Pustaka
Bahasa Indonesia

Sepupu Adalah Maut

53.0K · Ongoing
Miss Alba
60
Bab
155
View
9.0
Rating

Ringkasan

Pernikahan antara Annisa dengan Fikri yang hanya tinggal menunggu ijab qabul, harus kandas dan berantakan dikarenakan Fikri harus tanggung jawab saat itu juga akan bayi yang sedang dikandung Najwa. Najwa yang merupakan sepupu dari Annisa sendiri, rela bermain licik demi mendapatkan Fikri yang sudah menjadi calon suami orang lain. Prahara tersebut mengakibatkan ayah Annisa menghembuskan nafas terakhir karena syok berat dan menyebabkan retaknya hubungan antar keluarga. Ditambah lagi tudingan masyarakat yang masih percaya akan sebuah mitos pada Annisa sebagai wanita pembawa sial, menjadikan lengkap sudah penderitaannya. Akankan Annisa menemukan kebahagiaan dalam pernikahannya? Ikuti kisahnya yuk ....

RomansaKehidupan SosialIstriPengkhianatanKeluargaPernikahanBaper

Bab 1

"Mbak Annisa ayu tenan, sumpah," puji Dewi yang kini sedang memandang takjub dan tak henti-hentinya mengerjapkan matanya mengagumi kecantikan gadis di depannya dengan balutan baju pengantin.

"Pengantin yo ayu to, Wi. Mana ada pengantin jelek. Kamu itu lho, ono-ono wae," jawab Annisa dengan logat jawa medok. Seraya tersipu malu mendengar pujian dari gadis di depannya.

Dewi, seorang gadis yang cacat di bagian kaki sejak lahir. Tiap harinya selalu berada di rumah Annisa tatkala Annisa pulang dari pesantren. Walaupun rumahnya tak jauh dari rumah Annisa, rasanya ia enggan pulang.

Umurnya beda jauh dengan Annisa, ia sudah dianggap Annisa sebagai seorang adik. Walaupun cacat dengan berjalan kakinya yang satu ditarik, tetapi jiwa belajar ilmu Alqur'annya sangat tinggi. Bahkan, ia punya cita-cita menjadi seorang hafidzoh.

"Lha yo pancen bedo kok, seko biasane. Aura kecantikan Mbak Nisa saat ini sungguh luar biasa. Berpendar ke mana-mana. Bener ora, cah gendut, gemoy?" canda Dewi lagi dengan mencolek bagian bokong keponakannya Annisa, Vivi, yang kini juga sudah dirias untuk menjadi pengapit pengantin Annisa di pelaminan.

"Iyo," jawab Vivi dengan gurat wajahnya yang lucu.

Bocah kelas 2 SD tersebut terlihat montok dengan balutan baju ala pengantin kecil dengan gelung disanggul. Semua orang yang melihatnya nanti pasti akan semakin gemas jika Vivi berjalan dengan tubuh gendutnya. Pasti megal-megol bak angsa berjalan dengan bagian bokong yang tertarik ke belakang dengan dada membusung. Ditambah lagi pipinya yang chubby dan hidungnya yang terlihat pesek, bikin gemas semua orang dan ingin mencubitnya.

Tok tok!!!

Pintu diketuk oleh Mak Salamah, ibunya Annisa. Beliau ingin melihat apakah putrinya sudah siap keluar kamar untuk ijab qabul di hari pernikahannya dengan Akbar Maulana Fikri, kekasih hatinya.

Annisa dan Fikri sudah menjalin cinta selama 3 tahun, meskipun keduanya menimba ilmu di pesantren. Kedua keluarga sudah saling setuju, dan kini hari spesial yang telah dinantikan segera tiba.

"Wes to, guyonan wae awet mau, Wi. Ayo ndang metu." Mak Salamah mengajak putrinya keluar kamar untuk menuju ruangan yang sudah disediakan untuk melaksanakan ijab qabul.

"Duh duh ... yang lagi bahagia mau lihat sang pangeran," goda Dewi tak berhenti dari tadi hingga membuat pipi Annisa merah merona. Rasanya malu walaupun dengan Dewi yang notabene bisa jadi sahabat serta adik.

