicara dengannya, tanpa ia sadari?
Latihan berakhir menjelang magrib. Mereka membereskan kertas, menata properti, dan tertawa karena Budi tanpa sengaja menumpahkan teh di naskah cadangan. Tapi di antara tawa itu, Sinta tahu:
Drama yang ia tulis bukan sekadar tugas sekolah. Itu adalah caranya belajar menyuarakan isi hati, dan diam-diam, menyebut nama seseorang yang tak berani ia tulis di halaman manapun. Sebuah deklarasi cinta dalam kode rahasia.