"Apa Kang Fikri sudah datang, Mak?" tanya Annisa lembut dengan sedikit malu. Karena pasti akan segera direspon oleh Dewi dengan godaan dan candaan yang membuat dirinya tambah malu.

"Tuh, kan? Cie-cie ... yang sudah nggak sabar bertemu dengan pangeran berkuda. Ups, maksudnya Kang Fikri," Dewi mengatupkan bibirnya kemudian menutupinya dengan kelima jarinya. Matanya masih melirik pada gadis ayu nan manis si kembang desa, Khoirunnisa Fatimatuzzahra.

"Sudah to, Wi. Jangan digoda terus. Nanti pengantinnya nggak bisa lihat jalan saking malunya. Sudah hampir jam 8 ini, pasti Fikri sedang dalam perjalanan dan hampir sampai. Ayo cepat keluar, semua tamu undangan sudah menunggu dari tadi." Mak Salamah segera menghampiri dimana putrinya masih terduduk.

"Ayo, Nduk. Emak bantu. Kamu juga tuntun Annisa yo, Wi," perintah Mak Salamah pada Dewi agar segera bergegas membantu Annisa berdiri. Kemudian dijawab Dewi dengan anggukan.

"Vivi nanti di belakang kami ya, jalannya. Mbak Dewi sama Emak mau menuntun Bulek Nisa biar ga jatuh jalannya," ceramah Dewi agar Vivi tak menangis kalau ditinggal jalan duluan. Namanya juga anak kecil, kalau tidak diberi tahu pasti tidak akan mengerti.

Bocah gemoy tersebut menganggukkan kepalanya dengan cepat. Ia tahu kalau buleknya itu pasti susah berjalan karena memakai tapih jarik yang terasa sempit, juga hias siger di bagian kepala yang terasa berat.

Mak Salamah keluar kamar menuntun putrinya di sebelah kiri Annisa, sedangkan Dewi di sebelah kanan, meskipun ia berjalan dengan kaki kanan yang serasa ditarik. Tak peduli jalan yang susah untuk dirinya, asalkan ia bisa menemani Annisa di hari bahagianya. Sebisa mungkin Dewi akan mengawal Annisa sampai sah menjadi milik Fikri.

Semua tamu memandang dengan penuh takjub karena kecantikan yang terpancar dari wajah Annisa. Pakaian pengantin berwarna putih adat jawa dengan siger di kepala dan tetap berhijab untuk menutupi auratnya di bagian kepala. Juga atasan kebaya yang panjang sampai mata kaki yang menutupi bagian bawahan jarik yang terasa sempit. Meskipun begitu, aura yang tercipta dari rasa bahagia semakin menambah kecantikan Annisa.

Kini kembang desa yang selalu jadi incaran para pemuda desa akan segera disunting oleh pemuda beruntung bernama Fikri dan akan segera menjadi halal atas dirinya. Sudah tak ada alasan lagi untuk menolak pinangan dari siapapun pemuda yang menginginkan Annisa untuk menjadi istrinya, karena hari ini semua mata akan menjadi saksi pernikahannya di hadapan negara dan agama.

Kata perawan tua yang tersemat sebagi embel-embel dari mulut tetangga yang membuat telinga panas, akan segera meredam dengan sendirinya. Bagaimana tidak, sudah puluhan pemuda yang meminang Annisa selalu ditolaknya dengan alasan ia belum siap untuk berumah tangga. Padahal sebenarnya cintanya sudah terpaut oleh seorang Akbar Maulana Fikri sejak lama, cuma mereka berdua dulu masih merahasiakannya.

"Bocah wadon kok senenge nampik pinangan. Ora ilok, suwe-suwe yo ora payu," ucap pedas salah satu tetangga waktu itu.

Mungkin bukan cuma satu dua orang yang berucap, bahkan keseluruhan warga memang selalu mengaitkan semua hal dengan mitos yang sudah menjadi kepercayaan mereka sejak dulu. Katanya berasal dari leluhur, nyatanya mereka memang tidak bisa menerima semua keadaan sebagai takdir dari yang kuasa.

Dalam adat jawa memang tidak dianjurkan menolak lamaran seorang pria. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, itu bisa menyebabkan sial dan gagal nikah selamanya. Malah kebanyakan bisa jadi kualat dan menjadikan nasib sebagai perawan tua yang mengakibatkan banyak cibiran dan hinaan.

Kini pernikahan Annisa dengan Fikri menjadi bukti bahwa ucapan mereka salah, dan akan membungkam mulut mereka yang berucap semena-mena. Seakan mereka adalah seorang penulis skenario kehidupan yang berhak mengatur hati dan tetek bengeknya pada kehidupan orang lain.

Mak Salamah dan Dewi masing-masing menggandeng tangan Annisa di sisi kiri dan kanannya. Ketiganya berjalan dengan sangat hati-hati agar pengantin tak tersandung. Di belakangnya berjalan Vivi sang ponakan dengan satu teman laki-lakinya mengiring pengantin yang nantinya akan menjadi pengapit pengantin di pelaminan saat acara resepsi.

Karpet permadani sudah siap terbentang menunggu sang penghuni datang. Di tempat itulah nanti sumpah janji suci pernikahan akan dikumandangkan oleh Fikri yang akan bersanding berjejer dengan Annisa. Persis di depan penghulu dan walinya yaitu ayahnya sendiri, Haji Maimun.

Mak Salamah mengantarkan Annisa untuk duduk di atas bentangan permadani bersama Dewi.

"Temani Annisa yo, Wi," pinta Mak Salamah kepada Dewi agar selalu menemani putrinya di sampingnya sampai mempelai pria datang untuk melaksanakan akad nikah. Kemudian Mak Salamah mundur dari tempat tersebut dan mengarahkan kedua pengapit pengantin kecil untuk segera duduk ke pelaminan. Dikarenakan sang menantu, Indah, sedang sibuk mengurusi tamu yang masih saja berdatangan. Maklumlah orang desa, kalau punya hajat mantu tidak cukup sehari dua hari, bahkan sampai seminggu.

Semua tamu sudah menunggu mempelai pria sampai jam 8 pagi lewat. Namun, rombongan iring-iringan calon pengantin pria yang ditunggu tak kunjung datang. Bahkan, Bapak Penghulu juga sudah gelisah menunggu sejak tadi.

Bukan hanya itu, Haji Maimun beserta Arif, kakak laki-laki Annisa juga merasa gelisah. Sejak tadi ia bahkan sudah bolak-balik melihat layar ponselnya melihat waktu yang sudah semakin merayap siang.

"Maaf, Pak Haji. Kenapa mempelai pria belum datang juga, ya. Ini sudah lewat dengan waktu yang sudah dijanjikan. Bukankah yang tertulis di catatan pranikah adalah jam 8 pagi tepat? Tapi mengapa sampai siang begini calon pengantin pria juga belum kunjung datang? Ini sudah lebih 30 menit, Pak Haji," tanya Pak Penghulu dengan rasa gelisah.

"Iya, tunggu sebentar lagi, Pak. Biarkan anak saya menghubungi keluarga mempelai pria," jawab Haji Maimun.

"Jam 9 nanti, Saya sudah ada jadwal akad juga, Pak, di desa sebelah. Belum yang di KUA, kasihan mereka kalau harus menunggu lama," ucap Pak Penghulu.

"Mohon tunggu sebentar ya, Pak," pinta Haji Maimun.

Bukan hanya penghulu saja yang merasa gelisah, melainkan semua tamu undangan juga sudah mulai saling berbisik. Annisa yang tak enak karena semua mata tertuju padanya, juga sampai mengeluarkan keringat dingin.

"Mbak Nisa harap tenang. Mungkin saja Kang Fikri sedang dalam perjalanan," ucap Dewi mencoba menenangkan hati Annisa sambil mengusap keringat Annisa yang muncul di keningnya.

"Arif, coba kamu hubungi Fikri. Apakah ada kendala di jalan sehingga mereka terlambat," perintah Haji Maimun untuk segera mencari tahu apa penyebab keterlambatan keluarga mempelai pria.

Arif langsung saja melaksanakan perintah bapaknya. Dihubunginya Fikri sampai berulang-ulang. Namun, sampai panggilan kelima, tak juga tersambung.

"Nomor Fikri tidak aktif, Abah," jawab Arif dengan sangat khawatir. Perasaannya sudah berkelana ke mana-mana. Pikirannya menerawang jauh bahwa pernikahan adiknya kali ini akan gagal. Firasat tak enak sudah merayap dan menguasai hati serta otaknya.

Semua keluarga yang hadir juga sudah merasa gelisah, lebih-lebih Mak Salamah dan Haji Maimun. Tidak bisa dibayangkan kalau misalnya nanti akan mendapat malu dan cibiran warga apabila pernikahan yang sudah digadang-gadang keluarga besar akan gagal dan kandas di tengah jalan.

Keadaan ini akan membenarkan omongan semua orang bahwa Annisa telah mendapat karma karena menolak pinangan banyak pria. Sungguh merupakan aib yang sangat besar dan mencoreng nama besar keluarga.

"Arif, coba hubungi Fikri kembali, Nak. Siapa tahu sekarang bisa tersambung." Wajah Mak Salamah sudah pucat pasi.

"Iya, Nak. Benar kata Emakmu. Coba hubungi lagi," timpal Haji Maimun sembari memegang dadanya yang sudah agak serasa sakit dengan napas yang sedikit tersengal. Namun, beliau berusaha meredamnya sendiri agar tidak terlihat oleh lainnya hingga menimbulkan kekhawatiran.

Annisa yang melihat wajah Emak juga Abahnya kini juga demikian. Air mata yang sudah menggantung tetap ditahannya agar sampai tak merosot turun. Hanya kalimat istighfar yang ia senandungkan agar hatinya bisa setenang mungkin sembari mengusap dadanya yang kini jantungnya sudah berdetak naik turun tak karuan.

"Astaghfirullohaladzim ...."

Bukankah istighfar adalah sebaik-baik ucapan yang menjadi obat dikala hati dan pikiran sedang gundah gulana? Dengan kalimat agung tersebut semoga segala sesuatu ada jalan keluarnya.

Tut... tut....

Akhirnya panggilan kepada Fikri tersambung juga. Arif harap-harap cemas menunggu agar yang di seberang sana segera menjawab panggilannya.

[Halo, Mas Arif.]

Arif langsung menyambar jawaban dari Fikri, "Kamu kenapa dari tadi susah dihubungi, Fikri? Ini sudah siang, mengapa Kamu sekeluarga belum tiba juga? Kami semua dan Pak Penghulu sudah menunggu sejak tadi. Dimana Kamu?!"

[Kami akan segera sampai, Mas.]

Telepon langsung terputus begitu saja tanpa ada ucapan lain dari mulut Fikri. Tapi setidaknya kabar tersebut menjadi angin segar bagi Arif sehingga rasa kegelisahan yang sejak tadi ia rasakan langsung menguar begitu saja.

"Sebentar lagi sampai katanya, Pak Penghulu. Mungkin tadi ada halangan," ucap Arif dengan lantang sehingga semua tamu undangan dan keluarga menjadi lega.

Annisa dan Dewi saling pandang. Keduanya kembali tersenyum. Rasanya lega sekali mendapat kabar gembira tersebut. Begitu juga Mak Salamah dan Haji Maimun.

Setelah kurang lebih lima menit, sebuah mobil datang memasuki pekarangan rumah Haji Maimun. Semua orang yang hadir sangat gembira. Mereka semua berharap agar akad nikah segera dilaksanakan karena sudah menunggu terlalu lama.

Pak Darso dan Bu Romlah, orang tua dari Fikri segera turun dari mobil. Semua mata yang hadir dalam acara tersebut tertuju pada keduanya. Semua tamu kembali saling berbisik, pasalnya hanya ada mereka berdua saja yang turun.

Semuanya mencari keberadaan calon mempelai pria yang akan segera dinikahkan dengan Annisa. Begitu juga dengan iring-iringan mobil pengantin lainnya.

"Kok, tidak ada iring-iringan mobil pengantin? Kenapa mobilnya cuma satu?" celetuk seorang tamu undangan yang tak jauh dari Annisa.

"Iya, ya. Bukankah pengantin itu biasanya membawa iring-iringan banyak orang. Mengapa ini cuma ada dua orang saja?" Tamu undangan lainnya ikut menimpali.

Annisa yang mendengar percakapan tersebut menjadi kembali gelisah. Matanya mencari sosok Fikri yang memang tidak muncul dari mobil tersebut. Padahal baru saja Fikri menjawab panggilan telepon dari kakaknya. Kini semua orang yang ada di tempat tersebut juga sama saling bertanya-tanya tentang keberadaan calon pengantin pria.

'Di mana Kang Fikri?' batin Annisa gelisah. Rasa tak enak sudah menjalar menguasai tubuhnya.

Darso dan Romlah berjalan menuju dimana Haji Maimun berada. Mereka berdua sudah merasa dipandang seribu mata yang penuh tanya yang mengiringi keduanya saat berjalan menuju tempat Haji Maimun duduk.

"Maaf, Bu Romlah, Pak Darso. Dimana Fikri? Mengapa tidak turun bersama kalian? Apakah masih berada dalam mobil?" tanya Haji Maimun dengan senyum dipaksakan setelah keduanya berdiri di tempat yang tidak jauh. Beliau sudah merasa ada yang aneh sejak calon besannya turun dari mobil tanpa menggandeng putranya. Juga, aura wajah yang mereka berdua tampakkan tidak ada senyuman sama sekali.

"Maaf, Pak Haji. Kami ke sini untuk membatalkan pernikahan anak kami, Fikri dengan Annisa," jawab Darso enteng tanpa beban. Seakan semuanya memang sudah terencana.

Arif yang mendengar perkataan tersebut langsung naik pitam. Ia langsung mencengkeram kerah Darso dan siap ingin memukulnya dengan kepalan tangannya. Namun, segera ditegur oleh Abahnya.

"Arif! Jangan seperti itu dengan seorang tamu!" teriak Haji Maimun melarang putranya untuk tidak gegabah. Meskipun dirinya juga marah, tetapi harus bisa meredam kemarahannya itu.

"Njenengan pikir pernikahan itu adalah sebuah mainan?! Dengan seenaknya saja membatalkan tanpa konfirmasi terlebih dahulu!" Arif garang melihat kedua manusia yang dirasa tidak punya perasaan bersalah sama sekali.

"Kami mohon maaf sekali, Pak Haji. Karena harus tiba-tiba membatalkan pernikahan ini," jelas Darso dengan ketakutan melihat wajah garang Arif yang seakan ingin menelannya bulat-bulat.

"Berikan kami alasan mengapa pernikahannya harus batal?" Haji Maimun masih mencoba untuk berdamai dengan hatinya. Meskipun kini sebenarnya beliau tidak terima karena merasa telah dipermainkan. Napasnya juga sudah semakin tersengal-sengal.

"Ka_kami ...." Darso terlihat sangat bingung dan takut, juga gugup.

"Kami tidak mau anak kami mati sia-sia karena Annisa me_" ucap Romlah dengan lantang. Namun, segera mulutnya dibungkam oleh suaminya.

"Jangan katakan yang sebenarnya, Bu. Kasihan nanti keluarganya malu," bisik Darso melarang istrinya untuk mengatakan sesuatu yang tidak sopan.

"Apa maksud Njenengan, Bu Romlah! Katakan apa sebenarnya yang terjadi tentang adikku yang tidak kami ketahui!" Arif naik pitam. Rasanya marah kalau adik perempuannya harus jadi bahan fitnah dan didengar semua orang.

"Karena Annisa adalah ...." ucap Romlah menggantung.